Anak itu lahir engga kaya beli robot. Ada buku pedomannya. :D
Pada suatu waktu, pada seorang teman, saya bercerita mengenai anak saya. Ceritanya dia baru saja menang OSN Matematika tingkat kecamatan. Cie cie cie.... Tapi waktu mau maju ke tingkat Kota, hanya peringkat lima. Langkahnya terhenti di situ. Dan saya juga cerita, buat saya itu wajar. Karena, persiapan anak saya hanya 2 hari untuk tingkat kecamatan, dan kurang lebih sebulan untuk tingkat Kota. Sedangkan peserta lainnya, ada yang mengikuti kursus pra olimpiade. Wow, baru itu saya tahu ada kursus seperti itu. :D Anak saya ikut KUMON, itu juga baru mulai. :D Dulu saya tidak mengerti mengapa ada yang bilang ikut les KUMON itu bikin anak stress. Di bulan ke enam anak saya ikut les, saya mulai mengerti apa yang mungkin menjadi pemicu stress-nya. Masalahnya ada pada soal-soal yang semakin sulit, yang kalau tidak didampingi orangtua yang mau meluangkan waktu untuk memahami permasalahan Matematika, akan menjadi semakin rumit. :D Sampai saat ini anak saya belum terlihat stress, hanya jadi makin sering nanya. :D Mungkin karena ini ada teman yang menasehati saya agar tidak terlalu memaksa anak untuk belajar, menjejalinya dengan les ini itu. Dia bilang, kalau mau leskan menari, melukis, menyanyi, agar dia bisa mengembangkan emosinya. Meski saya bingung, darimana dia bisa menyimpulkan bahwa saya memaksa anak saya untuk belajar? Saya kemudian memikirkan sarannya, nah, saya pikir itu malah yang akan jadi terlalu memaksakan. Terbayang, apa kata anak saya kalau tiba-tiba saya mendaftarkannya di kelas menari! :D bisa-bisa saya didemo. Teman yang lain menambahkan, buat dia punya anak pinter itu biasa. Lebih luar biasa jika hafalan Qur'an nya sudah banyak. Mmm, iya sih saya tidak menyekolahkan anak di SD Islam. Alasannya ada di sini. Dan hafalan Qur'an anak saya satu juz saja belum, itu juga dia mulainya dari Juz Amma. Hehehe, alasan dia sederhana. Cukup untuk bekal jadi imam saat shalat. Tapi dia terus berusaha menambah hafalannya, bahkan, lengkap dengan artinya. Waktu dia cerita ini saya kaget, karena saya ngga pernah ngajarin, juga ngga pernah minta. Saya tanya apa di sekolahnya ada tuntutan demikian? Dia jawab, tidak. Saya tanya lagi, di sekolah ngajinya ada tuntutan demikian? Dia jawab, tidak. Saya tanya lagi, lalu kenapa semangat sekali menghafalnya? Sampai ke artinya? Jawaban anak saya: pengen tahu saja apa artinya. Khas jawaban anak-anak. Hahaha.... Sebenarnya saya mulai sadar, sedang terjebak di dalam ciri khas percakapan emak-emak, ngga mau kalah kalau soal anak. Bwahahahahahaha.... Walau sambil mikir, "Apa salah gw punya anak yang hobbynya Matematika ya?" Wkwkwkwk.... Kesannya saya emak-emak horor yang karena emaknya kuliah di Statistika trus anaknya dipaksa ngikut. :D Jadi ya kemudian saya memilih diam, dan komentar saya berikutnya menjadi khas komentar orang yang lagi males komentar tapi kalo gak komentar kayanya gak sopan: wow, keren. Ini mungkin adalah suatu era, di mana punya anak cepat belajar atau punya lambat belajar nasibnya sama. Dalam kasus saya, kalau anak saya 'pintar', komentarnya "Emaknya gila, anaknya diajarin ini itu, belum saatnya!". Kalau anak saya 'kurang pintar', komentarnya "Emaknya sekolah mulu, gak sempat ngurusin anak!" Sebuah dunia serba salah! Hehehe.... Sebenarnya, cara saya menghadapi anak-anak saya, rada-rada niruin bagaimana Dad menghadapi saya. Dad selalu menganggap saya bisa diajak bicara. Kalau "jangan" itu disertai alasannya. Yang saya kurangi, pemaksaan dan kekerasannya. Hahaha.... Si Dad mah galak, gak hafal perkalian, bisa dilecut sapu lidi tuh kaki. :( Saya gak mau gitu, gakpapa anak saya baru hafal perkalian di umur 8 tahun, ketika itu dilakukannya atas keinginannya sendiri. Saya hafal perkalian umur 5 sih, karena sayanya memang suka, tapi ada faktor takut juga. Hahahaha.... Jadi ya saya tiru cara Dad bernegosiasi dengan anak-anak, cara dia mengajak saya bermain sambil belajar, dan lain-lain. Tapi kalau untuk kompetisi dan lain-lain, itu atas seizin dia. Apakah kamu mau ikut ini? Kalau mau ayo kita siap-siap. Kalau tidak, it's fine. Kalo dipikir-pikir, jaman saya kecil saya ikut lomba macem-macem. Lomba model, lomba baca puisi, lomba menulis, dan lain-lain, padahal gak semuanya saya suka. Paling sebel ikut lomba model. Bah! Harus melenggak-lenggok di depan orang pasang senyum manis padahal gak pengen senyum sama sekali itu menyebalkan! Adakah positifnya dari itu semua? Ada, saya memiliki percaya diri yang bagus. Hahaha, kadang-kadang malah terkesan songong karena kepedean. Maka dengan mengalami masa kecil yang seperti itu, hardly impossible buat saya memaksa para jagoan mengikuti sesuatu yang di luar kehendaknya. Saya memilih untuk memotivasi dia. "Punya prestasi itu enak, lho! Bisa jadi bekal buat nanti, saat akan berburu beasiswa, mencari pekerjaan, dan lain-lain. Misalkan ada dua orang yang sama-sama pintar, sama-sama cerdas, sama-sama berbakat, biasanya yang dipilih yang ada prestasinya. Karena setidaknya mereka pernah menghadapi ujian untuk bisa dikatakan sebagai pemenang, terbiasa berkompetisi." Begitulah. Saya, sebagaimana orangtua lainnya, tentu saja berharap anak-anak bisa memperoleh kebahagiaan di dunia, dan di akhirat. Pernah hampir menangis ketika dia bilang: ingin masuk pesantren, ingin mendalami agama. Alasannya, "Karena kalau anaknya sholeh, katanya Ibunya bisa masuk surga...." Berkaca-kaca mata saya. Sambil malu sendiri, karena saya menilai diri saya sendiri 'kurang berusaha'. Ingin berkata, raihlah surgamu, Nak. Surga Ibu, biar Ibu yang perjuangkan sendiri. :') Iyaaa.... saya mau anak saya jadi penghafal Quran, pengamal Quran, punya pekerjaan yang berguna bagi orang banyak, berempati tinggi, dan semua sifat dan aktivitas baik lainnya yang dapat diharapkan seorang Ibu pada anaknya. Tapi memintanya melakukan itu semua dalam waktu yang bersamaan, hehehe.... Saya ngambil kaca aja deh, saya bukan seorang supermom. :) Dan saya, memilih untuk mendengarkan nasehat teman saya lainnya, "Apakah hal utama yang kamu inginkan dari anakmu?" Jawaban saya saat itu, "Jujur. Apapun masalahnya, saya berharap dia selalu jujur, baik kepada saya maupun kepada lingkungannya." Dan teman saya menambahkan, "Maka hargailah kejujurannya, sekecil apapun itu! Jangan sekali-kali mengajarkannya untuk berlaku tidak jujur." Ah, sebenarnya, penyakit saya juga sama seperti emak-emak lainnya. Suka mudah tajub sama pencapaian anak-anaknya. Hahahahaha....
1 Comment
Anak saya pusing nonton berita. Dia bilang "Ini gak boleh, itu gak boleh, terus saya jajan apa?" #nyengir well, karena konon kata gurunya suka kasihan lihat anak saya jam istirahat gak jajan, saya ikutin deh ngasih uang jajan. Tapi, pas ke sekolah emang udah inspeksi, mana yang boleh dan yang tidak, karena yang kecil kan amandel.
Pembicaraan pun merebak di kalangan masyarakat. Di angkot, omprengan, taksi, kereta, semua membicarakan brownies berganja ini. Sampai si Mbak yang juga ikutan nanya, "Itu brownies yang dijual di warung-warung harga seribuan itu bukan sih, Bu?" Terus terang tadinya saya gak tahu. Demi menjawab pertanyaan si Mbak saya pun jadi baca-baca beberapa versi kisah si brownies ganja ini. Dan berdasarkan pengakuan si penjual harganya 200rb per kotak (well, gak semua orang bisa beli), dan menariknya pembelinya tahu bahwa itu mengandung ganja. Jadi, bukan jebakan batman seperti perkiraan saya awalnya. Satu site mengutip bahwa si penjual menjualnya di olshop nya, tokohemp dot com. Saya pun kepo, penasaran aja, diblokir gak ginian sama pemerintah. Eh ternyata engga, padahal udah positive thinking nyari di wayback jaga-jaga diblokir. Ternyata situsnya masih mejeng dengan manisnya. Dan saya pun bingung, namanya udah tokohemp dot com. Contact person jelas. Transaksi by email. Katalog seputar peralatan itu dah. Bisa lulus sensor. Hehehe, padahal besar kemungkinan dia jualan ganja. Yang nanya ke contact juga kemungkinan ya nanya ketersediaan bahan baku utamanya, engga aja kan nanya "Masnya jual gulali gak?" Kecuali itu yang jadi kata sandinya. But my point is, yang beli dan yang jual sama-sama tahu kondisinya (berbahan baku ganja), dan dia harganya bukan di kelas brownies oleh-oleh. Bikin mikir kalau mau beli (itu mah elu kali, Fa, kelas brownies lima puluh rebuan!). Yang perlu dikhawatirkan, yang ikutan makan dikasihtahu gak ama yang beli bahwa itu mengandung ganja? Dampak ikutannya bisa berbahaya. Tapi saya sedikit merasa terganggu dengan atribut tambahan yang disematkan ke penjual browniesnya, yaitu statusnya sebagai ODHA yang juga menderita Hep-C. Man, mau dia ODHA atau kagak, jualannya udah barang ilegal. Hukum aja tidak membedakan status ODHA, tuntutan hukumannya tidak menjadi lebih ringan, ataupun lebih berat. Masa iya kita mau menstigma dengan kata-kata: "Udah jualan barang ilegal, ternyata ODHA toh." Lah, hubungannya? Saya masih mikirin, jangan-jangan dia jadi jualan karena gak ada perusahaan yang mau nerima ODHA kalau dia jujur dengan statusnya. Tapi ya ngga jualan brownies berganja juga kali Mas, Cappucino Cincau aja, nyari pengkolan yang belum ada penguasanya. Gak campur ganja yaa.... grin emoticon Jadi besok saya mau bilang ke si Mbak, bahwa itu bukan brownies seribuan yang dijual di warung-warung. smile emoticon dan kira-kira, itu tokohemp, bakal diblokir atau engga ya? Poor you, putra dan putri Presiden. Hidup di era yang segala serba diomongin.
Punya blog yang bahasanya gaul banget, kaya kebanyakan dari kita, diocehin. Gak bisa Bahasa Indonesia yang baiklah, dicela semua kelakuannya yang diceritain lah, padahal adakah manusia yang gak pernah bikin salah? Ikutan tes PNS, lulus salah gak lulus dibego-begoin. Padahal jaman dulu tinggal minta aja ya, PNS gol 3a mah kecillll.... Kelasnya kan minimal komisaris perusahaan. Punya tampang jutek, diomongin seantero negeri. Angkuh, sombong, sengak (padahal mending sengak daripada tuh a ama e kebalik penempatannya). Hehehe.... Pangeran Harry sering jutek and ke gap doing crazy things aja yang ngefans banyak ya? Kebayang ya susahnya hidup kalian. Hahaha.... Dituntut menjalani hidup untuk kepuasan public, padahal, public ga akan ada puasnya. Selalu bisa dan akan selalu jago dalam menemukan kesalahan/kekurangan seseorang. Turut berduka cita atas matinya kebebasan untuk jadi diri sendiri. Resiko jadi public figure. smile emoticon "Jangan ajarkan anak calistung"
Begitu seliweran yang beredar di news feed gw hari ini. Dan gw cuma bisa senyum aja, mengingat buku pelajaran anak kelas 1 SD sekarang bukan lagi kaya buku jaman gw SD dulu, tulisannya: B U D I Bu Di Budi Anak gw generasi pertama di jaman kekinian masuk SD gak pakai test baca tulis (Tahun 2011). Dan di hari pertama ngeliat dia sekolah, macam ada rasa pengen ngejitak gurunya yang menegur siswa yang belum bisa membaca agar tidak menangis, ketika anak itu menangis karena tidak bisa membaca. Kesimpulan awal gw, si Ibu males amat. Jaman gw dulu ya tugas guru kelas 1 ngajarin baca. Walau akhirnya gw liat si guru ngasih jam tambahan buat si anak di luar jam sekolah. Kesimpulan akhir gw, si Ibu lagi pms kali ya, karena kalo gw yang di dalem, kepala gw juga pasti cenat-cenut melihat berlebihannya energi anak kelas 1 SD. Hahaha.... Gw sendiri sebenarnya termasuk yang tidak setuju dengan larangan itu, harusnya "Jangan memaksa anak belajar calistung!" Lebih karena sesuatu yang dijalankan karena keterpaksaan itu gak akan efektif hasilnya, berlaku buat anak-anak, juga dewasa. Mengingat sejak anak-anak di dalam perut, gw udah ngajakin bermain menghitung. Tapi baru sampai dua. Tepuk perut sekali, dia nendang sekali. Tepuk dua kali, dia nendang dua kali. Udah gitu tepuk tangan takjub. Mungkin itu cuma kebetulan, tapi gw melakukannya lebih dari sekali. Buat gw sendiri, cukup bukti bahwa bermain dengan anak itu sudah bisa dilakukan sejak mereka masih dalam kandungan. Kalau ini tidak berhasil dengan yang lain, jangan sedih, mungkin mereka emang gak suka hitungan, hahaha.... Kalau untuk urusan belajar, dikit banyak gw niru cara Dad. Belajar sambil bermain. Main cerdas cermat, salah satu mainan favorit di rumah. :D Tebak lagu daerah, tebak nama negara, dan tebakan-tebakan lainnya. Terus terang gw diuntungkan dengan status sebagai emak-emak yang juga mahasiswa. Anak-anak gw gak aneh dengan kata-kata belajar, karena seringkali mereka juga melihat Ibunya harus mengerjakan PR. Yap, anak-anak gw memang ikut les. Tambahan pelajaran mereka di luar jam sekolah adalah mengaji dan kumon. Dan dua-duanya ini, mereka yang minta sendiri. Tugas gw cuma nyariin tempatnya aja. Enaknya, ketika itu dilakukan atas keinginan mereka sendiri, gak perlu repot-repot ngingetin, mereka udah sadar sendiri akan jadwal-jadwalnya. Sekolah juga gitu, udah pada ngerti sendiri ngerjain PR sebelum main. Kalau ada yang susah baru nunggu Ibu/Ayahnya. Jadi ya gitu, gw tetap saja gak setuju dengan statement di atas. Karena Alhamdulillahnya, sampai saat ini sih, anak-anak masih menikmati masa-masa belajarnya. Ambil suatu waktu di tahun 90an. Terus waktu kamu ke pasar, teriakin deh "Ih kamu miskin, deh!" Niscaya kamu dari pasar bakalan dapat oleh-oleh benjol ditimpuk orang. Ya! Pernah ada satu waktu di Indonesia ini dimana orang malu dikatakan miskin. Walaupun sebenarnya memang miskin.
Dan datanglah tahun 2005. Tahun dimana pemerintah punya ide, memberikan bantuan langsung tunai sebagai kompensasi dari naiknya harga BBM. Pertanyaan besarnya adalah, siapa yang berhak? Memangnya dinas sosial gak punya datanya, bukannya ada beras miskin? Misinya mulia sekali, barangkali ada yang tidak tercover datanya dinas sosial. :) Tapi, bagaimana jika masyarakat tersinggung bila mengetahui survey ini adalah tentang kemiskinan? Namanya pun dibuat cantik sekali, Pendataan Sosial Ekonomi (PSE). Inilah cikal bakal data penerima bantuan (yang harusnya diupdate secara berkala oleh pemerintah daerah setempat). Selain Caleg yang masih rusuh gara-gara DPT, mahasiswa semester akhir yang berurusan dengan TA, dosen dan peneliti, jaman itu, siapa sih yang kenal BPS? Saya aja ngerti kepanjangan BPS itu apa tahun 99. Karena mendaftar di sekolahnya BPS. Jadi, kalau gak tahu, ya saya maafin. :) Dan sudah jadi 'pengetahuan umum' di kalangan petugas sensus bahwa meskipun pekerjaan kami itu dilindungi oleh Undang-Undang, tetap saja bagi masyarakat kami itu adalah sekumpulan orang kurang kerjaan yang hobby-nya nanya-nanyain orang. Begitulah, pada saat PSE 2005 itu, petugas sensus 'dibantingin pintu' itu biasa banget. Tapi, itu berubah hanya dalam waktu hitungan bulan. Ketika orang-orang yang namanya diusulkan oleh RT/RW setempat masuk ke dalam database sebagai -calon penerima BLT-. Lalu, keluarlah daftar penerima bantuan. Bersamaan dengan kartu berwarna biru, senilai Rp 1.200.000,- Cek dan ricek, tidak sampai 1% usulan yang tidak keluar kartunya. Mekanisme penyaluran kartu pun, yang dialihkan dari PT POS ke BPS, diatur ulang. Dilakukan oleh BPS, dan dibentuk tim. Fungsi tim ini sebenarnya untuk verifikasi juga, keberadaan rumah tangga penerima kartu, dan apakah kondisinya sesuai dengan peruntukan kartu. Masalahnya, banyak yang melaporkan si ini seharusnya tidak berhak, dan mengajukan namanya sebagai yang lebih berhak. Verifikasi itu dilakukan sebagai feedback dari aduan masyarakat yang menjadi rajin lapor dan rajin main ke BPS. :) Betulan deh, setiap harinya saya mengentry 50-100 nama usulan penerima kartu, selama kurang lebih dua minggu. (Oh iya, era ini saya tidak ke lapangan, karena sedang hamil gede. Jadi saya standby di kantor menghadapi pendemo. Yang datang ke kantor gak tanggung-tanggung, sampai anggota DPRD pun dalam melakukan hearing lebih milih datang ke kantor, padahal biasanya manggil ke DPRD). Karena yang bisa saya lakukan hanya mengecek database, ya kerjaan saya cuma matching nama-nama di daftar aduan dengan di database. Ternyata, sebagian besar sudah ada di database, hanya saja sebagai bagian dari anggota rumah tangga penerima BLT. Ada satu kelurahan, yang kalau dijumlahkan penerima kartu + jumlah aduan yang masuk, jumlah rumah tangganya dua kali lipat dari catatan hasil registrasi penduduk. Kelurahan ini, lurahnya sampai datang demo ke kantor, memprotes BPS yang menurutnya tidak beres dalam melakukan pendataan. Ketika saya perlihatkan tabel rekap jumlah tadi, diapun bertanya-tanya, rumahtangga siapa sajakah kok bisa sebanyak itu? (Tentunya setelah saya ledek, ah Pak Lurah nih registrasinya bener nggak? Kenal nggak sama warganya sendiri? Kok sampai separuhnya gini gak tercatat di registrasi? :P an eye for an eye, Pak Lurah!) Begitulah. Para lurah yang datang, ketua RT, ketua RW, pada prinsipnya datang ke BPS untuk melimpahkan kesalahan kepada BPS. Padahal sebenarnya, semua usulan nama itu datangnya dari RT/RW setempat. Ada form yang diisi RT dan ditandatangani. Kalau lagi keluar isengnya, saya suka manggil tuh lurah atau RW atau RT buat nunjukin "Ini tandatangan siapa ya?", agar semata dia mau menenangkan warganya. Belum lagi karakteristik warga yang datang. Ada yang sambil mabuk, bikin saya sebal. Ngomong sama orang sadar aja belum jelas bakal mendapatkan titik temu, sama orang mabuk apalagi! Ada anggota DPRD yang ngotot pembantu di rumahnya harus dapat BLT. Ohya, alasan saya mengentry setiap harinya aduan yang masuk juga karena, pendemo itu gak akan pulang kalau namanya belum 'dimasukkan ke komputer'. :D Suasana kantor benar-benar nggak nyaman. Sisa orang di kantor tinggal saya, dan kepala kantor. Karena yang lainnya melakukan tugas distribusi kartu. Ada suatu hari dimana saya mau masuk kantor nggak bisa, pintu terkunci. Orang sudah memenuhi halaman kantor yang tidak terlalu besar. Saya bersabar menunggu. Tetapi mulai jengkel ketika ada yang berkata "BPS pengecut! Hancurkan saja kantornya! Masa di kantor gak ada orang?" Lha saya di situ dianggap apa? Heran! Saya aja gak bisa masuk, masa mereka mau minta masuk. Si Boss, entah di mana. Mungkin kembali di panggil DPRD. Demi alasan keselamatan diri dan kantor, saya menelpon BPS Provinsi. Biasanya, melihat orang berseragam mereka sudah tenang. Ohya, baru ingat. Karena lagi hamil, saya tidak mengenakan seragam. :) Dan urusan demo ini, bukan hanya di kantor. Setiap harinya, bahkan sejak matahari belum terbit, sudah ada orang yang antri di depan rumah. Ini ga enaknya kerja di daerah, meski di rumah saya tidak ada stiker "Penghuninya kerja di BPS", tetangga-tetangga tahu di mana saya bekerja. Ada satu Ibu, yang masih saya ingat sampai sekarang. Dia menghiba-hiba, agar namanya dicatatkan ke dalam daftar penerima BLT. Saya katakan, tidak bisa. Seandainya saya catatkan pun akan ada verifikasi ke rumahnya. Dan dia itu tinggal bersama saudaranya, yang rumahnya, Taj Mahal aja lewat. Dia berkelit, karena tidak punya uanglah makanya menumpang. Dia lupa menghitung, bahwa menumpang adalah sebagian dari nikmat. Ada orang yang gak punya tumpangan terpaksa ngontrak rumah, hitungannya jadi jauh lebih membutuhkan dari dia kan? Kalau mau 'lihat ke bawah'. Dan lagi saya katakan kepadanya, dengan segala emas yang melekat di tubuhnya (antingnya, gelangnya, kalungnya), saya enggan mencatatkan dia ke dalam daftar penerima BLT. Lalu dia berkelit lagi, bahwa itu bukan emas, tapi perhiasan. :) Dan di belahan dunia yang lain, ada yang betul-betul miskin sehingga sudah tidak sanggup lagi memikirkan ingin mengenakan perhiasan apa. :) Hal lainnya yang membuat saya jengah adalah LSM. Ada beberapa orang yang mewakili LSM tertentu, hobby teriak-teriak di depan kantor dan mengusulkan sederetan nama. Setelah diperiksa, nama-nama itu terdaftar sebagai penduduk pun bukan. Tukang becak yang hanya kost sementara keluarganya tinggal di daerah yang berbeda, ikut dimintakan. Saya heran, mau mereka apa? Kalau konsepnya saja tidak dipedulikan? Satu cerita lucu lagi, yang membuat saya berkurang kepercayaan terhadap berita di media (kalau hilangnya sih pas Pilpres 2014 kemarin, hahaha). Fact: Di tengah kerumunan massa, ada seorang kontributor media yang bawa-bawa handycam (iya, cuma itu peralatan dia). Melihat ini, seorang Ibu menitipkan anaknya pada seorang KSK (karyawan BPS juga), untuk kemudian pingsan. Kami semua bengong melihat ia yang jatuh tiba-tiba, mau ditolong, eh sudah berdiri lagi. :) Besoknya di TV: judul beritanya - seorang Ibu pingsan ketika demo BLT di BPS dan tidak diperdulikan. Hahaha, mendidih darah saya rasanya. Besoknya lagi kalau si kontributor datang ke kantor, saya yang pertama ngusir duluan. "Mendingan keluar aja deh, Mas. Masih banyak yang harus saya layani, mual saya lihat muka Mas!" Saya juga bisa lho, memanfaatkan kehamilan untuk mendramatisir suasana, tsaaahh.... Sebagai imbas dari kok kayaknya yang ngadu gak berhenti-berhenti ya? Sungguhkah sebanyak itu yang belum tercover? Dilaksanakanlah pendataan susulan. Pendataan susulan ini kemudian datang lagi kartunya, pada tahap ke-2 ini saya turun lapangan langsung untuk verifikasi. Saat itu, saya sedang jadi ibu menyusui. :) Aaaaahhhh, tambah hancur hati saya. Setelah melihat orang-orang yang sebelumnya sangat ngotot ingin dapat padahal sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Berbagai kejadian saya temui ketika verifikasi ini. Istri yang menyembunyikan suaminya (atau kekasihnya?) agar tetap diketahui menjanda, anak yang beranggapan bahwa orangtuanya menumpang padanya (helllooo, orangtua kok istilahnya numpang?), anak muda gagah perkasa tidak rela sepasang pasutri renta mendapatkan BLT hanya karena menurutnya pasutri itu sudah punya rumah dan dia masih mengontrak (ini juga kadang bikin saya bingung, pasutri itu ada rumahnya sih, tapi mereka sudah gak sanggup kerja, si anak muda?), ramai-ramai menyembunyikan aset (titip kulkas ke tetangga, dan sebagainya). Aaahh, lelah hati saya melihatnya. Nyaris putus harapan dengan bangsa ini, yang karena Rp 100.000,00 per bulan saja siap adu jotos dengan tetangganya, merendahkan derajatnya sendiri. Kegiatan yang satu ini (yang masih terus berlanjut sampai sekarang), sangat membekas di hati saya. Dan entah ide apa yang merasuki pemerintahan sampai BLT ini dilakukan berulang-ulang, namanya saja yang berbeda-beda. Solusi instan mengalihkan demo kenaikan harga BBM ke BPS, menjadi issue tidak terdata. Duh, miris. Tahun 2008, BPS digugat ke pengadilan. Menurut mereka, kriteria kemiskinan yang digunakan tidak tepat. Ya, berdasarkan pengalaman di lapangan, kalau mau ngikutin orang ke orang, ya tidak sama. Putusan pengadilan di tahun 2009 memenangkan BPS, dengan isi putusan dikutip dari Varia Statistik: Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Makmun Masduki, dengan anggota Agoeng Raharjo dan H. Lexsy Mamanto menganggap bahwa BPS tidak dapat disalahkan, karena BPS hanya sebagai pelaksana dalam menyediakan data kemiskinan yang dilakukan melalui survei-survei ke pelosok-pelosok di seluruh Indonesia yang bekerjasama dengan kelurahan, RT, dan RW. Pengadaan survei serupa juga dilakukan di negara lain seperti Meksiko, Brazil, dan Afrika Selatan. Hakim kembali menegaskan BPS benar dalam melaksanakan tugasnya. Data yang dikeluarkan BPS cukup akurat untuk menentukan rumah tangga miskin penerima BLT. BPS kemudian dinyatakan: memenangi perkara. Dari keseluruhan cerita ini keliatan banget ya kalau saya gak suka BLT, hehehe. Iya, bagaimana BLT mampu mengubah sebagian dari kita menjadi peminta-minta. Sedih. Meski demikian, saya tidak bisa menahan haru ketika harus menyampaikan kartu kepada yang berhak. Itu rasanya seperti ingin berteriak: Mission Accomplished. Dan ya memang, sebagian besar kartu-kartu itu berada pada orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Alhamdulillah. Tapi tetap saja, saya berharap kebijakan BLT ini tidak diteruskan, diganti menjadi jaminan sosial untuk semua saja lah. Sekian. Jaman masih nyacah sensus penduduk 2000 dulu, saya suka senyum-senyum baca nama anak-anak balita. Di daerah Pasar Minggu, nama Desy (dan variannya Deasy, Desi) se-Ratnasari-Ratnasari nya banyak banget dipakai sama ortu buat ngasih nama ke anaknya. Kalau anak laki-laki ya Anjas (Anjas Asmara, Anjasmara). Itu versi lokal, versi interlokalnya: anak laki-laki bernama Zidan. Konon katanya, pemberian nama akan sangat tergantung era. smile emoticon
Umumnya, nama orang Indonesia terdiri dari dua atau tiga kata. Jadi, kalau pengen anaknya terkenal, bikin nama panjang-panjang. Hahaha.... Berdasarkan pengalaman, sekali kenal saya biasanya gampang ingat, walau yang diingat: yang namanya panjang banget itu kan? Karena itu pulalah, kalau sedang tidak mood jadi pusat perhatian, saya lebih suka memperkenalkan diri sebagai Alfa. Itu juga alasannya saya cinta email kantor saya, so simple. alfa at bps dot go dot id Uhuyy, kalo di email gratisan susah banget dapat ini. Udah unavailable semua. smile emoticon Dan semakin ke sini, kayanya orang semakin mempersulit urusan nama ini. Trennya kayanya makin susah disebut makin unique. grin emoticon Dugaan saya, orangtuanya pasti tidak pernah mengalami kesulitan karena nama. Coba jadi kaya saya, harus menjelaskan bahwa Alfatihah harus ditulis dalam satu kata, bukan Al-Fatihah atau Al Fatihah. Belum lagi karena besar di Jawa Barat, harus memberi penekanan nulisnya itu pakai F, bukan pakai P atau V. Itu baru kata pertama. Untuk urusan menjelaskan nama saja perlu bermenit-menit. Karena statistik nama itulah, di luar perkiraan beberapa sahabat, saya memberikan nama yang sederhana untuk anak-anak saya. Menjadi outlier itu tidak enak, biar mereka cari jalan sendiri kalau memang ingin terkenal. Hehehe.... ga kaya saya, terkenal karena namanya nyusahin orang (nyusahin yang nulis ijazah, cs bank yang bandel suka sok nyuruh nulis nama lengkap, sama BKN yang terpaksa upgrade database karena ketambahan pegawai dengan nama nyusahin). smile emoticon Yang agak di luar perkiraan saya ternyata Elfandra itu tidak cukup unique, kata yang berasal dari Elwindra + Alfa itu juga ternyata ada yang mengenakannya sebagai nama. (Nulis ini gara-gara milih film buat ditonton sama si Ayah, pas bilang Fast Furious 7, kata si Ayah "dah kaya sinetron Indonesia gitu") |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|