Beruntunglah saya, yang masih suka ikut Upacara, Apel Pagi, walaupun terpaksa. Karena di saat-saat itulah mau ga mau saya melafalkan Pancasila, sering dilafalkan ya hafal dengan sendirinya. Beruntunglah saya, yang masih diberi kesempatan menemani anak-anak belajar. Mau gak mau, buka lagi buku Undang-undang Dasar, baca lagi pasal-pasalnya, penjelasannya. Kalau tidak pada kesempatan itu, entah kapan lagi itu Undang-undang saya buka. Beruntunglah kita, yang kemarin sempat melihat ada menteri yang dikabarkan memiliki dua kewarganegaraan. Dengan demikian, tiba-tiba kita mempertanyakan lagi, pada diri masing-masing, apa enaknya jadi Warga Negara Indonesia? Apa hebatnya menjadi penduduk di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini? Beruntunglah mereka, yang tinggal di Jakarta. Bisa sering-sering main ke Taman Mini Indonesia Indah, mengelilingi miniatur Indonesia, dan bisa melihat bukti nyata bahwa ada banyak perbedaan di Indonesia. Perbedaan rumah adat, busana daerah, tempat beribadah, cara hidup. Tetapi itu semua tetap sebagai bagian dari Indonesia. Memahami "Bhinneka Tunggal Ika" dengan sederhana. Tetapi, berapa banyak yang tidak seberuntung kita? Pancasila, UUDN RI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika: keempatnya dikenal dengan frasa "Empat Pilar". Sejauh ini, yang bisa saya temukan penjelasan tentang kenapa namanya empat pilar, dapat ditemukan di sini (link ke isi pidatonya sudah tidak ada, tapi salinan pidato bisa ditemukan di web Bappenas atau di sini), adalah Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono yang pertama menggunakannya di pidato kenegaraan. Saya ingin menyegarkan ingatan kita akan kerangka dasar dalam kehidupan bernegara. Ada empat pilar utama yang menjadi nilai dan konsensus dasar yang selama ini menopang tegaknya Republik Indonesia tercinta, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa kita, selalu ada saja ujian terhadap pilar-pilar utama kehidupan bernegara. Dalam era globalisasi dan era transformasi nasional dewasa ini, kembali kita menghadapi tantangan terhadap empat pilar utama itu. Terhadap rongrongan itu, pertama-tama kita harus menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa, sudah final. Namun, adalah Taufik Kiemas mendapatkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa karena ide Empat Pilar ini, dengan klaim sebagai penggagas ide empat pilar. Tidak, saya tidak akan membahas siapa yang duluan mengemukakan ide ini. Melainkan, kedatangan SBY di acara pengukuran Doktor TK, ini adalah bukti bahwa begitu baiknya komunikasi di antara mereka. Padahal, Presiden Republik Indonesia ke-5 dan ke-6 seringkali dicitrakan dengan 'enggan bertegur sapa'. Dan ada seorang Taufik Kiemas di antaranya, yang sadar akan posisinya sebagai warga negara Indonesia, dan sadar bahwa kepentingan bangsa harus lebih diutamakan bahkan lebih dari kepentingan pribadi dan golongan (dan kepentingan rumah tangga entah ada di urutan ke berapa, hehehe). Frasa Empat Pilar ini sendiri sebenarnya sudah dijatuhkan putusan oleh Mahkamah Konstitusi untuk tidak digunakan lagi. Bisa diperiksa di Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013. Jadi, pertanyaan pertama di kepala saya adalah, jika memang istilah ini tidak digunakan lagi, mengapa pada undangan yang saya terima untuk event "Ngobrol Santai Bareng MPR 2016", pertemuan antara Netizen dan MPR RI, sedikit bertemakan ngobrol santai tentang empat pilar? Jawaban yang kemudian dijawab dengan baik, bahkan sebelum saya bertanya, oleh Sekjen MPR, Bapak Ma'ruf Cahyono. "Sosialisasi empat pilar memang merupakan salah satu kegiatan MPR, dan ini bukan tentang terminologinya, tetapi pesan bagaimana agar keempat hal ini bisa sampai ke masyarakat dan dengan harapan bisa diimplementasikan!" Pasti yang suka ngebahas Undang-undang dan Hukum gak suka ini kan, suatu aturan yang dituangkan dalam bentuk putusan, tetapi tidak dilaksanakan. Hahaha.... Tapi kali ini, saya mau ngajak mundur ke 2011. Untuk bisa paham mengapa menurut MPR RI sosialisasi ini masih perlu. Iya sih, Pak Ma'ruf bilangnya kalau ini tidak pernah dilakukan, siapalah yang akan menyampaikan tentang ini ke anak-anak kita. Well dear Sir, I did! Tapi toss Pak, kita sepakat. Ini bukan tentang empat pilar, penggunaan kata pilar, atau kenapa cuma empat, bukan delapan, dua belas, atau entah berapa? Tetapi tentang kehidupan bernegara. Bagaimana menjalankan kehidupan sebagai Warga Negara Indonesia. Jauh sebelum Zaskia Gotik menghebohkan dunia maya dengan kenyataan bahwa dia gak hafal Pancasila, saya sudah tahu, bahwa tidak semua Warga Negara Indonesia dewasa hafal akan Pancasila. Adik saya gak lolos test wawancara untuk CPNS BPS tahun 2009 saya rasa salah satunya itu, dia gak hafal Pancasila, hahaha.... waktu saya tanya, "Gimana testnya?" dia cuma angkat bahu dan bilang, "Lupakan! Kacau. Pas ditanya Pancasila mendadak nge-blank!" Apakah adik saya sendirian? Tidak. Survey Badan Pusat Statistik tentang Pandangan Masyarakat terhadap Kehidupan Bernegara adalah jawabannya. Survei dilakukan pada Mei 2011, dengan mengambil sampel sebanyak 12.056 responden yang tersebar di 181 Kabupaten/Kota di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Sekitar 10 persen masyarakat tidak bisa menyebutkan sila-sila Pancasila secara lengkap. Pada kelompok masyarakat perkotaan, yang tidak bisa menyebutkan secara lengkap sebanyak 10,6 persen, sementara masyarakat perdesaan sebanyak 14 persen. Pada kelompok masyarakat elit, ternyata masih ada sekitar 9 persen yang tidak bisa menyebutkan secara lengkap dan pada kelompok generasi muda hampir 11 persen. Tahun 2011, 99% responden menyatakan tahu tentang Pancasila, tetapi yang bisa menyebutkan isinya dengan lengkap dan benar tidak sampai 90% nya. Ketiga pilar lainnya popularitasnya bahkan lebih rendah, hanya 80-86% masyarakat yang mengetahui UUDN RI Tahun 1945 merupakan salah satu pilar, dan dua pilar lainnya hanya diketahui oleh sekitar 67-78%. Jadi, jika mau diteliti lebih lanjut, ada banyak Zaskia-Zaskia lainnya, dia hanyalah satu dari 10,6% penduduk dewasa yang kebetulan masuk televisi dan ketahuan tidak hafal Pancasila. Apa Penyebab Timbulnya Berbagai Permasalahan/Konflik Di Masyarakat? Masih dari survei yang sama, 89,4% masyarakat Indonesia sepakat bahwa salah satu penyebab munculnya berbagai permasalahan bangsa adalah akibat kurangnya pemahaman dan pengamatan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. (lucunya jumlahnya sama ya dengan orang yang tahu akan Pancasila dan masih ingat dengan benar bagaimana urutan sila dan bunyinya - cocoklogi). 99% merasa tahu apa itu Pancasila. Begitu diminta menyebutkan, hanya sekitar 89,4% yang bisa menyebutkan dengan benar. Ini baru sampai menyebutkan. Ketika diminta memahami? Mengamalkan? Ini angka persen-persenan, akan meluncur bebas sampai angka berapa? Itulah kenapa MPR RI (selain emang karena kerjaannya sih) merasa harus selalu menemukan cara baru untuk mensosialisasikan apa yang dianggap nilai penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Siapa Yang Seharusnya Melakukan Edukasi Dan Sosialisasi Mengenai Pentingnya 4 (Empat) Pilar Kehidupan Bernegara? Dan sebagian besar masyarakat sepakat bahwa pengetahuan tentang kehidupan bernegara ini harus disampaikan di setiap jenjang pendidikan, dengan dipilihnya guru dan dosen sebagai agen sosialisasi yang lebih dipercaya. Tentunya kita ingat masa-masa kecil kita dimana kita kadang lebih percaya pada guru kita, bahkan jika dibandingkan orang tua sendiri. Sebagian dari guru-guru itu bahkan lekat di ingatan kita, dan berhasil menanamkan nilai-nilai positif di kehidupan kita. Survei yang sama juga menempatkan teladan yang baik, di tempat kedua sebagai metode sosialisasi yang efektif terkait kehidupan bernegara. Teladan, ingat ya akan itu Bapak dan Ibu dewan yang terhormat.
Kenapa blogger? Apa sih pentingnya MPR RI mengundang blogger dan ngobrol santai tentang empat pilar? Seberapa pentingkah kita perlu kembali menelaah nilai-nilai dalam kehidupan bernegara ini? Sebagai seorang blogger, menurut saya ini penting. Agar pada saat blogwalking, saya bisa tenang baca komentar, pendapat, tanggapan, pada setiap postingan. Tidak seperti sekarang di mana setiap orang bisa bebas saling menghujat/ menghina di ruang terbuka publik (internet), seakan lupa bahwa di atas hak kita untuk menyampaikan pendapat, ada kewajiban untuk mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Dan tentunya, agar kita menuliskan ini, menyampaikannya dengan cara kita. Karena, yang menarik dari sebuah tulisan adalah meski subyeknya sudah tiada, isi pikirannya bisa dibaca generasi-generasi selanjutnya. Meski kita bukan guru, bukan dosen, bukan tokoh masyarakat, tetapi entah kapan, dan dimana, akan ada yang membaca tulisan kita.
0 Comments
Tahun berlalu, dan pemberitaan paling hot antara Tuan Ahok dan BPS selalu saja tentang angka kemiskinan, materinya tentang Ahok yang tidak setuju 'cara perhitungan kemiskinan' versi BPS. :)
Kengeyelan Tuan Gubernur ini, untuk yang baru tahu, biasanya akan dikait-kaitkan dengan laporan kinerjanya. Turun bagus, naik jelek. Padahal, mau turun, mau naik, dia itu selalu protes kok. :D Lihatlah arsip pemberitaan tentang Ahok dan BPS. BPS, dengan kepentingan keterbandingan antar wilayah, antar negara, mempertahankan untuk menentukan kesejahteraan berdasarkan garis kemiskinan makanan dan non makanan, penjelasan komplet bisa dituju di sini. Rilis terakhir BPS menyatakan bahwa Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2016 sebesar 384,30 ribu orang (3,75 persen), dengan Garis Kemiskinan (GK) bulan Maret 2016 sebesar Rp 510.359. Ini maksudnya apa sih? Kalau konsumsi per orang (per kapita) di Jakarta tidak mencapai Rp 510.359 per bulannya, dia dikatakan miskin. Rumahtangga dengan 3 anggota rumahtangga (ayah, ibu, anak satu) dikatakan miskin jika konsumsinya tidak mencapai Rp 1.531.077 per bulannya. Apa sih yang di-ngeyelin Tuan Gubernur? Menurut Tuan Gubernur, kalau diadaptasi kira-kira begini, "Apa kamu bisa hidup layak dengan hanya Rp 510.359 per bulannya, padahal hasil perhitungan KHL 2016 untuk DKI mencapai 2,98 juta?" -upah minimum di DKI Jakarta pada 2016 ini mencapai 3,1 juta- Apa lagi itu KHL? Standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah dasar dalam penetapan Upah Minimum. Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) merupakan komponen-komponen pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang dibutuhkan oleh seorang pekerja lajang selama satu bulan. Nah, logika Tuan Gubernur itu sederhananya gini: KHL itu standar kebutuhan hidup layak seorang pekerja lajang, itu saja mencapai 2.98jt. Itu supaya bisa dikatakan layak. Lalu kalau hanya 500rb per bulan, apa itu layak? Tuan Gubernur maunya, garis kemiskinan ditarik sampai KHL. Angka kemiskinan naik drastis gakpapa (disarikan dari omongan dia dimana-mana), tapi dia cuma mau perduli pada warga yang ber-KTP DKI saja. -sebagai warga negara yang ber-KTP DKI Jakarta saya mah bahagia-bahagia saja kalau Tuan Gubernur mau menjamin penduduk berKTP DKI Jakarta pengeluaran konsumsinya mencapai 2.98jt per kapita, berarti penghasilan dijamin di atas itu kan? Hihihi, sayang saya PNS Pusat euy, penghasilan yang nentuin Negara, bukan Tuan Gubernur :D- Bertahun-tahun bukannya tidak jalan lho komunikasi antara BPS Prov DKI dan Tuan Gubernur. Tuan Gubernur itu tahu, mengerti, sudah dijelaskan, dari mana angka kemiskinan itu berasal. Bagaimana penghitungan KHL. Dan kalau untuk sekedar menarik garis kemiskinan ke arah KHL itu BPS bukannya tidak mampu, tinggal digeret aja garisnya :D ketemu angka berapa persennya, tapi itu tidak bisa dikatakan sebagai "penduduk miskin Jakarta", melainkan "penduduk yang di bawah KHL Jakarta" :) Masalah lain muncul. Dia mau data by name by address, dan lagi-lagi harus ber-KTP DKI Jakarta. Hihihihi, dear Tuan Gubernur. Kan Anda sudah tahu, darimana data itu berasal. Dengan survey yang sama, request-mu ini tidak bisa dipenuhi. Dugaan saya, kengenyelan Tuan Gubernur ini selesai setelah dia tahu, ada berapa sih sebenar-benarnya penduduk ber-KTP kan DKI Jakarta yang hidup di bawah kriteria KHL. Bukan masalah naik turunnya, karena Year on Year (dibandingkan dengan tahun lalu), toh turun. Penduduk Miskin DKI Jakarta 5 semester terakhir Maret 2014 (393,98 ribu orang atau 3,92 persen). September 2014 sebesar 412,79 ribu orang (4,09 persen). Maret 2015 sebesar 398,92 ribu orang (3,93 persen). September 2015 sebesar 368,67 ribu orang (3,61 persen). Maret 2016 sebesar 384,30 ribu orang (3,75 persen). (sumber: ringkasan BRS BPS Prov DKI Jakarta:http://jakarta.bps.go.id/index.php/Brs) Dan akhirnya, Tuan saya pun bersabda: "Ahok, Silakan Survei Sendiri Angka Kemiskinan di Jakarta" Hehehe.... nah lho, gimana Tuan Gubernur, siap melaksanakan pendataan sendiri? Di UU No 16 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Statistik, dan tentang Koordinasi Dan Kerja Sama sudah diatur kok mekanismenya. :) 2014 lalu, pertanyaan saya terhadap beliau itu: "Naik turun itu gampang, kalau yang ada saja belum teratasi, sudah naik mau bagaimana?" Karena beliau dengan entengnya mengatakan bisa sampai 60% penduduk DKI Jakarta yang miskin. :D Dan di 2016 ini, dengan segala perubahan di DKI Jakarta, menghadapi kengenyelan beliau saya cuma bisa senyum dan bergumam "Untung saya bukan Gubernur." :D Untuk kalian-kalian yang berpikir bahwa hubungan BPS dan Tuan Gubernur tidak baik (saling menyalahkan), oooo tidak. Relasi mereka seperti Adi Putranto dan Bastian Irawan. Saling memperhatikan, saling memanfaatkan, saling mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kadang berbeda pendapat, tapi tetap saling mendukung. Dan tetap bertetangga, karena mereka tidak bisa hidup satu atap. :D Dan ya Tuan Gubernur selamanya akan jadi begitu saya rasa: "The Noisy Neighbour" |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|