G1: Besok ada wawancara.
Me: Oya? Apa? G1: Test MPK. Me: Owh. MPK. Emang udah tau apa itu MPK? G1: Apa sih? Me: Lah? Hihihi.... G1: Harus ngapain? Me: Kakak kenapa mau masuk MPK? G1: Ibu dulu OSIS kan? Me: Ya. G1: MPK lebih tinggi dari OSIS, kan? Me: Yap. G1: Karena itulah.... (wow.... berasa udah -set the bar high- woohooo.... dan berasa lagi ngomong ama buzz lightyear -menuju tak terbatas dan melampauinya-)
0 Comments
Beruntunglah saya, yang masih suka ikut Upacara, Apel Pagi, walaupun terpaksa. Karena di saat-saat itulah mau ga mau saya melafalkan Pancasila, sering dilafalkan ya hafal dengan sendirinya. Beruntunglah saya, yang masih diberi kesempatan menemani anak-anak belajar. Mau gak mau, buka lagi buku Undang-undang Dasar, baca lagi pasal-pasalnya, penjelasannya. Kalau tidak pada kesempatan itu, entah kapan lagi itu Undang-undang saya buka. Beruntunglah kita, yang kemarin sempat melihat ada menteri yang dikabarkan memiliki dua kewarganegaraan. Dengan demikian, tiba-tiba kita mempertanyakan lagi, pada diri masing-masing, apa enaknya jadi Warga Negara Indonesia? Apa hebatnya menjadi penduduk di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini? Beruntunglah mereka, yang tinggal di Jakarta. Bisa sering-sering main ke Taman Mini Indonesia Indah, mengelilingi miniatur Indonesia, dan bisa melihat bukti nyata bahwa ada banyak perbedaan di Indonesia. Perbedaan rumah adat, busana daerah, tempat beribadah, cara hidup. Tetapi itu semua tetap sebagai bagian dari Indonesia. Memahami "Bhinneka Tunggal Ika" dengan sederhana. Tetapi, berapa banyak yang tidak seberuntung kita? Pancasila, UUDN RI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika: keempatnya dikenal dengan frasa "Empat Pilar". Sejauh ini, yang bisa saya temukan penjelasan tentang kenapa namanya empat pilar, dapat ditemukan di sini (link ke isi pidatonya sudah tidak ada, tapi salinan pidato bisa ditemukan di web Bappenas atau di sini), adalah Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono yang pertama menggunakannya di pidato kenegaraan. Saya ingin menyegarkan ingatan kita akan kerangka dasar dalam kehidupan bernegara. Ada empat pilar utama yang menjadi nilai dan konsensus dasar yang selama ini menopang tegaknya Republik Indonesia tercinta, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa kita, selalu ada saja ujian terhadap pilar-pilar utama kehidupan bernegara. Dalam era globalisasi dan era transformasi nasional dewasa ini, kembali kita menghadapi tantangan terhadap empat pilar utama itu. Terhadap rongrongan itu, pertama-tama kita harus menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa, sudah final. Namun, adalah Taufik Kiemas mendapatkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa karena ide Empat Pilar ini, dengan klaim sebagai penggagas ide empat pilar. Tidak, saya tidak akan membahas siapa yang duluan mengemukakan ide ini. Melainkan, kedatangan SBY di acara pengukuran Doktor TK, ini adalah bukti bahwa begitu baiknya komunikasi di antara mereka. Padahal, Presiden Republik Indonesia ke-5 dan ke-6 seringkali dicitrakan dengan 'enggan bertegur sapa'. Dan ada seorang Taufik Kiemas di antaranya, yang sadar akan posisinya sebagai warga negara Indonesia, dan sadar bahwa kepentingan bangsa harus lebih diutamakan bahkan lebih dari kepentingan pribadi dan golongan (dan kepentingan rumah tangga entah ada di urutan ke berapa, hehehe). Frasa Empat Pilar ini sendiri sebenarnya sudah dijatuhkan putusan oleh Mahkamah Konstitusi untuk tidak digunakan lagi. Bisa diperiksa di Putusan Nomor 100/PUU-XI/2013. Jadi, pertanyaan pertama di kepala saya adalah, jika memang istilah ini tidak digunakan lagi, mengapa pada undangan yang saya terima untuk event "Ngobrol Santai Bareng MPR 2016", pertemuan antara Netizen dan MPR RI, sedikit bertemakan ngobrol santai tentang empat pilar? Jawaban yang kemudian dijawab dengan baik, bahkan sebelum saya bertanya, oleh Sekjen MPR, Bapak Ma'ruf Cahyono. "Sosialisasi empat pilar memang merupakan salah satu kegiatan MPR, dan ini bukan tentang terminologinya, tetapi pesan bagaimana agar keempat hal ini bisa sampai ke masyarakat dan dengan harapan bisa diimplementasikan!" Pasti yang suka ngebahas Undang-undang dan Hukum gak suka ini kan, suatu aturan yang dituangkan dalam bentuk putusan, tetapi tidak dilaksanakan. Hahaha.... Tapi kali ini, saya mau ngajak mundur ke 2011. Untuk bisa paham mengapa menurut MPR RI sosialisasi ini masih perlu. Iya sih, Pak Ma'ruf bilangnya kalau ini tidak pernah dilakukan, siapalah yang akan menyampaikan tentang ini ke anak-anak kita. Well dear Sir, I did! Tapi toss Pak, kita sepakat. Ini bukan tentang empat pilar, penggunaan kata pilar, atau kenapa cuma empat, bukan delapan, dua belas, atau entah berapa? Tetapi tentang kehidupan bernegara. Bagaimana menjalankan kehidupan sebagai Warga Negara Indonesia. Jauh sebelum Zaskia Gotik menghebohkan dunia maya dengan kenyataan bahwa dia gak hafal Pancasila, saya sudah tahu, bahwa tidak semua Warga Negara Indonesia dewasa hafal akan Pancasila. Adik saya gak lolos test wawancara untuk CPNS BPS tahun 2009 saya rasa salah satunya itu, dia gak hafal Pancasila, hahaha.... waktu saya tanya, "Gimana testnya?" dia cuma angkat bahu dan bilang, "Lupakan! Kacau. Pas ditanya Pancasila mendadak nge-blank!" Apakah adik saya sendirian? Tidak. Survey Badan Pusat Statistik tentang Pandangan Masyarakat terhadap Kehidupan Bernegara adalah jawabannya. Survei dilakukan pada Mei 2011, dengan mengambil sampel sebanyak 12.056 responden yang tersebar di 181 Kabupaten/Kota di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Sekitar 10 persen masyarakat tidak bisa menyebutkan sila-sila Pancasila secara lengkap. Pada kelompok masyarakat perkotaan, yang tidak bisa menyebutkan secara lengkap sebanyak 10,6 persen, sementara masyarakat perdesaan sebanyak 14 persen. Pada kelompok masyarakat elit, ternyata masih ada sekitar 9 persen yang tidak bisa menyebutkan secara lengkap dan pada kelompok generasi muda hampir 11 persen. Tahun 2011, 99% responden menyatakan tahu tentang Pancasila, tetapi yang bisa menyebutkan isinya dengan lengkap dan benar tidak sampai 90% nya. Ketiga pilar lainnya popularitasnya bahkan lebih rendah, hanya 80-86% masyarakat yang mengetahui UUDN RI Tahun 1945 merupakan salah satu pilar, dan dua pilar lainnya hanya diketahui oleh sekitar 67-78%. Jadi, jika mau diteliti lebih lanjut, ada banyak Zaskia-Zaskia lainnya, dia hanyalah satu dari 10,6% penduduk dewasa yang kebetulan masuk televisi dan ketahuan tidak hafal Pancasila. Apa Penyebab Timbulnya Berbagai Permasalahan/Konflik Di Masyarakat? Masih dari survei yang sama, 89,4% masyarakat Indonesia sepakat bahwa salah satu penyebab munculnya berbagai permasalahan bangsa adalah akibat kurangnya pemahaman dan pengamatan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. (lucunya jumlahnya sama ya dengan orang yang tahu akan Pancasila dan masih ingat dengan benar bagaimana urutan sila dan bunyinya - cocoklogi). 99% merasa tahu apa itu Pancasila. Begitu diminta menyebutkan, hanya sekitar 89,4% yang bisa menyebutkan dengan benar. Ini baru sampai menyebutkan. Ketika diminta memahami? Mengamalkan? Ini angka persen-persenan, akan meluncur bebas sampai angka berapa? Itulah kenapa MPR RI (selain emang karena kerjaannya sih) merasa harus selalu menemukan cara baru untuk mensosialisasikan apa yang dianggap nilai penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Siapa Yang Seharusnya Melakukan Edukasi Dan Sosialisasi Mengenai Pentingnya 4 (Empat) Pilar Kehidupan Bernegara? Dan sebagian besar masyarakat sepakat bahwa pengetahuan tentang kehidupan bernegara ini harus disampaikan di setiap jenjang pendidikan, dengan dipilihnya guru dan dosen sebagai agen sosialisasi yang lebih dipercaya. Tentunya kita ingat masa-masa kecil kita dimana kita kadang lebih percaya pada guru kita, bahkan jika dibandingkan orang tua sendiri. Sebagian dari guru-guru itu bahkan lekat di ingatan kita, dan berhasil menanamkan nilai-nilai positif di kehidupan kita. Survei yang sama juga menempatkan teladan yang baik, di tempat kedua sebagai metode sosialisasi yang efektif terkait kehidupan bernegara. Teladan, ingat ya akan itu Bapak dan Ibu dewan yang terhormat.
Kenapa blogger? Apa sih pentingnya MPR RI mengundang blogger dan ngobrol santai tentang empat pilar? Seberapa pentingkah kita perlu kembali menelaah nilai-nilai dalam kehidupan bernegara ini? Sebagai seorang blogger, menurut saya ini penting. Agar pada saat blogwalking, saya bisa tenang baca komentar, pendapat, tanggapan, pada setiap postingan. Tidak seperti sekarang di mana setiap orang bisa bebas saling menghujat/ menghina di ruang terbuka publik (internet), seakan lupa bahwa di atas hak kita untuk menyampaikan pendapat, ada kewajiban untuk mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Dan tentunya, agar kita menuliskan ini, menyampaikannya dengan cara kita. Karena, yang menarik dari sebuah tulisan adalah meski subyeknya sudah tiada, isi pikirannya bisa dibaca generasi-generasi selanjutnya. Meski kita bukan guru, bukan dosen, bukan tokoh masyarakat, tetapi entah kapan, dan dimana, akan ada yang membaca tulisan kita. Dari sejak sebelum punya anak, Daddy saya sudah sering menceritakan bahwa saya tidak boleh menganggap remeh pertanyaan anak-anak. Otak mereka seperti spons, menyerap dengan baik semua pengetahuan yang diberikan. Logika mereka tak terbatas, tak terbentur asumsi-asumsi yang sering kali menjadi sekat-sekat dalam proses berpikir manusia dewasa. Seandainya saya tidak bertemu sahabat SMA saya, yang percaya bahwa truk mixer (truk molen) adalah mobil untuk menyimpan mayat, mungkin saya akan mengabaikan begitu saja nasehat Daddy ini. Di angkot, teman saya menatap truk molen dan bertanya, "Ti baheula urang bingung, eta dimana mayit na?" (Dari dulu saya bingung, itu di mana mayatnya - terjemahan). Kami, sahabat-sahabatnya menertawakan dengan heboh, meninggalkan dia yang tetap bingung. Setelah dia berkata bahwa ayahnya berkata demikian, sambil terharu, kami jelaskan, bahwa itu hanyalah lelucon (mungkin). Mengingat ini, saya berjanji pada diri sendiri, "Anakku, seabsurd apapun pertanyaanmu, Ibu akan berusaha menjawabnya, dengan menggunakan sumber yang terpercaya!" Sejak menikah, suami sepakat dengan konsep ini. Itu penting banget, supaya ayah dan ibu itu seiya dan sekata dalam mendidik anak. Supaya anak gak bingung, kalau kita gak konsekuen dalam menjawab, anak saya gak akan segan bertanya "Ini yang mana sih yang bener? Ayah bilang A, Ibu bilang B?" dan kami pun harus mengevaluasi jawaban kami supaya jadi jawaban bersama. Sama-sama belajar. Demikian juga, cara mengajar mereka. Saya harus ikut membaca buku mereka, mencoba mengerti apa yang ingin dikatakan buku-buku itu. Mengurai maknanya. Tibalah pada buku IPS dan PKN. Pelajaran yang saya gak gitu suka, dan sudah bikin emosi jiwa sejak mereka kelas 1 SD. "Apa fungsi kartu keluarga?" Bukunya anak-anak bilang, untuk diperlihatkan ke petugas sensus. Ini apa coba? Males bener mikir yang nulis buku! Ini kelas 1 SD. Kelas 2 SD, si bocah sudah dijejali dengan segala macam pertanyaan mengenai lembaga negara dengan segala tugas pokok dan fungsinya! Saya harus menahan marah lihat soal "Sebutkan jabatan fungsional yang ada di kelurahan!" Masyaallah, emang naik kelas besok anak saya mau ikut seleksi lurah? Sampai harus ditanya segitunya? Pak lurah dan Pak camat memang sudah hafal itu jenis-jenis jabatan fungsional? Sayang sudah lama sekali saya SD. Tapi kayanya jaman saya SD pertanyaan-pertanyaannya gak gitu-gitu amat. Menjelang ulangan IPS dan PKN, anak saya selalu berusaha menghafal baris demi baris. Karena dijelaskan pun tidak semua dia paham. Suatu ketika, kami sedang menonton berita. Pemilu 2014. Masih ingat? Ketika itu, ruang sidang anggota dewan yang terhormat berubah jadi semacam arena pertarungan terbuka. Gebrak meja, banting kursi, riuh rendah suara yang bersamaan, cemoohan, "huuuu" dan "boooooo" dilakukan oleh manusia yang dari segi usia sudah dewasa. Diulang-ulang terus beritanya, dilengkapi juga dengan dosa-dosa anggota dewan, apalagi kalau bukan sajian tentang berapa banyak anggota DPR yang menjadi tersangka korupsi. Hati saya ngilu, ketika Ganteng 1 bertanya, "Ibu bilang, salah satu tugas DPR adalah pengawasi penggunaan anggaran belanja negara!" "Ya, Nak. Kenapa memangnya?" "Kenapa mereka korupsi?" "Kadang Nak, mereka yang mengetahui justru tidak melaksanakan apa yang mereka ketahui!" "Ibu bilang, kita harus menghormati pendapat orang lain. Kenapa mereka ribut? Tersenyum lagi. Mau jawab apa hayo.... "Bu, apakah mereka (anggota dewan) dulu belajar PKN?" Pertanyaan sederhana yang membuat saya menitikan air mata haru. Dia sudah melewati masa-masa berat dengan menghafal baris-baris pertanyaan yang panjang-panjang itu. Berusaha mengamalkannya. Dan di depan matanya, ketidakadilan terjadi. Manusia dewasa yang tidak melakukan apa yang seharusnya telah mereka ketahui. "Semestinya begitu, Nak. Semestinya mereka belajar!" Jawaban menggantung yang saya berikan. Karena saya pun yakin mereka sudah belajar, tetapi mungkin memang hanya mempelajarinya supaya tahu kalau ditanya. Bukan untuk mengamalkannya. Jadi Jumat lalu, wahai ganteng kesayanganku, kepada Bapak Sekjen MPR, Bapak Ma'ruf Cahyono, Ibu tanyakan pertanyaanmu. Ini jawaban beliau.... Teruslah belajar dan memahami apa yang kamu pelajari. Meski kehidupan ini bukanlah fungsi linier. Jangan biarkan kegaduhan mengubah apa yang kamu percayai. :) G0: Lihat, wajah 5M (pake tampang mikirin biaya renovasi rumah, wakakakak)
Me: Oke. Kenapa Bridge ga pernah masuk ke cabang yang dipertandingkan di olimpiade ya? G0: Masih pada ribut ngurusin itu GAMES apa SPORT. Tergantung tuan rumah juga sih, kan mereka punya hak untuk nambah pertandingan.... Me: Hmmm.... mungkin kalau di Rusia, atau Belanda bisa masuk. (Ini kita ngomongin Olimpiade lho ya, mari kita lupakan fakta bahwa saat Indonesia jadi tuan rumah Asian Games nanti, Bridge tetap dicoret dari daftar yang dipertandingkan) G0: Selama catur masuk, bridge juga masuk lah. Talking to my self: Kenapa Bridge dicoret dari Asian Games? Penghematan anggaran? Padahal peluang medali emasnya besar. Sepakbola masih bertahan. Padahal, untuk SEA GAMES saja sudah susah cari emas. ;) Mungkin popularitasnya beda. Sepakbola, bulutangkis, adalah olahraga yang populer. Olahraga rakyat. Bridge? Itu apaan sih? :D Oke, Bridge mungkin terlalu exclusive, kurang populer. Penting jadi populer? Ya inilah saatnya di mana saya merasa penting menjadi populer. Saat Indonesia menang di pertandingan bridge tingkat Internasional, berapa orang yang bisa bangga? Saat Indonesia menang di pertandingan bola tingkat Internasional, berapa orang yang bisa bangga? Itu sudah jadi jawaban kenapa sepakbola lebih diperhatikan daripada Bridge (btw atlet bola aja gitu amat nasibnya ya?) Jadi, inilah waktunya merubah mindset dari olahraga eksekutif menjadi sesuatu yang merakyat. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|