Dua minggu sudah sekolah anak saya resmi pakai kurikulum 2013, yang gak ada Bahasa Inggrisnya itu lho....
Sejauh ini: 1. Saya suka karena tas mereka berdua jadi enteng. Tiap harinya yang dibawa 1 buku paket tematik, 1 buku catatan, 1 buku PR, sarung, tambahan buku Agama kalau ada pelajaran Agama, dan baju ganti, kalau olahraga. Dibandingin ama dulu, jauh lebih ringan. Dulu ngalahin beratnya ransel saya. 2. Tiap malem bikin project. Ada aja pesen ibu beli ini, ibu beli itu. Dan si sulung bilang, sekarang apa-apa kerja kelompok. Satu yang dia gak suka, karena dia ketua kelompok, seakan cuma dia yang disuruh mikir.... waktu saya bilang "ya jadinya kamu tambah pinter dong mikir terus" dia jawab "tapi kan kerja kelompok itu seharusnya semua jadi pinter, bukan cuma seorang aja...." good boy, nice answer. 3. Bukunya bisa di download gratis. Ada buku buat pegangan siswa, ada buku pegangan guru. Saya download juga buku pegangan gurunya, pengen tau tujuan dan cara penyampaian untuk masing-masing bab (ya, saya kepo-nya emang kebangetan :p) 4. Protes dari anak saya sih, itu buku ga kaya jaman dulu lagi (eaa, baru kemaren kali, jaman dulu aja), di mana soal latihan itu ada teksnya sebelumnya, jadi dia tinggal nyalin dari bacaannya. Sekarang, hampir semua menggunakan nalar. Harus mikir. Bagusnya, tiap malem kita diskusi mulu soal PR (ini jauh lebih seru daripada meriksa skripsi mahasiswakuuuh, hiks). 5. Supaya tidak mengecewakan anggota kelompoknya (ealah), si sulung tiap hari belajar ekstra. PR hari ini, dan bahan untuk besok "Jangan sampai besok aku gak ngerti nih, Bu...." hihihi.... By the way, setelah saya inget-inget lagi, jaman dulu banget (ini dulu banget beneran), metodenya, cara-cara yang disampaikan anak saya itu mirip banget ma kurikulum CBSA kita dulu. (kita? Elu aja kali Fa, gw ngga.... :D)
0 Comments
Jam sembilan pagi, trio ganteng sudah sibuk keliling komplek sepedahan nyari lomba 17-an. Ternyata, lombanya mulai habis dzuhur. Jadilah, di rumah latihan dulu. Lomba balap kelereng, lomba masukin pensil ke dalam botol, lomba makan kerupuk. (Kami keluarga konservatif yang percaya "practices make perfect") Ganteng 0: "mau menang gak?" Ganteng 1: "ya mau lah!" Ganteng 0: "sini dikasi tau triknya.... pas diukur waktu mau ngiket kerupuk, rendahkan sedikit badannya, jadi nanti kerupuknya gak terlalu tinggi...." Ganteng 1: *mikir sebentar* "aku mau menang, tapi gak mau curang!" Ganteng 0: "lho, itu namanya strategi!" Ganteng 1: "itu namanya curang!" Hihi.... kartu kuning buat Ganteng 0! Libur akhir semester tahun 2002 saya magang di sebuah perusahaan riset. Suatu waktu, kebagian kerjaan guide dua mahasiswa asal Jepang, untuk survei lapangan. Pas jadi guide ini, yang nyusahin sebenernya Bahasa Inggris mereka yang aneh. Mungkin karena biasanya yang saya dengar American English ya....
Itu bukan pengalaman survei pertama saya. Jadi, ditolak responden sudah biasa. Tapi, saya tipe pencacah yang pantang menyerah. Hehehe.... sebisa mungkin datanya harus dapat, tinggal mikir pendekatannya gimana. Biasanya berhasil, kecuali yang ini. Kami pergi ke daerah Tegal Alur, sengaja saya pilih supaya saya bisa sekalian cek kerjaan pencacah saya (waktu itu jabatannya supervisor), yang macet gak selesai-selesai. Berbekal tanya sana, tanya sini, sampai juga ke tkp (dulu blm ada google maps). Perjalanan mencari rumah responden pun dimulai. Di rumah pertama, yang menyambut adalah engkong-engkong. Dari logatnya sih, orang Betawi. Taksiran saya usianya 70 tahunan. Saya gak pernah tahu bener ngga taksiran saya itu.... "Ngapain lu bawa orang bule kemari?" Sambil senyum saya jelasin, mereka bukan bule. Meski rambutnya ada yang di cat pirang, mereka orang Asia juga, orang Jepang. Dan, sedang dalam penelitian juga terkait dengan survei yang akan saya tanyakan. "Hah? Jepang?" Si engkong masuk ke dalem rumah lagi, keluar bawa senapan angin "Pegi, lu pegi dah dari rumah gue! Gue gak sudi rumah gue diinjek penjajah!" Untuk alasan keamanan, saya pun pergi dari rumah itu. Memandangi wajah kedua mahasiswa Jepang yang keheranan, saya jelaskan bahwa si Kakek keberatan dengan kehadiran mereka, yang asal Jepang, yang negerinya pernah menjajah Indonesia. Kami bertiga terdiam cukup lama, sampai saya memutuskan untuk meminta maaf. Ke rumah-rumah berikutnya, saya minta mereka menunggu dulu agak jauh, biar saya mintakan izin ke pemilik rumah, kalau tidak keberatan baru saya ajak. Saya cuma tidak ingin, kesan yang mereka bawa pulang, orang Indonesia itu pendendam. Dua belas tahun berlalu. Saya terbiasa percaya orang Indonesia itu santun, pemaaf. Baik budi bahasanya. Sebagaimana cerita dalam buku Pendidikan Moral Pancasila. Ternyata? Hanya gara-gara pilpres saja mudah sekali mengeluarkan kata-kata yang tak pantas, tebar fitnah, tebar caci. Dan lagi, bahkan bersiap untuk tidak mengakui negeri ini punya Presiden. Pemaaf? Santun? Bersatu? Kuat? Ah, kita masih terjajah, kawan. Oleh diri kita sendiri. Semoga segera merdeka.... Terimakasih, Ayah Elwindra Adha
Anggap saja saya lebay. Rencana awal ingin menyekolahkan anak di International School. Dalam rangka menghadapi tantangan global. Masalah mampu atau tidak, rasanya untuk anak-anaknya setiap orangtua akan memaksakan diri untuk mampu. Dan sayapun bodoh. Saya ingin anak-anak saya punya pengetahuan agama yang lebih baik dari saya. Maka sekolahnya haruslah Sekolah Islam Internasional. Dan si Ayah cukup setia menemani berkeliling Jakarta Timur mencari sekolah yang kami mau. Setelah puas melihat saya yang panik gak dapat sekolah yang cocok di hati dan cocok di kantong, mulailah dia mengajukan pertanyaan. 1. Sejak kapan kewajiban mendidik masalah agama jadi tanggung jawab bu guru dan pak guru? 2. Darimana saya mengambil kesimpulan bahwa sekolah internasional lebih baik dari sekolah lokal? 3. Apa yang kamu inginkan dari anak-anakmu? Dan kemudian dia membuat -final statement-. Saya ingin, anak saya kelak mengerti bahwa perbedaan itu ada, dan kita wajib menghormati perbedaan itu. Saya ingin, anak saya kelak adalah insan yang bukan besar dari golongan ekslusif, tapi besar di antara rakyat, agar kelak jika dia jadi pemimpin, jadi pemimpin yang merakyat, memahami kebutuhan rakyatnya. Dan saat itu saya baru mikir apa arti nasionalisme. SD Negeri, kami titipkan anak-anak kami kepadamu! (Walau tetep protes mah jalan terus :D) #masihseputaragustusan Gak ada satupun link mengenai si jilbab gaul - maaf saya gak minat mempopulerkan istilahnya - yang pengen saya share di timeline ini.
Manusia hidup itu cari apa sih? Berusaha untuk menjadi lebih baik, kan? Ada ga yang langsung ujug-ujug baik? Ujug-ujug sempurna? Alhamdulillah kalau teman-teman termasuk yang demikian, saya ikut berbahagia untuk Anda. Kepada beberapa sahabat yang sedang menguatkan diri untuk hijrah dan bertanya, cerita saya gini "Dulu saya pikirpun saya gak akan pernah mau pakai sebelum merasa pantas. Lalu kemudian saya berpikir, bagaimana jika saya kemudian gak pernah merasa pantas? Dan saya pun membalik logikanya. Jadilah. Digugurkan dulu kewajibannya, mari kita mulai memantaskan diri." Apakah itu mudah? Ya tidaklah. Tidak seperti Roro Jonggrang yang membangun Tangkuban Perahu dalam semalam, eh.... Lewat banyak proses lebay, dan sampai sekarang pun Alhamdulillah saya tidak pernah merasa sempurna. Jadi kalau adik perempuannya, anak gadisnya, anak tetangganya, anak saudaranya, atau malah anaknya siapa yang Anda juga gak tahu, kemudian mengenakan -jilbab yang tak pantas-, pantas gitu beritanya disebar-sebarkan? Kalau memang perduli, dan tujuannya mengingatkan kerabat dekat kita, ingatkan langsung ke orangnya (jangan lewat socmed juga keleus, itu mah namanya pengumuman). The rule is so simple. Kalau kemudian jadi ada yang membuka hijabnya, saya juga jadi gak aneh. Kan emang beberapa dari kita juga suka ngomong "Mending gak pake daripada begitu...." You got what you ask, my friends.... Mari kita sama-sama mendoakan mereka-mereka yang fotonya dipajang tanpa izin itu, agar menjadi lebih baik lagi. Oiya, saya pun yakin beberapa dari teman gak bermaksud menyebarkan foto, hanya ingin share beritanya saja. Pesan saya, thumbnail bisa di edit. Bisa tanpa thumbnail. Tapi tetap saja itu tidak menolong untuk tidak mempopulerkan istilah itu. #menolakmempopulerkan Hari terakhir cuti, Senin kembali ke kenyataan. Bikin status terakhir ah ttg capres2an, dan kemudian silent.
Yth Bapak Joko Widodo, kalau nanti berhasil jadi Presiden, saya minta belajarlah untuk tegas pada media, seperti apa yang dilakukan Prabowo (tapi jangan pilih-pilih media ya, Pak). Belajarlah mengklarifikasi berita, bukan cuma bilang "Rapopo". Belajarlah dari PKS, yang kehilangan kepercayaan dari beberapa pendukungnya, karena pembiaran terhadap PKS Piyungan. Bagi masyarakat Indonesia, diam itu artinya iya! Terus belajar ya, Pak. Jangan kaya Bu Mega juga, gak mau salaman sama SBY. Ngajarin yang gak bener tuh ke rakyat Indonesia. Mendingan Bapak yang masih muda yang ngalah mencairkan suasana. Yth Bapak Prabowo Subianto, jika nanti Bapak menjadi Presiden terpilih, jangan hanya mendengarkan informasi dari orang-orang terdekat Bapak saja ya Pak. Terus terang, Bapak pas debat capres, dan Bapak selepas 9 Juli adalah dua orang yang berbeda. Bapak yang sebelumnya masih mau milih, mana info yang perlu didengar, disetujui, berubah menjadi Bapak yang hanya mau mendengar orang yang sejalan dengan Bapak saja. Kalau Pak Harto gak terlalu dengerin Pak Harmoko yang bilang "Rakyat masih menginginkan Bapak" mungkin gak akan ada tragedi 1998. Pak, 98 itu, di hari ulangtahun saya, negeri saya tercinta ini berkurban manusia. Bikin saya trauma kalau mau tiup lilin, mikir apa pantas atau tidak saya -bersukacita- di hari itu? Udah gitu ya Pak, gak semua perjuangan itu harus menumpahkan darah. Background Bapak yang militer, plus kata-kata favorit Bapak belakangan ini, berjuang sampai titik darah penghabisan, bikin saya mikir setiap harinya harus siap untuk berperang. Saya tidak pernah menyesali keputusan deactivate FB kmrn pas ramadhan. Type saya yang tukang kritik lebih banyak bawa musuh drpd bawa temen. Wkwkwkwkwk.... Selamat beraktifitas kembali mantreman. Yang lagi menghadapi arus balik, semoga sampai kembali di rumahnya masing-masing dengan sehat dan selamat. Masih ingat gak, ketika istri dari seorang artis Ibukota (ehm), meninggal dunia akibat kecelakaan, dan ada yang posting foto jenazahnya di media sosial? Reaksi apa yang didapatnya? Diingatkan, bahwa itu tidak sepantasnya (ada yang dengan cara halus, ada juga yang kasar, di-bully lah istilahnya, hehehe).
Di grup wa/bbm/line yang saya ikuti, saya jg lumayan cukup ngeyel soal foto2an ini. Utamanya foto yang mengeksploitasi bagian tubuh, alasan saya ya jelas, saya tidak menganggap itu lucu, dan gadget saya yang pakai bukan cuma saya sendiri, tapi anak-anak juga. Maka ketika ada yang memperingatkan, salah sendiri anaknya dibebasin pake gadget ibunya, dengan senang hati saya leave groupnya. Sekarang saya khawatir. Tentang etika penyebaran foto jenazah. Saya mengerti betapa ingin rekan-rekan memperlihatkan kekejaman tentara Israel di Palestina, dengan bukti betapa banyak anak kecil yang menjadi korban. Saya tidak kuasa memberikan larangan kepada rekan-rekan. Tapi saya minta tolong, lagi-lagi juga dengan alasan gadget saya milik umum di rumah itu. Yang perlu dipertimbangkan untuk memuat foto jenazah/korban kecelakaan/korban perang (masuk kategori disturbing pictures), etika umumnya, gak boleh menampilkan gambar korban yang rusak/hancur di berbagai media untuk umum. Kalaupun memang merasa perlu menampilkan biasanya di sensor, atau kalau gak mau nyensor karena kepentingan tertentu, wajib memberikan keterangan dan peringatan di awal bahwa gambar yang akan ditampilkan berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan dan gangguan bagi si pemirsa yang akan melihat. Dan biasanya lagi, foto itu ditampilkan hitam putih, agar merahnya darah tersamarkan (merah darah punya efek psikologis yang kurang baik untuk pembacanya). Saya mengerti tidak ada maksud jelek dari kawan-kawan dalam menshare gambar-gambar itu. Tapi untuk menjaga keseimbangan, yuk kita juga mulai peduli pada etika-etika di dunia. Setidaknya, jika memang merasa perlu menampilkan itu sebagai bukti kekejaman Israel, please edit dulu jadi hitam putih. Bagaimana kalau itu hasil thumbnail berita yang di share link nya? Thumbnail bisa dipilih. Bisa tanpa thumbnail juga. Selamat malam, semuanya. #kokjadikangendenganduniajurnalistikya? |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|