PLN itu ternyata tukang sihir
Ganteng 2 siang tadi sendirian di rumah. Dengan panik dia nelpon, "Listrik mati. Ini bunyi-bunyi!" Saya kaget. "Ha? Ga mungkin De, ibu baru isi kemarin ini.... coba lihat meterannya, berapa angka di situ?" "0.00 Bu!" "What? Ga mungkin De...." Coba check aktivitas Internet Banking, terakhir pengisian 06 Juli 2016, sekitar +- 670 an kwh. Dengan rata-rata pemakaian +- 15 kwh per day, ini seharusnya tahan 1.5bulan. "Yah, Adik bilang listrik mati! Meterannya 0!" G0: "Gak mungkin! Kemarin ayah check masih 400-an!" "Mungkin! Beneran, tuh si adik panik!" Si suami nelp 123 disuruh pancing isi sedikit dulu, kalo ga balik telpon lagi. -yang mana ga balik-Nanya-nanya teman, adakah yang ngalamin hal yang sama: jawabannya "Ikhlaskan!" Duh duh.... sedekah kok ke PLN. :( Kenapa bisa 400an kwh hilang dalam sehari? Kalau ini di pascabayar, komplain bisa dilayani dengan pemeriksaan meter, ada ketidakwajaran gak, dan mungkin ada reduksi tagihan (mungkin gak?). Kalo ini di prabayar? 4 orang yang gw tanya ya jawabnya: ikhlaskan.... :( Dear PLN, itu 400 kwh, kemana larinya ya? --- Di atas adalah postingan saya di FB pada 20 Juli 2016. Tentu saja, upaya telpon ke layanan pengaduan sudah dilakukan. Hasilnya, saran untuk mengisi pulsa sedikit dulu sebagai pancingan, kalau ada masalah telpon lagi. Ga balik, sudah ditelpon lagi, hasilnya adalah: nomer laporan, yang gak diupdate kecuali si pelanggan nelpon lagi :) Dear PLN sayang, nelpon ke layanan pengaduan PLN itu pakai pulsa lho, engga gratis. Jadi tolong dihargai, males nelpon balik update status laporan pake SMS pun gakpapa kok. H+1, saya mendapatkan response dari teman FB yang bekerja di PLN, isinya adalah akan di check dulu status meteran saya, diminta No Meteran dan ID Pelanggan. Masih dalam hari yang sama, update yang saya dapatkan barulah isi meter terakhir, yang mana itumah bisa dilacak dari history pelanggan. Tapi tetap saya sampaikan, dengan memanfaatkan history yang sama, kan bisa diperiksa riwayat pemakaian saya. :) H+2, no update. H+3, ada lagi yang menghubungi, katanya nomer saya tidak bisa dihubungi, okay ini mungkin karena saya sedang dalam perjalanan dari Dramaga ke rumah. :) Saya berikan ke-dua nomer telpon saya. Dan ada juga yang bertanya, sudahkah ada petugas dari PLN yang datang ke rumah? Saya jawab: belum ~> hasil nanya orang rumah juga. H+4, no update. H+5, ada sms masuk yang isinya menanyakan, jika meteran akan diperiksa sekarang, apakah ada orang di rumah? Saya jawab, ya. Dan ini hasilnya: Setelah dua hari kontak via FB, akhirnya hari ini janjian ama mas-mas dari PLN (dah feeling aja yang dateng pasti mas-mas, masalah teknis tentang kelistrikan masih didominasi mas-mas :D) Saya pikir yang dateng bakalan mas-mas kecapean naik motor berduaan, bawa peralatan listrik gitu (sedikit mirip tukang service AC dalam imajinasi saya mah). Ternyata yang datang 2 mas-mas plus 1 bapak-bapak, yang saya duga adalah boss-nya (don't worry Elwindra, saya didampingi ayahmu dan anakmu) :D , mengenakan mobil dinas, dan nyampe sini masih wangi. Oke. Di sini saya merasa keluhan saya dihargai (murah amat harganya ya?) :) Prosedur pertama: mengenalkan diri. Yatapi dengan seragam, atribut, mobil dinas, udah meyakinkan lah ya ini orang PLN beneran. Kedua: cek data.... matching gak riwayat token ama downloadan mereka - match (sudah seharusnya) Ketiga: ngobrol. Saya nanya, kemana hilangnya ini 400an kwh saya? :'( Diawali dengan mereka bertanya riwayatnya dulu, disertai mati lampu gak. Untung ada Attar, Attar jawab iya. Jawaban mereka, kemungkinan ketika ada switching gardu (atau sesuatu tentang itu), pas listrik mati itu, pas nyalanya dianggap pemakaian.... jadi ketarik semua. Mereka juga menjelaskan rata2 pemakaian saya 15 kwh per hari (yes Mas, pan saya statistisi, itu sudah saya hitung), yang hilang memang sekitar 400 kwh an (setara dengan 600rb an rupiah duit jajan saya, Mas, hiks). Ternyata meteran saya setelah di cek (kalibrasi manual, cek impulse, cek beban) normal. Namun karena usianya, mereka tetap akan rekomendasikan u ganti (selama saya ga bayar gakpapa Mas :D) Dan prosedur selanjutnya adalah mereka download data dari meteran, untuk sebuah meteran berumur 5 tahun dia ga banyak ya datanya pemirsa? :D Mereka minta waktu 1 hari untuk menganalisa datanya :) katanya kalau memang nanti hasil analisa ini karena gangguan jaringan, kwh saya akan dikembalikan. Alhamdulillah. :) Kalau ini selesai dengan baik, postingannya bakal di bawa ke blog untuk panduan misal ada temen lain yang mengalami hal yang sama.... Saya ngga tahu, ini power of socmed ato karena ini statusnya rumdin, atau memang ini SOP PLN dalam menangani keluhan pelanggan. Yang pasti, saya memaafkan keterlambatan pemeriksaannya (tidak 1x24 jam), ya pan mas-masnya juga perlu wikenan kan yaaaa :) Wish me luck! :) (Semoga kwh nya masih rejekiku) Tapi ya janji tinggal janji. H+6, tidak ada kabar :( H+7, colek lagi teman FB, "Kemarin saya dijanjikan analisisnya sehari saja, tapi ini sudah hampir 2x24 jam engga ada kabar", yang kemudian di follow up lagi (senangnya) Jam 5 sore, ditelpon lagi bahwa besok akan dilakukan penggantian meteran, dan kwh akan diganti senilai 460 kwh (perhitungan mereka akan kwh saya yang hilang), dan sisa di meteran. H+8, petugasnya entah kenapa, janji dateng ga dateng. Pas check HP, ada nomer ga dikenal telp. Ternyata, dia nelp sekitar jam-3 an (padahal saya nungguin jam-1 an), dan janjian kalau bisa sore ini (tapi gak bisa dan dia janji besoknya pagi-pagi sudah datang). H+9, pagi, ganti meter. Biaya, 0. Tapi lagi-lagi, si mas ga dibekelin kwh pengganti. Waktu saya tanya, dia malah ngomong balik "Kalau itu tanyakan saja ke PLN!" Oh ternyata mas nya ini hanya tenaga rekrutan untuk ganti meter. "Telpon maksudnya?" Tanya saya lagi. "Jangan, datengin aja kantornya! Kalau nelpon, lamaaaaa...." Fiuh.... Nah, saya tanya lagi sama Mas-mas yang no HP nya saya simpan. Ahahahaha.... pasti si Mas sebel dan nyesel ngasih no HP. :D Hasilnya: dia bilang, sisa kwh baru dilaporkan siangnya. Dan dia sudah siapkan nomer token pengganti senilai kwh saya yang hilang (+-460) + sisa meter (+-40), ternyata setelah dijumlahkan dapat: 516 kwh. Yipppiieeee.... Meski panjang dan berliku, saya berbahagia kwh saya balik. Beberapa catatan saya buat, agar Listrik Pintar semakin Pintar, hehehehe 1. Itu memory di meter gak bisa diupgrade ya? Supaya bisa merekam data pemakaian harian? Karena kemarin melihat, data 5 tahun pemakaian cuma berapa lembar gitu. Isinya kapan ngisi token, berapa yang di isi, berapa kwh sebelum diisi, berapa kwh sesudah. Atau emang ga penting ya statistik harian? Karena pas kejadian ilang itu kan musim mudik, tapi ya saya sudah pasrah sih dengan penghitungan rata-rata pemakaian, yang penting balik :* 2. Sistem pengaduan diperbaiki. Pelanggan bisa cek aduan online atau gimana gitu, yang gak harus nelpon. Nelpon itu ya, lama.... nungguin operator selesai ngejelasin instruksi, nungguin operator ngangkat, dan ujung-ujungnya gak bisa ada solusi saat itu juga. :( Haish.... Namun demikian, saya menyarankan untuk pakai Listrik Pintar (listrik prabayar) ini saja, kenapa? Ya kita bayar sesuai yang kita pakai aja. Nggak ada biaya bulanan. :)
0 Comments
Tahun berlalu, dan pemberitaan paling hot antara Tuan Ahok dan BPS selalu saja tentang angka kemiskinan, materinya tentang Ahok yang tidak setuju 'cara perhitungan kemiskinan' versi BPS. :)
Kengeyelan Tuan Gubernur ini, untuk yang baru tahu, biasanya akan dikait-kaitkan dengan laporan kinerjanya. Turun bagus, naik jelek. Padahal, mau turun, mau naik, dia itu selalu protes kok. :D Lihatlah arsip pemberitaan tentang Ahok dan BPS. BPS, dengan kepentingan keterbandingan antar wilayah, antar negara, mempertahankan untuk menentukan kesejahteraan berdasarkan garis kemiskinan makanan dan non makanan, penjelasan komplet bisa dituju di sini. Rilis terakhir BPS menyatakan bahwa Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2016 sebesar 384,30 ribu orang (3,75 persen), dengan Garis Kemiskinan (GK) bulan Maret 2016 sebesar Rp 510.359. Ini maksudnya apa sih? Kalau konsumsi per orang (per kapita) di Jakarta tidak mencapai Rp 510.359 per bulannya, dia dikatakan miskin. Rumahtangga dengan 3 anggota rumahtangga (ayah, ibu, anak satu) dikatakan miskin jika konsumsinya tidak mencapai Rp 1.531.077 per bulannya. Apa sih yang di-ngeyelin Tuan Gubernur? Menurut Tuan Gubernur, kalau diadaptasi kira-kira begini, "Apa kamu bisa hidup layak dengan hanya Rp 510.359 per bulannya, padahal hasil perhitungan KHL 2016 untuk DKI mencapai 2,98 juta?" -upah minimum di DKI Jakarta pada 2016 ini mencapai 3,1 juta- Apa lagi itu KHL? Standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah dasar dalam penetapan Upah Minimum. Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) merupakan komponen-komponen pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang dibutuhkan oleh seorang pekerja lajang selama satu bulan. Nah, logika Tuan Gubernur itu sederhananya gini: KHL itu standar kebutuhan hidup layak seorang pekerja lajang, itu saja mencapai 2.98jt. Itu supaya bisa dikatakan layak. Lalu kalau hanya 500rb per bulan, apa itu layak? Tuan Gubernur maunya, garis kemiskinan ditarik sampai KHL. Angka kemiskinan naik drastis gakpapa (disarikan dari omongan dia dimana-mana), tapi dia cuma mau perduli pada warga yang ber-KTP DKI saja. -sebagai warga negara yang ber-KTP DKI Jakarta saya mah bahagia-bahagia saja kalau Tuan Gubernur mau menjamin penduduk berKTP DKI Jakarta pengeluaran konsumsinya mencapai 2.98jt per kapita, berarti penghasilan dijamin di atas itu kan? Hihihi, sayang saya PNS Pusat euy, penghasilan yang nentuin Negara, bukan Tuan Gubernur :D- Bertahun-tahun bukannya tidak jalan lho komunikasi antara BPS Prov DKI dan Tuan Gubernur. Tuan Gubernur itu tahu, mengerti, sudah dijelaskan, dari mana angka kemiskinan itu berasal. Bagaimana penghitungan KHL. Dan kalau untuk sekedar menarik garis kemiskinan ke arah KHL itu BPS bukannya tidak mampu, tinggal digeret aja garisnya :D ketemu angka berapa persennya, tapi itu tidak bisa dikatakan sebagai "penduduk miskin Jakarta", melainkan "penduduk yang di bawah KHL Jakarta" :) Masalah lain muncul. Dia mau data by name by address, dan lagi-lagi harus ber-KTP DKI Jakarta. Hihihihi, dear Tuan Gubernur. Kan Anda sudah tahu, darimana data itu berasal. Dengan survey yang sama, request-mu ini tidak bisa dipenuhi. Dugaan saya, kengenyelan Tuan Gubernur ini selesai setelah dia tahu, ada berapa sih sebenar-benarnya penduduk ber-KTP kan DKI Jakarta yang hidup di bawah kriteria KHL. Bukan masalah naik turunnya, karena Year on Year (dibandingkan dengan tahun lalu), toh turun. Penduduk Miskin DKI Jakarta 5 semester terakhir Maret 2014 (393,98 ribu orang atau 3,92 persen). September 2014 sebesar 412,79 ribu orang (4,09 persen). Maret 2015 sebesar 398,92 ribu orang (3,93 persen). September 2015 sebesar 368,67 ribu orang (3,61 persen). Maret 2016 sebesar 384,30 ribu orang (3,75 persen). (sumber: ringkasan BRS BPS Prov DKI Jakarta:http://jakarta.bps.go.id/index.php/Brs) Dan akhirnya, Tuan saya pun bersabda: "Ahok, Silakan Survei Sendiri Angka Kemiskinan di Jakarta" Hehehe.... nah lho, gimana Tuan Gubernur, siap melaksanakan pendataan sendiri? Di UU No 16 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Statistik, dan tentang Koordinasi Dan Kerja Sama sudah diatur kok mekanismenya. :) 2014 lalu, pertanyaan saya terhadap beliau itu: "Naik turun itu gampang, kalau yang ada saja belum teratasi, sudah naik mau bagaimana?" Karena beliau dengan entengnya mengatakan bisa sampai 60% penduduk DKI Jakarta yang miskin. :D Dan di 2016 ini, dengan segala perubahan di DKI Jakarta, menghadapi kengenyelan beliau saya cuma bisa senyum dan bergumam "Untung saya bukan Gubernur." :D Untuk kalian-kalian yang berpikir bahwa hubungan BPS dan Tuan Gubernur tidak baik (saling menyalahkan), oooo tidak. Relasi mereka seperti Adi Putranto dan Bastian Irawan. Saling memperhatikan, saling memanfaatkan, saling mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kadang berbeda pendapat, tapi tetap saling mendukung. Dan tetap bertetangga, karena mereka tidak bisa hidup satu atap. :D Dan ya Tuan Gubernur selamanya akan jadi begitu saya rasa: "The Noisy Neighbour" Orang-orang yang bergelar akademis adalah orang-orang yang diberikan hak istimewa untuk berbicara dan didengarkan pendapatnya.
Quote di atas awalnya saya pikir adalah sebuah kelebayan yang sempurna. Memangnya seorang Sarjana, Master, Doktor, tidak bisa berbuat kesalahan? Sampai hari ini tiba. Sebelum hari ini, sebenarnya sudah ada beberapa kasus pencatutan nama dan gelar dalam pesan berantai di social media. Sebut saja Bu Dr Yahman Wisnani, yang harus repot menjelaskan bahwa bukan beliau yang menulis pesan yang beredar lewat BBM/WA, bahkan beliau tidak memiliki aplikasi itu. Atau Andrea Hirata yang juga pernah mengalami hal yang sama, karena beberapa dari kita percaya bahwa dia 'memiliki kewenangan ilmiah' untuk beropini. ;) Dan hari ini pun tiba. Sebuah game dinyatakan membahayakan keamanan negara. Tak kurang dua tokoh nasional bergelar Professor berkomentar mengenai ini. Segera pesan ini kemudian menjadi viral. Abaikan indeks Scopus. Abaikan akreditasi Dikti/LIPI. Abaikan mana yang boleh/bisa dijadikan sumber informasi atau yang tidak. Abaikan nalar. Abaikan gaya bahasa. Abaikan bahwa gelar doktornya ga sejalur dengan isi komentarnya. Abaikan semua.... Karena yang nulis adalah Professor. Tulisannya seharusnya "ilmiah", merupakan hasil penelitian/amatan yang cermat. Dan kita pun lupa, lupa bertanya, sungguhkah dia menulis demikian? Satu who, yang mengalahkan what, when, where, why and how. Betapa beratnya menjadi pemimpin. Betapa beratnya menjadi berilmu. Betapa beratnya menjadi ulama. Lebih banyak orang yang tidak berpengetahuan menyerahkan nasibnya pada mereka yang dianggap memiliki pengetahuan. Betapa mengerikannya berilmu, di mata saya. Pelajaran moral bagi saya hari ini adalah saya perlu untuk lebih berhati-hati bicara, karena akan ada sekelompok orang yang menganggapnya sebagai kebenaran. Ya Allah. Tinggikanlah ilmuku, namun tetaplah rendahkan hatiku. Karena yang kuketahui adalah sebatas apa yang kuketahui, dan masih banyak hal-hal lain di luar itu. Seriously, Ibu-ibu. Kalian mengizinkankah guru anak-anak melakukan kekerasan pada anakmu?
Kalau saya, jelas TIDAK. Saya mengajarkan anak-anak untuk santun, menghormati yang lebih tua, kritis, mau bertanya, dan mau bercerita tentang apa yang terjadi. Kalau tiba-tiba dia ditampar, dicubit, dijitak gurunya, tentu saya berhak atas penjelasan kenapa itu terjadi. Jika memang anak saya sedemikian nakalnya, sudahkah ia diperingatkan? Sudahkah ia ditegur? Sudahkah saya sebagai orangtuanya diberitahu? Bukankah sebaiknya orangtua dan guru berkomunikasi? Jika kemudian berujung tidak menerima, dan melaporkan ke yang berwenang, itu lebih baik, di bandingkan di ujung Timur sana yang dibawakan parang ;) Berarti orangtuanya masih sadar bahwa ini adalah negara hukum, dan selama belum ada putusan bersalah ya masih tak bersalah. Tidakkah demikian hukumnya? Apakah kita benar-benar mengetahui ada apa dibalik kekerasan itu? Jika setiap kejadian seperti ini sedikit-sedikit guru membela diri, kita bisa kehilangan laporan dari anak-anak kita tentang kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa, karena kondisi yang dipaksa menerima bahwa guru boleh bertindak demikian. Waktu SMP, guru Fisika saya galak! Salah dikit, lempar penghapus. Toyor kepala, hal biasa. Gak bisa, dibego-begoin. Hasilnya? Gak ada yang suka ama pelajaran Fisika. :D Respek ke si guru? Takut yang ada. :) Tidak. Saya gak mau guru yang begitu untuk anak saya :) Gak tahu ya kalau Anda :) |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|