Saya tidak tahu, kapan tepatnya (atau harusnya), ketertarikan terhadap lawan jenis itu hadir dalam diri manusia.
Namun saya tahu, suatu saat pasti akan datang pada waktunya. Malam ini, kami bertiga bicara. Ib: "Ayah tahu ngga, anak ibu di sekolah punya teman yang cantik sekali, lho." Ay: "Oh ya? Berarti Ibu kalah dong?" Ib: "Hehe.. Kayanya gitu sih.." A: "Ish.. Apa sih?" Ib: "Ya ngga papa kali, sayang. Dulu juga Ibu begitu, Ayah juga begitu. Ada masanya, teman kita kelihatan begitu menarik. Iya ngga, Ayah?" Ay: "Iya kok..." A: "Hmm... Mungkin Ibu betul..." Ib: "=D Bukan mungkin, atuh sayang. Memang begitu. Dan itu ngga papa. Tapi, daripada bingung, mending cerita sama Ibu, sama Ayah. Harus gimana?" Ay: "Jadi, duduknya dekat ngga dengan si cantik itu?" Ib: "Dia pasti cantik sekali yaa..." A: "Ih apaan sih. Engga lah, ibu masih lebih cantik..." *ehm... ehm... ngedipin si ayah* Ay: "Oh, Ibu cantiknya banyak. Tapi teman itu, cantiknya pasti lebih banyak lagi yaa?" A: "Engga..." Si ganteng pipinya memerah. Sebelum dia mulai jengah, sudah waktunya berhenti. Dan mencari waktu lain, untuk menyampaikan "pesan sponsor ala orangtua". Beginilah rasanya. Tahapan kami selanjutnya dalam menjadi orangtua. Bagaimana esok? *belajar... belajar... dan terus belajar lagi, semoga tidak mengecewakanmu, Nak* Ssstttt... Ini sharing sesama ortu yaa... Biar pipi si ganteng ga tambah merah, ga usah di mention namanya yaa... =D
0 Comments
Sebelumnya, agar tidak terjadi suatu penipuan publik, notes ini bukan tentang EsBeYe, juga bukan tentang OBaMa. Tetapi, Presiden di rumah Elfandra, Mr. Elwindra. Jadi, kalau tidak berkenan, bacanya cukup sampai paragraf ini saja. Hehehe...
Qiu, artinya sembilan. Menjelang sembilan tahun, membuat keputusan tentang akan seperti apakah konsep Elfandra itu :-) Dan sampai sekarang pun, harus diakui, saya masih jadi penggemar setia dari Mr. Elwindra. Hehehe... Bukan rahasia lagi, kalau saya juga adalah pengagum dari anak-anak saya. Para calon profesor itu mengajarkan saya tentang bagaimana memahami banyak hal secara sederhana. Kesederhanaan yang sepertinya berasal dari sisi Mr. Elwindra. Mengingat saya yang super serius, serba dipikirin, dan repot! (Lirik si sulung dikit, mirip deh kita, Kak...) Orang-orang bilang, pasangan itu akan ada untuk saling melengkapi. Jadi, untuk orang yang secerewet Alfa, berisik, ga jelas, banyak maunya, ada Elwindra, yang calm, cool, pendiam, bicara hanya bila diperlukan. Hehe... Bertolak belakang ya sepertinya? Yang sama dari kami adalah ga terlalu perduli dengan apa yang diomongkan orang. Selain kesederhanaannya, juga kedewasaan pemikirannya. Hal ini tentunya bisa dijelaskan dengan selisih usia kami yang cukup jauh. Cukup untuk mengikis keegoisan saya, dan membuat saya lebih mau mendengarkan orang lain. Banyak sekali, yang bisa kami diskusikan bersama. Dan seaneh atau serumit apapun pikiran saya, ada dia yang siap menguraikan atau menyederhanakan permasalahan itu. Point menarik lainnya adalah *his poker face* hehehe... Entah pengaruh usia, yang membuat dia selalu tampak lebih dewasa, atau emang dasarnya cool dari sananya. Mau lagi marah, lagi senang, lagi sedih, ya mukanya gitu aja. Kalau saya pernah lihat dia panik luar biasa, itu hanya saat saya sedang berjuang melahirkan Alif, wajahnya pucat, sedikit lagi hampir seputih kapas. Dan kemudian ia terlihat begitu bahagia, itu saat membisikkan adzan di telinga Alif. Selebihnya? Dia begitu tenang. Setenang ketika ia membisikkan pada saya, di tengah perjuangan melahirkan Attar "Ayo, Ibu pasti bisa... Kita kan sudah pernah melalui ini..." Hahaha.. Padahal, saya tau dia sama tegangnya, sampai lupa bawa jaket perang untuk menghadapi saya, yang sudah disiapkannya jauh-jauh hari. Jaket bulu angsa setebal hampir 5cm untuk menghindari 'serangan gigitan dari saya'. Hasilnya, masih saja, dua-tiga bekas gigitan mewarnai lengannya saat itu. I love you, Ayah... :-) Ohya, dalam debat kami terakhir (bawel itu semacam trade mark buat saya), tanpa sengaja mencuri dengar pembicaraan dua jagoan "Denger ya Attar, ibu itu pasti kalo ngomong kaya orang marah... Cerewet deh. Ayah mah engga..." Aish, cukup efektif untuk mendiamkan saya saat itu juga. Dan di akhir debat, kembali si sulung bertanya, "Jadi, dari yang tadi Ibu dan Ayah omongin, yang bener siapa?" :-) untungnya si ayah sepakat menjawab "Ya.. Buat orang yang ngomong pastinya merasa benar. Tapi diomongin itu biar bisa tahu, yang bisa benar untuk dua-duanya yang mana.." Hehehe... Punya PR untuk menjadi setenang Ayah. Atau, sedikit mirip juga gapapa deh. Untuk seseorang sependiam dirinya, si Ayah punya confidence yang luar biasa, jika itu terkait tentang Bridge, Alif dan Attar. Dulu, masih saya ingat, jika berpamitan untuk ikut pertandingan, dan kemudian saya tanya bagaimana hasilnya, dia akan menjawab, "Tenang saja... Win is my middle name..." Jadi kangen deh dibawain piala sama Ayah... Untuk anak-anak, dia sering bilang "Alhamdulillah banget ya, anak-anak kita tuh ga aneh-aneh. Ga nakal, ga cengeng-cengeng ga jelas gitu..." Kami pun sering bertukar cerita tentang takjubnya melihat perkembangan anak-anak itu... Sembilan tahun. Bukan sesuatu yang istimewa. Juga tidak sempurna. Jatuh bangun di sana-sini. Tapi disini, saya masih percaya, hadirnya, adalah salah satu kejadian terbaik yang mungkin terjadi pada diri saya. Tetaplah menjadi Ayah, Suami, sahabat, teman nongkrong, partner, dan sebagainya, yang terbaik bagi saya. *kiss kiss* Your biggest fans: Alfa. Saya tidak menulis notes ini untuk menghakimi siapapun. Hanya sekedar berbagi.
Sahabat saya dalam ceritanya berkata, "Emang ga boleh gitu, gw cape, gw bosen, ngurus anak terus?" Sejenak saya terdiam. Bertanya-tanya, apa yang dimaksud si kawan ini. Sekedar 'me time' kah yang dia butuhkan? Kami di sini, duduk bersama, dengan secangkir kopi. Ini saja mungkin belum cukup. Tanpa sadar saya menjawab "Tahu ngga? Seandainya anak-anak pun boleh memilih orangtuanya sebelum ia lahir ke dunia, belum tentu dia memilih kita lho sebagai orangtuanya..." Sahabat saya pun terlihat tidak nyaman dengan pernyataan saya ini. Dengan masih menggenggam cangkir kopi saya, saya masih melanjutkan cerita. "Sebagai orangtua kita masih bisa memilih, mau atau tidak punya anak, siapa yang akan bertanggungjawab pada anak, perlu atau tidak perduli pada anak. Dan seterusnya. Sementara anak kita, suka ngga suka, dihadapkan pada kita, orangtuanya. Kenapa kita ngga mencoba lebih adil pada mereka?" "Maksud lo apa sih?" Sergah sahabat saya ini. "Belajar mendengarkan mereka. Meski belum bisa bicara sekalipun, atau ngga paham dengan apa yang kita ceritakan, sesungguhnya mereka selalu mendengarkan. Belajar memahami keinginan mereka, bukan untuk memaksakan apa yang kita pikir mereka inginkan. Belajar berteman dengan mereka, karena kita meminjam dunia ini dari mereka..." Sahabat saya masih juga tidak puas. "Iya, tapi bukan berarti ngga boleh cape kan?" Kali ini saya tersenyum... "Ya boleh aja sih cape. Tapi emangnya anak lu ngga cape gitu punya ortu kaya elu?" Pulang ke rumah, saya peluk si sulung. Dan saya pun bertanya, "Kak... Cape ngga sih jadi anak Ibu?" :-) Dia tertawa, lebar sekali. "Ibu itu bawel sih, tapi Alif sayang kok sama Ibu..." Rasanya, penat hari ini, hilang di detik itu juga. Yap, resolusi berikutnya, lebih banyak bersabar dan lebih banyak mendengarkan! Selamat malam semuanya... |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|