Hari ini salah satu teman saya di grup cerita, gimana susahnya jadi anak sekolahan di Jakarta. Dulu dia bilang, mau sekolah aja harus berdoa ada angkutan umum yang mau membawanya, karena pelajar cuma bayar Rp 100,- (kala itu, metromini bayarnya Rp 500,-)
Kemarin, ada kejadian yang bikin saya gak nyaman. Sebetulnya saya malas naik angkot, malas dengan ganti-ganti angkotnya, pengemudi yang ugal-ugalan, dan ngetem. Membuat prediksi waktu tiba intervalnya memanjang. Tapi, kalau menuju satu tempat yang tidak perlu ganti angkot, saya sedang berusaha mendisiplinkan diri naik angkot. Apa pasal? Harus berhemat, jagain tabungan supaya cukup bayar untuk tahun depan. :( Saya nggak tahu berapa tarif angkot sekarang. Biasanya saya menyiasatinya dengan membayar dengan nominal besar, dan menyebutkan tujuan. Biarlah si sopir yang menentukan tarifnya. Gak pernah protes karena itu sudah pasti lebih murah dari ojek atau taksi. Rasa tidak nyaman dimulai ketika di Kalimalang, ada seorang nenek turun. Dia menyerahkan uang Rp 4500,- dan si sopir angkot marah, meminta Rp 500,- lagi. Si nenek melaju pergi, si sopir meneriakinya dari dalam mobil. Nenek yang sudah berjalan kurang lebih 6 meter itu balik lagi. "Gila lu, ya, ama Nenek-nenek aja teriak-teriak! Itu udah gw kasih Rp 4500,- kemaren-kemaren kan ongkos cuma Rp 4000,-" kata si nenek. "Udah naik, Bu! Tarifnya Rp 5000,- bukan Rp 4500,-" Si nenek mengambil uang Rp 10000,- dan melemparkannya ke dashboard mobil. Si sopir marah dan berteriak lagi. "Bisa bener dikit ngga ngasih uangnya? Sudah, ambil saja lagi!" Belum selesai si Nenek menarik uangnya, alasan si Nenek dia sudah ada wudhu, jadi tidak mau bersentuhan dengan si sopir, si sopir sudah tancap gas. Saya bersyukur si nenek cepat menarik tangannya. Dan menyesal, seandainya saja saya mengganti Rp 500,- itu, tentu saya tidak perlu merasa tidak nyaman seperti sekarang. Karena sepanjang jalan, si sopir menggunakan atribut si nenek (Islam, jilbab) untuk memakinya. Dan hati saya sakit, apalagi ketika si sopir mendoakan si nenek masuk neraka. Duh, saya doakan balik, semoga si nenek dilindungi Allah, meski dia ada salahnya juga mengapa ketus sekali. :( Tak berapa lama, naiklah serombongan pelajar, 5 orang. Memang, itu waktunya pulang sekolah. Si sopir yang sudah tidak lagi memaki, masih ugal-ugalan. Menyerempet minibus, ngerem mendadak, yang membuat saya terus-terusan istighfar dan berdoa, semoga bisa sampai dengan selamat. Anak-anak itu hanya sekitar 10km-an saja menumpang angkotnya, mereka turun dan membayar Rp 5000,- untuk berlima. Sudah ditebak kejadiannya lagi. Si sopir meradang, minta tambahan lagi. Si anak yang kebagian tugas membayar menambahkan Rp 1000,- tetapi dia bilang cuma itu yang dia punya, teman-temannya sudah nyebrang duluan menunggu dia. Sopirnya marah, dia menepikan mobil, dan hendak keluar angkot, setelah terlebih dahulu meneriaki anak-anak itu untuk tidak pergi. Kali ini, saya keluarkan Rp 4000,- untuk menambahi ongkos anak-anak itu yang menurutnya kurang. Dia memang tidak jadi turun, dan melanjutkan mengendarainya. Tapi dia gantian memarahi saya "Tidak perlu begitu, kebiasaan anak-anak itu, bayar langsung kabur." Saya sedih lagi, bukan karena dimarahinya. Tapi karena mikir, ini sopir punya anak apa engga? Anaknya sekolahnya jauh apa engga? Semoga dia kaya terus jadi anaknya gak perlu kurang bayar ongkos angkot dan dimaki-maki kaya tadi. Dan dia menceramahi saya lagi dengan "Ibu tahu nggak, sekarang bensin itu 10 liter aja sudah Rp 85000,-" dan seterusnya. Hari saya pun rusak, oleh si sopir yang menyebalkan itu. :(
0 Comments
|
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|