Hari ini saya cukup shock dengan salah satu kegiatan di almamater saya tercinta, STIS, lewat Satuan Penegak Disiplin-nya.
Merujuk kepada aturan, dan membayangkan diri saya ketika masih menyandang status mahasiswa STIS, saya positif melanggar 8 dari 11 poin penilaian. Untung saja, ini tidak berlaku mundur. Fiuh. Masih segar di ingatan, salah satu yang memberatkan saya menerima bujukan Dad untuk kuliah di STIS itu adalah berseragam. Setelah 12 tahun berseragam, masa iya kuliah juga harus berseragam? Belum lagi nanti kerjanya. Begitulah pikiran saya waktu itu, saya sama sekali bukan tipe -seragam-. Lama banget saya berusaha menerima mahasiswa STIS itu diatur ya karena dibayarin negara, jadi negara, lewat pimpinan di STIS, bisa request kita untuk patuh. Walau saya engga bisa memahami, apa hubungan IPK, ketertiban berseragam, dan prestasi kerja yang bersangkutan (kelak). Sekarang, selain seragam, aturannya makin luar biasa. Niru-niru militer yang mana kita sama sekali bukan militer. Salah satunya adalah kewajiban membrasso ikat pinggang dan sepatu yang wajib disemir. Di kepala saya terlintas mereka beberapa tahun yang akan datang, menerima 'wejangan' manis khas staf BPS di Kabupaten/Kota "Saya tak perduli seberapa mengkilapnya ikat pinggangmu, seberapa bersihnya sepatumu. Saya cuma mau, dokumen kamu masuk tepat waktu!" Untuk bisa tepat waktu itu, harus mau turun ke sawah, nyusurin kamar mandi umum, dan hal-hal yang berpotensi bikin kotor sepatu! Kebayang kan kalo gak berani kotor? Mau jadi apa anak-anak ini kelak? Okelah, gak perlu jauh-jauh ke aktivitas mahasiswa kebanyakan yang hobynya demo, saya sudah bisa memahami ucapan seorang dosen "Kalian itu tugasnya belajar, bukan ikutan demo!" Kembali ke kenyataan, bahwa kami mahasiswa ikatan dinas, ditugaskan untuk belajar, kelak menjadi bagian dari pemerintahan itu sendiri. Sampai situ, saya bisa terima. Tapi, tahun 2015 ini, di saat pemerintah menjadikan baju hitam - putih sebagai seragam kerja, atas nama kesederhanaan, STIS memilih menyilaukan diri lewat sepatu, dan ikat pinggangnya. :) Besok-besok, ingatkan saya untuk pakai kacamata hitam kalau bertandang ke STIS! Silau, Men!
1 Comment
Libur sekolah identik dengan musim khitan. Alhamdulillah, duo ganteng dah di khitan pas mau naik kelas 3.
Orang-orang bilang, anak-anak itu dikhitannya nunggu mereka minta saja. Tapi saya mikirnya, selagi masih anak-anak lebih baik. Jadilah, mereka ditawarkan pas si kakak mau naik kelas 3, si adik mau naik kelas 2. Skenario awal adalah mereka dikhitan bersama. Kami sudah mencari tempat, pilah-pilih metode, dan jatuhlah ke Klinik Karunia Bunda (sekarang Klinik Karunia Kasih) di Pondok Gede, metodenya smart klamp, dengan biaya kala itu Rp. 750.000,- per anak. Pertanyaan mendekati hari H itu adalah "Apakah akan sakit?" Karena saya tidak bisa menjawab, saya persilahkan si Ayah untuk menjawab. Dan si Ayah bilang, "Sedikit, pas di suntik seperti digigit semut." :) Kepada mereka berdua, kami janjikan mereka akan menjadi raja seminggu, setelah khitan. Boleh minta satu permintaan, apa saja, plus bonus uang jajan Rp 500.000,- Alhamdulillah anak-anak manis-manis, mereka cuma minta PS 3. Hari H. :) Jam 9, kami sudah ngantri di ruang tunggu. Proses khitan dilakukan di ruang UGD. Dokternya sudah siap dua orang, tetapi pagi itu, ada kecelakaan. Jadi, bed yang kosong hanya ada 1. Sehingga rencana awal, mereka dikhitan bersamaan tidak bisa terlaksana. Ketika dokter meminta salah satu di antara mereka masuk, saya dan para ganteng berpandangan, siapa yang mendapat giliran pertama. Dengan gagah berani, si kakak mengajukan diri, "Aku saja, Bu!" Dan dengan penuh harap, saya bisikkan ke Ayahnya "Ayah yang temani, ya? Ibu takut gak tega....!" Begitulah. Kamera yang disiapkan entah kemana. Kami sudah melupakan itu. Saya dan si adik menunggu di ruang tunggu. Saya menggenggam tangannya, yang terasa semakin dingin. Lima menit kemudian, si adik dipersilahkan masuk. Dia mengekor di belakang saya. Begitu pintu UGD terbuka, terdengar lengkingan panjang "Ayaaaaaaahhhhh, tolooooooooonnngg!" Segera saja wajah si adik memucat. Dia memeluk saya erat, dan berkata, "Ibu, tolong! Aku belum siap! Betul-betul belum siap!" Saya bingung tak tahu mau bilang apa, seketika mengingat waktu di mana saya mau melahirkan dia, yang pakai acara melarikan diri dari kamar bersalin rumah sakit, sedikit mengutuk diri, lah yang begini kok diturunin. :( "Dik, PS-nya bagaimana?" pertanyaan terabsurd yang ditanyakan seorang Ibu pada anaknya. "Tak apa, Ibu. Aku rela...." Saya pun meminta maaf kepada dokternya. Untung si Ayah juga setuju, dia, terakhir kali saya melihat si Ayah pucat begitu ketika melahirkan Alif, berkata "Attar tahun depan saja!" Setibanya di rumah, efek biusan si kakak masih tertinggal. Tak berapa lama dia terlelap. Sesuai janji, seminggu penuh dia jadi raja. Tetapi, PS3 nya belum, karena kan adiknya belum khitan. Sambil bermanja, dia berkata sama adiknya, "Adik, tahu engga. Kata Ayah, sakitnya kan sedikit, kaya digigit semut! Ayah itu bohong, Adik!" Saya pun gelagapan, haduh, salah timing ini si kakak ngomongnya. Segera saya panggil si Ayah untuk memisahkan mereka sejenak. Saya kemudian memuji si kakak karena keberaniannya, dan meminta dia untuk tidak menakut-nakuti adiknya. Dia bilang, "Sengaja sih, Bu, aku minta duluan! Kalau giliran kedua, aku takut keburu takut melihat adik!" Well, dia selalu punya pola pikir yang ajaib. Lagi-lagi saya berpikir waktu dia mau lahir, betapa nyantainya saya dan suami, yang awalnya berpikir ini akan kita hadapi berdua. Yang kemudian berakhir melahirkan ditungguin orang sekantor! :D Ya, benar, sekantor! :) Tahun berikutnya. Mengingat apa yang terjadi pada si kakak, rapat keluarga memutuskan para sepupu akan dikhitan bersamaan. Total, ada lima anak lelaki yang akan dikhitan. Dengan rentang usia 5 - 9 tahun. Saat itu saya sedang berada di Surabaya, kuliah. :( Lewat telpon, saya mengingatkan si Ayah, "Pastikan si Adik pertama ya gilirannya...." mengingat kejadian sebelumnya. Saya tidak bisa menceritakan detailnya proses khitan si Ganteng 2. Metode yang dipilih smart klamp, tetapi mantrinya yang dipanggil ke rumah. Tetapi, dari rangkuman cerita saudara-saudara, si Ganteng 2 begitu ketakutan. Dibandingkan anak-anak lain yang ceria menghadapi khitan, dia duduk membisu, diam, menyendiri. Dan berulang kali berkata, "Aku giliran terakhir saja!" Ya, keceriaan anak-anak itu berakhir pada lengkingan pertama. :) Macem-macem deh perasaan, membayangkan wajahnya yang ketakutan, dingin jemarinya, dan ketidakhadiran saya :'( Sampai kemudian si Ayah menelpon dan mengatakan "Sudah selesai...." Lega, campur haru. Lusanya, saya baru kembali ke Jakarta. Si adik sedang jadi raja. Dan dia tidak semanja si kakak. :) Padahal itu waktunya dia jadi raja. :) Sewaktu lepas klamp, seperti biasanya si adik ketakutan. Saya mengakalinya dengan meminta dia berendam duluan. :) Padahal, rendaman duluan ya lepas klampnya duluan. Janji saya kali ini, "Ibu temenin adik, ayo, adik harus berani!" Meski tak rela, dia mendapat giliran pertama! Daaaaaaan, tidak menangis, tidak berteriak. Membuat empat peserta khitan lainnya lumayan berani menghadapi prosesi lepas klamp itu. :) Dua tahun berikutnya, saat teman-teman mereka bermain ke rumah, lucu sekali mendengar mereka berbangga hati sudah khitan, karena kebanyakan teman-temannya belum. :) Di kamar, saya goda, "Cieee.... berani gitu bilang gak sakit. Beneran, gak sakit? Mau lagi?" Tentu saja mereka tertawa. Dan kisah ini, kelak nanti akan saya ingat lagi. Kalau saya, punya cucu laki-laki. ;) |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|