Dah lama banget ganteng 1 dan ganteng 2 gak berantem. Ya namanya tinggal serumah, friksi pasti ada. Hari ini pun begitu, sedih rasanya liat duo ganteng marah-marahan. Gitu juga kali ya rasanya nasib ibu pertiwi, liat masyarakatnya terbelah-belah? -> dramaqueen banget sih elu <-
Mereka gak akan ribut berantemin mainan, sejak kecil sudah berbagi. Seringnya, ribut itu gara-gara perbedaan prinsip. Gara-gara beda pemahaman akan suatu hal. Bisa ngambek, dan ngambeknya gak akan tonjok-tonjokan atau tendang-tendangan, melainkan bermuram durja dan berlinang air mata. Nyata sekali sifat perempuan saya sedikit banyak terbawa grin emoticon They should go out more and play with other boys smile emoticon Hari ini saya harus mendefinisikan apa itu "sombong". Kalau berdasarkan KBBI sih artinya ini: menghargai diri secara berlebihan. Berlebihan itu ukurannya apa? Sebenarnya semua berawal dari nilai si ganteng1. Yang mana karena dia berusaha lebih keras hasilnya lebih memuaskan daripada si ganteng2. Ganteng2 sebenarnya sedih lihat nilainya, apalagi kena warning dari saya, "itulah yang terjadi kalau kita tidak bersungguh-sungguh". Dan si ganteng1 tersenyum gembira melihat nilainya, kadang-kadang sambil bermanja dia sesekali berkata "Aku pintar ya, Ibu?". Meski dia sedang bersuka cita atas usahanya itu, saya mengingatkannya, "Nah, itu namanya sombong, Nak!" Benar atau tidak, saya hanya berkaca pada diri saya sendiri. Dunia ini keras, hehehe.... etika pergaulan itu juga kadang keras. Ingat pernah dijauhi teman SMA cuma gara-gara saya bilang "kayanya semester ini saya bisa masuk ranking!" Buat saya itu pencapaian, reward buat kerja keras (tsaahh) saya, buat orang lain, itu sombong. Begitulah.... kadang-kadang saya juga tidak mengerti. grin emoticon Daaaannn.... tadi pun begitu. Ganteng1 bermaksud membawa readboy nya ke kelas mengaji, dia sedang senang menirukan pelafalan para pembaca quran di readboy-nya itu. Sepertinya dia sedang punya misi menghafal quran dengan pelafalan yang sempurna. Tapiiii, Ganteng2 tidak setuju, dia bilang, "Gak usah dibawa, itu namanya sombong!" Mungkin maksud ganteng2, itu termasuk barang mewah yang memang biasanya saya melarang anak-anak membawa ke sekolah. Smartphone, tablet, juga bukan barang yang boleh dibawa ke sekolah. Dia gak mau kakaknya pamer-pamer. Mereka berdua tentu benar, menurut versinya. Dan mereka berdua sama-sama tidak mengerti, Ganteng1 tidak merasa dia bermaksud ingin pamer, jadi tidak terima dibilang sombong. Ganteng2 tidak mengerti mengapa ganteng1 marah, toh ia cuma bermaksud mengingatkan. grin emoticon Yang paling berat dari konflik antara manusia itu ternyata urusan hati. Apalagi jadi Ibu. Paling berat kalau dengar "Ibu selalu lebih sayang padanya...." hihi, lucu, karena dua-duanya bilang begitu. Suka bingung. Adil kan bukan berarti harus memberi perlakuan sama pada keduanya. Makanya saya suka takjub sama Ibu-ibu yang anaknya empat, lima, enam, atau lebih. Bagaimana mereka menangani sibling rivalry ini. Hampir 2,5 jam mediasinya. Sampai akhirnya tersenyum lagi. Dan seriusan, makin ogah saya jadi presiden (lah siapa yang mau milih elu, siapaaaa Faaaa?) Setelah mereka semua akhirnya ceria kembali, tinggal saya dan sisa-sisa PMS yang melekat dalam kesendirian bertanya "Sudahkah saya berlaku adil pada mereka?"
1 Comment
Disiplin Informasi
Dalam seminar kemarin, kata-kata ini mendadak jadi trending topic di kepala saya. Dunia maya yang 'berisik' memudahkan kita mendapatkan akses informasi, nyaris tentang apa saja. Siapkah kita? Si Dad pernah bilang begini: "Too much information will kill you!" Waktu itu saya jawab, "However, those who has access to information will rule the world!" Katanya lagi: "Only if you use them wisely, My Dear!" Ya, si Daddy jua tidak sepenuhnya melaksanakan nasehatnya sih, hehehe. Coba kalau iya, tak akan dia berkasus dengan si dia yang namanya tak boleh disebut itu. Hehe.... Lalu, sebagai statistisi apa yang bisa saya lakukan? Ternyata, salah satu caranya sangat sederhana. Berhenti menyebarkan kesimpangsiuran! Informasi yang tidak jelas siapa narasumbernya, atau jelas sekalipun narasumbernya tapi tidak jelas kapasitasnya sebagai apa. Saya iri pada sahabat, yang hidup ketika Rasulullah SAW masih ada. Tentu mereka tidak perlu ragu-ragu, tinggal bertanya kepada Rasul, Jika tahu: Rasul menjawab, belum tahu: ditanyakan kepada Allah SWT, Dan kemudian datanglah jawaban melalui malaikat Jibril. Selesai urusan, ada yang mau meragukan? Sekarang? Semua orang bicara, 'ngga jelas apa kapasitasnya. :) Yang bisa ditafsirkan cuma satu, mereka mengedepankan pembenaran, atas apa yang dipercayainya. Hanya orang yang tidak pernah bersungguh-sungguh saja yang berpendapat, "Itu hanya lelucon di dunia maya, di kehidupan nyata tidak demikian adanya." Padahal, ketika jari sudah setajam lidah, maka kita adalah apa yang kita tuliskan, bukan lagi sekedar apa yang kita katakan. Semoga saya bisa mendisiplinkan diri, khususnya di informasi. Satu yang sudah berhasil saya kurangi, STOP SHARING NEWS. Hehehe, untuk sharing 1 link saja, saya muter-muter baca beberapa view. Dan itu cape saudara-saudara. Hihihi, lebih mudah share gak pakai mikir. Kadang-kadang masih suka tergelitik untuk meninggalkan jejak, "sudah klarifikasi?" atau "ini hoax". Tapi lama-lama saya cape, proporsi yang 'demen posting pakai jurus "Think!"' -> dia yang posting, kenapa saya yang harus mikir? <- atau malah pokoknya share, jauh lebih banyak daripada orang-orang yang berusaha menyajikan berita secara berimbang. Bukan salah mereka juga sih ya kalau gak pernah ikut pelatihan jurnalistik. Buat saya, yang paling sederhana yang bisa saya lakukan: Share, kalau dari narasumber utama. Bukan opini dari si A yang dikutip B dan di share C kemudian di komentari oleh D. :D Bahkan sejak masih jadi pramuka siaga kita sudah belajar apa yang namanya distorsi informasi. Tapi ya sudahlah, toh kebebasan berpendapat itu dijamin oleh Undang-undang. Ini saya, bagaimana dengan Anda? Dua tahun lalu,
Si sulung nanya, persis di tengah-tengah musim ujian begini: "Jika fungsi DPRD itu melakukan pengawasan terhadap anggaran, mengapa anggota DPRD ada yang korupsi?" Nice question, eh? Anak-anak lagi yang nanya, jawaban ibunya kelak akan jadi pedoman sepanjang masa. "Nak, sistemnya diciptakan memang dengan tujuan seperti itu. Tetapi, namanya manusia, ada saja yang berusaha memanfaatkan kelemahan di dalam sistem itu...." "Apakah itu dibolehkan, Bu?" "Apakah mencuri itu dibolehkan?" "Tidak, Bu." Dia berpikir sejenak, "Apakah sebelum menjadi anggota DPRD mereka belajar PKN dulu, Bu? Hahahahaha.... tak bisa menahan tawa. Sebagian dari kita belajar memang hanya untuk sekedar lulus. Sebagian lagi, berusaha mengambil hikmahnya. Saya punya seorang sahabat perempuan. Untuk orang yang tidak benar-benar mengenalnya, dia ada di deretan orang yang harus dijauhi karena perkataannya yang setajam silet. Hahaha....
Dia tidak akan sungkan menyebutkan hal yang tabu, tidak etis dibicarakan di depan umum, itu kenapa meski anaknya cakep minta ampun gak akan lolos dia jadi presenter infotainment. Paling top dia jadi dirigen paduan suara, yang tidak mengharuskan dia bicara. grin emoticon Saya mendengar banyak complain tentang dia. Cuma bisa senyum aja, dan bilang, "Okay, I'll talk to her!" Mempan? Kagak, pemirse. Muter-muter milih kata dari yang paling nyantai sampai yang paling saklek, dia ya dia. Bawaan oroknya begitu. tongue emoticon Apa kemudian dia menjadi teko yang kata orang-orang pikirannya sekotor perkataannya? Hatinya segelap ocehannya? Otaknya sekusut makiannya? Pada saya, tahu kalau saya sakit saja, dia pasti langsung nelpon. smile emoticon "Sakit apa lu?" Gak usah dijelasin kaya apa pembicaraannya, gayanya ya gitu itu. Kadang terlalu saru untuk dibuat transkripnya. smile emoticon Well, most of us wearing masks to hide the real us. She didn't. Dan apapun yang orang katakan tentang dia, ya tetap dia teman saya, Waktu kemarin mertua sakit, ternyata belum diurus BPJS-nya. Sama si ayah pandang-pandangan, kenapa kita bisa lupa ya? Gimana ceritanya? :D -> Yes, we are Mr. and Mrs. Forgetful Setelah menyatukan keeping-keping ingatan, ternyata si Ayah dulu pas kantornya ngurus BPJS kan gak ngurus, karena dia udah punya Askes. Nah, waktu itu peraturan BPJS, PNS kan boleh nambahin orangtua dan mertua ke dam tanggungan BPJS-nya. Cuma, waktu nanya yang ngurusin aplikasi gaji di kantor, dibilang belum ada juklak/aplikasinya untuk itu. Kayanya, itu alasannya deh (mau dibilang ngeles juga monggo). Yasudahlah, akhirnya si Ayah memutuskan untuk ngurus sendiri saja. Dia sebenarnya minta saya ikut, tapi ada kolokium teman yang saya sudah berjanji akan menghadiri. Di Jalan Balai Pustaka itu, ada dua kantor BPJS. Satu yang sejajar dengan Apotik Rini, ini untuk penambahan angota keluarga. Dan satunya lagi, di seberangnya, ini untuk pengurusan kartu BPJS baru. Berdasarkan informasi yang ada di sini, iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar sebesar 1% (satu persen) dari dari gaji atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah. Setelah ambil nomer antrian, ternyata ada yang kurang, yaitu: Daftar Gaji dan SK terakhir saya. Karena, mau diikutkan ke saya. Persyaratan lengkapnya adalah:
Setelah urus daftar gaji, akhirnya saya nemenin juga si Ayah ke kantor BPJS. Dia sangat khawatir jangan-jangan nanti ada yang kurang, tandatangan atau apa gitu, jadi saya diminta ikut. Antrian untuk penambahan anggota keluarga PNS tidak sepanjang yang lainnya. Sebagai info, loket BPJS dibuka jam 7 pagi. Daftar baru, antrinya dari subuh. Sehari hanya melayani 200 pendaftar, Jam 8 biasanya nomer antrian sudah habis (info ini tadinya bikin saya stress dan malas, hihihihi). Kami datang jam 8 dan dapat nomer antrian D-51. Saat itu, yang dilayani baru sampai D-12. Maka hitungan saya, waktu pelayanan untuk 1 orang kurang lebih 5 menit. Jadi ya kira-kira, kita baru dilayani sekitar jam 11-an. Ada empat kategori nomer antrian, A untuk umum, B untuk perusahaan, C lupa apaan (hahaha), D untuk PNS/TNI/Polri. Di form penambahan anggota keluarga, kita diminta memilih Faskes Tingkat Pertama. Ternyata, selain Puskesmas, kita boleh pilih beberapa Klinik yang sudah bekerjasama dengan BPJS. Sayangnya, dari daftar nama Klinik yang ada untuk Jakarta Timur, gak ada yang familiar gitu. Jadi si Ayah memutuskan untuk di Puskesmas Duren Sawit saja. Gak masalah sih, kami pencinta Puskesmas. Saya jarang minum obat walau lagi sakit, dan kalau terpaksa minum obat sekalipun, mempannya sama obat Puskesmas. Hahaha…. Setelah numpang ngadem di Ranti, duduk sampai bosan, dan akhirnya menyusuri jalan Balai Pustaka sama si Ayah cari sarapan (berasa balik ke jaman awal nikah, karena kami ngontrak paviliun di dekat situ, sebelum saya berangkat ke Kendari), akhirnya jam 11 kami kembali ke gedung BPJS. Eh, antriannya kelewat, sudah D-53. Untungnya, D-53 nya juga belum datang, jadi kami menggantikan D-53. Semua syarat diserahkan, formulir gak dibaca, si Mbaknya malah nanya, Faskesnya di mana? Saya bilang saya ngga tahu kodenya. Dia bilang, sebut saja. Ya sudah, saya bilang Puskesmas Kecamatan Duren Sawit. Langsung dia input ke komputer (Pertanyaan saya, terus formulirnya buat apa, Mbak Cantik? Kalau bisa wawancara ya wawancara saja toh, lebih murah, hemat kertas….) Terus saya bilang lagi, “Mbak, kami mau pindah Faskes, itu kartu Askes, Faskes pilihannya masih Puskesmas Rawasari. Sekarang sudah gak tinggal di Jakarta Pusat lagi.” Jawab si Mbak, “Oh, Oke.” Si Mbaknya ngasih formulir yang harus di isi, terus dia memindahkan Faskes kami ke Puskesmas Duren Sawit, dan print lembaran keterangan bahwa Faskes sudah dialihkan. Padahal saya belum ngisi formulirnya. Lalu, saya tanya lagi, “Mbak, ini formulirnya gimana?” Dia jawab, “Lampirkan saja nanti di situ.” Kemudian, kami diberi nomer rekening virtual account, dan bundelan syarat-syarat kelengkapan tadi. Dengan pesan dari si Mbak, “Transfer ke nomer ini ya Mbak, nanti kembali lagi ke sini.” Oh iya, yang say abaca kan preminya 1% dari Gaji Pokok ya? Ternyata engga tuh. Hitungan saya sih 1.3% Tapi ya gakpapa sih, masih lebih murah dari premi regular. Pilihan bank adalah Bank Mandiri, Bank BNI, dan Bank BRI. Kalau boleh pakai mobile banking sih bisa transaksi di situ, selesai. Karena harus melampirkan bukti transfer, terpaksa kami nyari ATM. Alhamdulillahnya, di seberangnya ada ATM BNI. Dengan polosnya karena perintah si Mbak itu Transfer, ya saya masuk ke menu Trasfer dong. Tapi kok nomer tidak dikenal, nah lho. Untung Satpamnya sigap, dia yang ngasih tau, “Bu, kalau BPJS, masuknya lewat menu pembayaran.” Ih keren deh Bapak Satpam, pasti udah sering ya ketemu orang yang bingung kaya saya. Hahaha…. Tandanya, Satpam penuh pengalaman. Yang perlu dinput setelah nomer rekening virtual account tadi adalah: jumlah bulan yang dibayar (maksimum 12). Nanti, preminya otomatis tercatat. (Pertanyaannya, kalau online begini, kenapa gak boleh pakai mobile banking pas di BPJS nya aja, jadi saya gak perlu panas-panasan, hiks). Dapat bukti transfer, saya pun kembali ke gedung BPJS-nya. Kali ini, gak pakai nomer antrian lagi. Tinggal nunggu di depan Mbak-nya. Bundelan syarat tadi dikembalikan (tanpa formulir perubahan data, saya ngga ngerti kenapa harus di isi, lha datanya sudah dirubah, hehehe), daaaaaaannn…. Kartu BPJS ayah mertua saya pun di print-kan. Beda dengan milik kami (Saya, suami, dan anak-anak) yang cuma lembaran kertas dengan catatan Faskes baru (Mbaknya memang bilang sih, nggak perlu ganti kartu, kartu Askes lamanya masih bisa digunakan), punya ayah Mertua sudah dengan plastik laminasinya. Sebenarnya prosesnya sih cepat ya, ditotaljendral semuanya ketika ada di loket tidak sampai sepuluh menit. Seandainya saja di gedung BPJS nya ada ATM atau boleh pakai mobile banking. Sebenarnya, katanya bisa online daftarnya. Tapi NIK ayah mertua saya, tidak dikenali oleh sistem BPJS-nya. Entah kenapa. Oiya, tambahan keluarga dengan premi 1% ini hanya berlaku untuk Anak, Orangtua, dan Mertua yaa…. Tadinya mau daftarin adik juga, tapi gak bisa. Hiks…. Semoga informasinya berguna yaaa.... :) Fungsi gadget yang satu ini penting banget buat saya.
Di laptop, printscreen itu membantu banget kalo lagi bikin catetan yang perlu step by step. Saya banyak lupa, makanya harus banyak mencatat. Sekarang aja kadang-kadang masih takjub, oh dulu pernah belajar ini ya? Ngerjain itu ya? Kalo liat arsip catatan. grin emoticon Di HP, awalnya gunanya buat capture bukti transferan seiring dengan era sms dan internet banking. Di era 'no pic hoax' ini ya capture-an seakan lebih sah daripada paste-an. grin emoticon Jadi, di era socmed ini ada yang aneh kalo post di screenshot? Hehehe.... Era socmed adalah era -komentarmu harimaumu- jadi, mikirnya ya sebelum komen, bukan seudah di delete. grin emoticon Sekian. Sudah masuk masa Penerimaan Mahasiswa Baru di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Seperti biasanya, janji untuk bisa langsung jadi pegawai negeri, kuliah yang gratis, uang tunjangan ikatan dinas, adalah kalimat promosi yang paling efektif untuk diceritakan ke calon mahasiswa baru ataupun orangtuanya. Sebagai pengelola sebuah perguruan tinggi swasta, suami saya iri sekali dengan semua keistimewaan STIS. “Tidak usah repot-repot promosi, mahasiswa akan berdatangan dengan sendirinya,” begitu katanya. Benarkah demikian? Mungkin ya. Tapi saya mulai bosan dengan Kampanye STIS yang itu-itu saja, kesannya, kalau kuliahnya gak gratis ya gak usah ke STIS. Di tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman untuk melihat, kenapa sih kok ya harus STIS? Pertama: Tentang Persaingan Untuk Masuk ke STIS Melalui telusuran di dunia maya (entah kenapa sebagai Institusi Pendidikan dengan Jurusan Statistika, STIS tidak mencantumkan statistik pendaftar di situsnya, hehehe, terkesan kurang Statistik ya?), saya mendapatkan jumlah peserta USM STIS dalam 5 tahun terakhir. Tahun Akademik 2010/2011: 17013 Tahun Akademik 2011/2012: 22661 Tahun Akademik 2012/2013 sekitar 28000 Tahun Akademik 2013/2014: 26400 Tahun Akdemik 2014/2015: 25458 Jumlah mahasiswa yang diterima sekitar 500 saja, ini sudah termasuk mahasiswa jalur Tugas Belajar dan mahasiswa PMDK. Dengan demikian, kalau dibuat rasio, ini perbandingannya sekitar 1:50. Maka di kemudian hari setelah mereka lulus dari STIS, saya sudah tidak heran dengan kebiasaan alumni yang bersaing untuk mendapatkan beasiswa. Kami telah terbiasa bersaing dalam hal prestasi, setidaknya, sejak memutuskan untuk mendaftar ke STIS. Kedua: Tentang Pendidikan Statistika “Departemen Statistika IPB adalah departemen pertama yang menyelenggarakan pendidikan tinggi ilmu statistik di Indonesia dan telah menghasilkan lulusan yang diakui secara nasional maupun internasional.” Demikian klaim Departemen Statistika IPB yang saya baca di http://www.stat.ipb.ac.id/id/ Iya betul juga sih, kalau dalam bentuk Departemen/Jurusan IPB adalah pelopor. Hasil googling angkatan, di blog ini: tahun 2014 itu S1 Statistika disebut sebagai Angkatan 50. Di STIS, mahasiswa yang masuk tahun ajaran 2014 kemarin dikenal sebagai Angkatan 56. Jadi? Silahkan diambil kesimpulan sendiri. Ya, STIS awalnya adalah Akademi Ilmu Statistik. Peralihan dari Program Diploma III ke Program Diploma IV terjadi pada tahun 1997 melalui melalui Surat Keputusan Nomor 295/D/T/97 Tanggal 24 Pebruari 1997, yang isinya mengijinkan BPS menyelenggarakan Program Diploma IV. Sebagai lulusan tahun 2003, saya adalah lulusan Program Diploma IV ke-6 di STIS. Tapi jangan salah, meski hanya setingkat Diploma III, lulusan Akademi Ilmu Statistik dulu itu, beberapa ada yang diterima untuk melanjutkan S2 di luar negeri hanya bermodalkan ijazah Bachelor-nya itu. Karena, kurikulum yang diberikan di AIS (juga di STIS sekarang) selalu ‘padat berisi’. Buat saya, inilah salah satu alasan “Kenapa harus STIS?”, bukan yang lainnya. Karena, di STIS, kita tidak hanya belajar tentang Teori Statistika, tetapi sudah disiapkan untuk menjadi seorang Statistisi. Ketiga: Tentang Prestasi Mahasiswa Mampukah STIS bersaing dengan jurusan-jurusan Statistika lainnya? Sayangnya, halaman ini jarang update ya? Prestasi terakhir yang diunggah ke situ tahun 2012. Tapi itu saja sudah menggambarkan, dalam hal apa saja mahasiswa STIS mampu bersaing dengan mahasiswa lainnya. Sebagai alumni, saya bahagia dengan prestasi adik-adik saya, yang bukan cuma di bidang Statistika saja, tetapi juga di kegiatan kemahasiswaan lainnya. Buat saya, tiga alasan tadi lebih menarik untuk dipertimbangkan ketika memutuskan untuk mendaftar ke STIS. Tetapi, selain itu, mohon pertimbangkan ini ketika hendak mendaftar ke STIS. Tentang Mahasiswa STIS Mahasiswa STIS adalah mahasiswa sekolah kedinasan. Karenanya, ada peraturan yang mengikat dan mungkin tidak ditemukan di sekolah non kedinasan. Salah satunya adalah peraturan tentang seragam. Pesan saya, silahkan cari dan pelajari aturannya baik-baik. Jika itu dirasakan tidak memberatkan, silahkan diteruskan. Sumber informasi yang paling tepat adalah mereka yang masih berstatus mahasiswa STIS. Untungnya, mahasiswa STIS berasal dari seluruh wilayah di Indonesia. Nanti deh, kalau sudah ada link ke contact person masing-masing Himada, saya post di sini. Sekarang, silahkan gunakan informasi berikut sebagai bahan untuk googling ^_^. HIMADA yang ada di STIS:
Tentang Lulusan STIS Sebagai sekolah kedinasan milik Badan Pusat Statistik, mengikuti Syarat dan Ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah, lulusan STIS akan ditempatkan di SELURUH Indonesia. Yang artinya, akan ada yang ditempatkan di Ujung Barat Indonesia sampai ke Ujung Timur Indonesia. Diskusikanlah sejak sekarang kemungkinan ini dengan orangtua. Entah apa yang ada di bayangan teman-teman tentang menjadi PNS, tetapi, pekerjaan lulusan STIS di BPS kelak, bukan pekerjaan yang selalu ada di balik meja di ruangan ber-AC. Dibutuhkan sedikit hobby traveling dan bertualang, serta dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat. Nah, ini ada ilustrasi yang bagus tentang “Apa aja sih nanti kerjaannya?”, atau di sini. Diawali dengan KEPO, diakhiri dengan MENDAFTAR Semoga tidak terbalik ya, mendaftar dulu baru KEPO kemudian. Hehehe.... Setelah semua informasi yang diperlukan telah didapatkan, bulatkan tekad, persiapkan diri, persiapkan semua persyaratan, dan mulailah dengan mengisi ini: Silahkan juga kunjungi situs ini untuk informasi TRYOUT NASIONAL dan ini untuk informasi Buku Latihan Soal Ujian Saringan Masuk STIS.
Meminjam akhir cerita beberapa teman-teman mahasiswa STIS lainnya, maka iklan ini akan saya akhiri dengan: SALAM STIS, semoga Anda dapat bergabung menjadi STIS Angkatan 57. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|