Sepasang kekasih, Putra dan Yasmin, berencana menikah di tempat romantis. Putra undang sang kakek, Ray, sebagai saksi. Yasmin undang ibunya, Fazira. Mereka ingin merayakan kebahagiaan di pulau resor. Sayang sikap saling curiga merusak rencana hari bahagia mereka. Fazira menolak menantu dari Indonesia, sementara Ray tak setuju jika sang cucu tidak menikahi perempuan nusantara. Filmnya dibuka dengan adegan perempuan lari-lari, terus naro handphone di tas anak kecil, dan jatuh ditembak sniper. Di sini saya sudah bingung, di tempat seramai itu, ada perempuan ketembak, tapi ga ada reaksi apapun dari orang-orang sekitar. Really? Lah, ada bom yang berpotensi menimbulkan ledakan susulan aja, di Sarinah situ malah jadi tontonan orang-orang. Ga ada yang teriak, ga ada yang kaget, ga ada yang sadar. Okelah.
-bahkan sampai akhir film saya gak tahu perempuan ini siapa- Dan kemudian beralih ke sebuah kelas, di mana seorang dosen menutup kuliahnya, dan temannya datang menghampiri *dan ga ketahuan juga ini si dosen ngajar apaan* Tokoh utama yang diceritakan di film ini: Opa Satria: Pensiunan BIN, sekarang jadi dosen. Ceritanya sih sangat mencintai nusantara, kalau ngomong harus pakai bahasa Indonesia, bajunya selalu batik/tenun, pakai batu akik merah yang gak ketahuan apa namanya. Satria tidak menyetujui rencana pernikahan Putra dan Yasmin, karena Satria ingin Putra menikahi perempuan Nusantara. Putra: Manager hotel, cucunya Opa Satria. Yatim piatu, mau nikah sama Yasmin. Selain manager hotel ternyata Putra juga kerja untuk interpol. Yasmin: Bekerja sebagai event organizer di hotel yang sama dengan Putra. Yatim, ayah dan ibunya sudah bercerai. Ayahnya adalah salah satu pemilik bank dunia (saya bingung kakak, kenapa bank dunia jadi milik perorangan ya? Atau ini bank yang namanya dunia?), setelah ayahnya tiada, pemilik bank dunia itu tinggal berlima. Fariza: Ibunya Yasmin. Tidak menyetujui Yasmin menikah dengan Putra, karena Putra orang Indonesia (hahahaha.... ini sih kisah klasik permusuhan Indonesia - Malaysia) tapi, luluh sama Satria ketika tahu dia adalah dosen (uwow, ternyata jadi dosen itu keren ya?) Jadi, spy-nya itu adalah Opa Satria dan Putra. Tapi, baru belakangan ketahuan kalau Putra ini spy. Bingung sebenarnya mau nyeritain apa, banyak banget bagian di film ini yang maksa. Yang kalau dipikir-pikir, adegan itu dihilangkan pun ga akan ngaruh-ngaruh amat ke filmnya. Contohnya handphone yang ditaruh si wanita di tas si anak. Anak kecil itu tahu-tahu bisa mengoperasikan handphonenya (emang gak dikunci?), terus semudah itu dilacak handphone mana yang digunakan (padahal akurasi GPS HP itu ya gitudeh). Dan terakhir, ya gak dibahas kenapa HP itu dicari-cari, cuma HP biasa yang gak tahu kenapa diributkan. Katanya sih karena video di dalamnya, tapi kan videonya sudah didapatkan. Jangan-jangan kaya pengacaranya Jessica nih. Kalau objek sudah dipindahkan, dianggap hasil editan. Jadi harus lihat langsung sumber aslinya, hihihihi.... Opa Satria itu katanya nusantara banget. Tapi, waktu food gathering makanan favoritnya disajikan oleh orang India, tapi kelihatannya seperti makanan Padang. Dimana ada ceritanya orang India jualan masakan Padang? Terus, ini film kecuali Bakmi Jawa dan bajunya Opa Satria, ga ada gitu promosi tentang Indonesianya sama sekali. Malaysia dipromosikan dengan Penangnya, (Milo-nya, Nescafe-nya, hiks) Indonesia? Gak kesebut, hiks.... padahal, pengambilan gambar dilakukan di dua negara. Pada saat ada moment si Opa Satria pake tas kulit aja, gak ketahuan euy itu buatan Indonesia apa bukaaaannn.... saya gak terima ini. :P Coach, Long Champ, nyata kelihatan. Kenapa sih ga pake tas kulit yang ada tulisan made in Indonesia-nya? Kan kalo bisa jadi trend kaya tasnya Cinta di AADC2 lumayan dampaknya buat pengrajin-pengrajin di Indonesia, hehehe.... Putra ditugaskan menyamar jadi manager hotel untuk melindungi Yasmin. Dari apa? Yasminnya kayanya engga pernah terancam bahaya, malah Opa Satria yang kena ancaman macem-macem. Gak ada tanda-tanda Yasmin dalam bahaya, kecuali pada suatu waktu setelah -orang jahat- menculik Opa Satria. Dan ga jelas juga kenapa Opa Satria diculik, toh dia ga membahayakan organisasi orang jahat itu, cuma gara-gara si Megan aja yang kelewat narsis pengen skenario kejahatannya ditonton mantan dosennya. Yang mana gak kelihatan tuh kalau dia mengagumi mantan dosennya ini. Ga ada gitu pertunjukkan dimana dia berusaha menebak jalan pikirannya Satria/ berusaha tidak bisa ditebak Satria. Jadi ya ditonton gak ditonton Satria pun Megannya akan begitu. And Yasmin, gak ada penjelasan suka olahraga, tiba-tiba di akhir jadi jago tembak. Darimana ceritanyaaaa? Ini bagian dari penokohan yang banyak 'ujug-ujugnya'. Lumayan mengganggu kalau biasa nonton film pake mikir (kaya saya gitu). Jadi, dari segi cerita, Spy in Love kurang punya cerita yang kuat. Konsepnya mudah dipertanyakan, kok gini, kok gitu. Dan mungkin jawabannya cuma "Just enjoy the show...." ga akan memuaskan penanyanya. Kemudian, adegan perang-perangan. Rasanya, mengatur perang-perangan jadi mimpi semua anak lelaki ya? Harus gini, harus gitu, lari ke sini, jaga di situ, dan seterusnya. Di sini? Hufftt.... pergantian dengan stuntman dan stuntwoman-nya masih kerasa kasar. Ketahuan banget kapan digantinya. Adegan penangkapan/penculikannya juga gak berasa kaya dilakukan profesional, malah jadi kaya adegan penculikan dalam film Dono Kasino Indro, yang emang tujuannya buat lucu-lucuan (gampang dibebaskan). Beda banget sama adegan penyanderaan di Haji Backpacker, yang saya sampai pulang ke rumah masih deg deg an, ngebatin "di dunia aja yang bisa membuktikan kamu itu Islam atau engga bukan dari kartu identitasnya, tapi dari kemampuan kamu membaca kitab sucinya, gimana lagi nanti di akhirat?" Di film ini, saya kurang ngerasain -keseriusan- dalam adegan-adegan actionnya. Tiba-tiba kangen ama film yang punya cerita kuat, kaya "Tanah Surga, Katanya". Hiks, kemana Danial yang itu.... Yang kerasa ini masih Danial, ga ada adegan percintaan yang gak perlu (kissing, adegan ranjang). Padahal ya bisa aja diselipin kalau dia mau. Hehehe.... tapi ada ataupun ngga ada, ga mengubah jalan ceritanya. Tapi, semua film Danial itu settingnya bukan cuma di Indonesia ya? La Tahzan, sampai ke Jepang. Haji Backpacker, sembilan negara. Spy in Love, Indonesia dan Malaysia. Next, Melbourne Rewind, Indonesia - Australia. Huffttt.... mungkin sudah saatnya kembali ke Indonesia. Dan menulis sesuatu seperti "Tanah Surga, Katanya" lagi, eksplorasi kisah-kisah yang ada di Indonesia (kenapa elu yang request, Fa?) Entahlah. Karena, percaya aja ini belum jadi yang 'terbaik' dari Danial.
1 Comment
Kami sekeluarga (Suami, Saya, dan Anak-anak) SANGAT JARANG menonton film Indonesia. Itu lebih karena si suami sebenarnya, menurut dia Film Indonesia itu tidak layak ditonton di Bioskop, buang-buang uang, katanya. Muahahahaha.... gimana ya, pastinya ada harapan kan nonton di bioskop itu meninggalkan kesan, yang emang beda kalau nonton di bioskop dengan nonton di televisi. Jadi butuh usaha untuk meyakinkan dia, agar mau menonton film Indonesia. Ini adalah salah satu film, dimana saya berhasil membujuk dia untuk menonton. :)
Saya itu bukan ahli sinematografi, juga bukan sastrawan. Jadi, kalau nonton film, ya cuma nonton. Menikmati gambarnya, menikmati suaranya, dan berpikir akan ceritanya. Apakah pesan yang berusaha disampaikan oleh sang sutradara bisa saya terima dengan baik? Beda orang, beda tujuannya toh dalam menikmati film? Film ini bercerita tentang seorang lelaki muda, yang marah kepada Tuhan. Ah, kalau kamu tidak pernah berada dalam situasi itu, tentu film ini ga akan bicara apa-apa sama kamu. Pasti bingung kan, sombong amat marah sama Tuhan, dah punya modal apa buat mati? #nundukdalemdalem Sumber dari kemarahan ini adalah doa yang tidak terbalas. Mada, yang idealis, awalnya berpikir bahwa hidup ini linear. Berbuat baiklah kamu, maka orang akan berbuat baik kepadamu. Berdoalah kamu, maka hal-hal yang terbaik akan terjadi kepadamu. Kenyataannya? Itu ngga begitu. Kamu baik sama orang lain, orang yang kamu baikin belum tentu baik sama kamu. Tapi mungkin balasan dari kebaikan itu akan datang dari orang lain. Kamu berdoa setiap hari, belum tentu esok doamu akan dikabulkan. Tapi Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan keberadaannya dan menjawab doa-doamu. Setidaknya, secara garis besar, ini pesan yang rasanya ingin disampaikan Tuan Sutradara. Hehehehe.... Sebagai medium penyampai pesan berbentuk gambar dan suara, sepertinya pesan dalam film ini -sampai ke hati- Diceritakan, Mada kecewa kepada Tuhan, salah satunya karena pernikahannya yang gagal dengan cinta pertamanya, Sofia. Padahal, semuanya terasa begitu sempurna di awal. Namun, sang cinta pertamanya, meninggalkannya di hari pernikahan mereka. Wow, biasanya perempuan yang termehek-mehek gara-gara batal nikah, ternyata lelaki juga bisa begitu terluka ya? Mungkin karena sebelumnya jarang berinteraksi dengan wanita, dan dikisahkan dalam menjalani hubungan mereka ga pernah ada konflik yang berarti, sebuah hubungan yang -too good to be true- Mada nya jadi ga percaya itu terjadi. Tapi kenapa nyalahin Tuhan ya? Bingung saya. Salahin aja si cewek dan cari pacar baru :P Oke oke oke.... ini tidak sesederhana itu. Meski digambarkan bahwa salah satu pemicunya adalah batal nikah, ada hal lain yang dikisahkan pada film ini. Mada yang membenci ayahnya. Karena apa ya? Ayahnya kayanya baik-baik aja, ngajarin shalat, nemenin wudhu. Mendampingi pas nikah. Apakah saya terlewat sesuatu? Kenapa Mada begitu membenci Ayahnya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Pertanyaan yang ga terjawab. Punya Ayah yang begini kok dibenci. Aneh. Kebencian terhadap Ayah ini berbahaya. Entah kenapa waktu nonton film ini saya ingat si Adik. Satu malam kami duduk berdua, malam di waktu saya sedang berjuang akan sebuah ijin untuk menikah yang berujung kegagalan juga, wkwkwkwk. "Aku ngga percaya Tuhan itu ada!" Katanya. "Aku memutuskan untuk menjadi seseorang yang Atheis!" Ini tentu saja bukan sesuatu yang diharapkan didengar Kakak dari Adiknya. "Ada apa?" Tanya saya lagi. Persis seperti yang diucapkan Mada, "Bertahun-tahun aku berdoa, agar bisa hidup seperti anak normal lainnya (kami produk dari sebuah keluarga yang broken home), tapi apakah Tuhan mendengarkan? Di mana dia? Di mana? Sebaik apapun aku berusaha, yang kutemui kegagalan...." It was a hard moment for me, mengingat saya merasa dia lebih dewasa dari saya dalam banyak hal. Diantaranya kemampuan dia dalam memediasi konflik yang ga perlu antara saya dan Mami, perkara ijin menikah. Hahaha.... pedih hati saya, menghadapi kenyataan bahwa Adik kesayangan ini begitu hampa hatinya. Padahal, tadinya saya pikir hanya saya saja yang merasakan kekosongan dan kehampaan itu.... "Suatu saat, dengan caramu sendiri, kamu akan menemukan bukti keberadaan Tuhan. Dia akan menjawab, mendengarkan, dengan cara-Nya. Ini ga bisa dijelaskan, karena pada setiap orang perjalanannya akan berbeda...." saya cuma bisa ngomong begitu. Lah, si guweh juga bukan orang yang religius pan. Back to the movie, jadi sepanjang film, perasaan saya diacak-acak dalam memahami setiap pesan yang disampaikan. It's a journey to yourself. Mana pas lagi, hahaha, si kakak perempuan, di adik lelaki. Tapi ini saya yang saya lihat ada di sosok Mada. Kalaupun saya memaksa logika saya untuk menerima, kemarahan Mada pada ayahnya itu mungkin seperti kemarahan saya pada Chairil Anwar. Bagaimana saya mengidolakannya, mengagumi karya-karyanya, dan tiba-tiba di usia remaja baca buku biografinya mendapatkan fakta bahwa dia punya banyak pacar, muahahahaha. Saya kecewa dan patah hati, dan gak mau nikah sama penyair! Ekspektasi yang terlalu tinggi pada manusia, lupa bahwa bagaimanapun ia hanya manusia. Seseorang yang begitu hebat di matamu, tapi ternyata tak sempurna. (Tapi lagi-lagi, salah Ayahnya apa ya?) Dan Marbel. Ada aja ya orang kaya gini. Jatuh cinta sama orang yang sebenarnya gak perduli sama dia. Saya sebal lho sama karakter wanita yang begini, lemah bener, kaya gak punya harga diri. Tapi kenyataannya type begini emang dimana-mana ada. Sudah tahu dibohongi, sudah tahu dimanfaatkan, tapi sepertinya rasa sakit menjadi candu buat mereka. Jadi lupa bagaimana rasanya bahagia. Kalau ga sakit hati, hidupnya tak bermakna. Puk puk puk.... Chin up, girl.... sing: wajahmu juga gak jelek-jelek amat, banyak yang mau! Perjalanan Mada. Terlalu banyak kebetulan yang dipaksakan. Gak kerja tapi pulsanya ada terus buat nelpon/ terima telpon. Padahal kan pulsa mahal ya? Apalagi beda negara, roaming kakak. Kardus berisi manusia yang pas diangkat ga jebol, padahal kan kardusnya bolong. Kok orangnya ga ngegelosor. Ranselnya dirampok tapi passportnya ga hilang, -kalau urusan logika yang diabaikan, udah banyak yang bahas tentang ini, googling pakai review Haji Backpacker The Movie bakal ketemu- Tapi mungkin itu yang ingin disampaikan Tuan Sutradara, bahwa Allah punya cara sendiri untuk menentukan eksistensi-Nya, dan itu di luar apa yang bisa dicerna logika manusia (nyengir.... saya tuh kadang menggambarkan diri, bahwa jika saya itu murid nabi Khidir, saya sudah gagal bahkan di jam pertama. Mengingat saya ga sabaran dan selalu bertanya, kok gini sih, kok gitu sih!) Namun, ketidakwajaran ini menguap dengan mata saya yang dimanjakan oleh gambar-gambar yang indah dan luar biasa. Cara lain untuk menunjukkan bukti kehadiran Allah dengan memperlihatkan ciptaan-ciptaan-Nya. Satu jam pertama, mata saya dimanjakan oleh gambar-gambar yang menarik, sampaaaaaaiiii.... Jreng jreng. Balon udara! Langsung nyebut dalam hati, ini apaan, ngerusak moment. :'( Ini apa pesannya? Bahwa di Indonesia animasi masih sesuatu hal yang asing? Bukan profesi yang menarik untuk digeluti jadi ga ada yang bisa bikin lebih baik dari ini? Atau dikerjain di luar negeri juga gakpapa deh urusan animasinya. Rubuh. Beneran deh, moment gambar-gambar yang diambil dengan susah payah runtuh sama balon udara yang kurang dari semenit. Huhuhu, penonton kecewaaaa.... tapi kekecewaan ini ga bikin ninggalin tempat duduk sih, cuma menghela nafas aja. Tapi balon udara itu juga jadi titik balik, kekerasan hati Mada yang perlahan melunak. Berusaha mencari jalan untuk kembali mengenal Allah, yang pada periode sebelumnya digugat keberadaan-Nya. Sampai pada akhirnya, Mada mampu berdamai dengan dirinya sendiri, dengan kemarahannya, menerimanya sebagai sesuatu yang memang harus terjadi pada dirinya. Dan itu, bagian itu, saya merasa disindir. Bagian bahwa yang menentukan keislamanmu adalah seberapa kenal kamu dengan kitab sucimu. Bukan apa yang tertera pada kartu identitasmu. :') Tiba-tiba saya mikirin puisinya Taufik Ismail, Ketika Tangan Dan Kaki Berkata.... padahal ga dijadiin theme song. Ada lagi bagian-bagian lain saya merasa terlalu dipaksakan. Mungkin karena kalau diceritakan jadinya filmnya kepanjangan, sehingga kita dipaksa memahami simbol-simbol yang dihadirkan. Batasan waktu? Batasan budget? Entah kenapa perasaan saya bilang sih ada cerita lain yang hilang dari keseluruhan film ini, yang harusnya ada, tapi ditiadakan. Ada part yang incomplete, tapi ga bisa cerita juga sih, namanya juga perasaan. Wkwkwkwkwk.... Tapi terus terang, film ini buat saya sih lumayan berat mencerna simbol-simbol, dalam rangka memahami pesannya tadi. Bukan yang bisa ditonton sambil haha hihi sama teman sebaya. Dan buat yang ngga pernah merasakan 'pencarian', kayanya film ini bakalan -leads to nothing- tapi bagi yang sedang/selesai melakukan pencarian, ada ruang kosong di dalam hati yang terisi. Buat suami? Dia juga komentarnya sama, itu balon udara apaan sih? Dan juga catatan urutan logika yang berantakan.... Buat si Ganteng 1? Setidaknya dia bisa menyebutkan nama 9 negara lokasi pengambilan gambar. Sambil bertanya sesekali, itu orang mana, kok bahasanya begitu? Itu adat apa, itu orang agamanya apa? Dan lain-lain hal yang tidak bisa dia temui di Indonesia. Ganteng 2? Dia tertidur sejak masih di China. LOL. Buat saya? Pesan berhasil diterima. Good job, Danial Rifki. Hari Pertama Ganteng 2 Bicara
Sejak lahir, Ganteng 2 itu lucu banget. Rajin ketawa, jarang nangis, dan bulat. Dia suka makan, sendok nempel ke mulut langsung Hap. Nyam. Makanya tambah lama tambah bulat badannya. Pengalaman si Kakak yang sulit, pilih-pilih orang, membuat kami, orangtuanya lebih longgar sama Ganteng 2. Kita memberanikan diri mengizinkan banyak orang menggendongnya. Hasilnya, dia pun lebih friendly, dibandingkan si Kakak pas seusianya. Sebagian besar masa bayi Ganteng 2 hanya dilewatkan bersama saya, karena kami ganya berdua di Kendari. Dia terhitung cepat berjalan. Merayap, langsung berdiri dan jalan. Melewati tahapan merangkak. Dan, mumbling. Di awal hanya bisa berkata "Abubububu...." dan kata random lainnya. Ini berlangsung lamaaaaaaaaaaaa sekali. Setahun usianya. Dia hanya bisa megucapkan kata-kata pendek. Belum bisa merangkai kalimat. Oh well.... mungkin belum waktunya. Setengah tahun kemudian, masih sama. Dia jadi suka uring-uringan sendiri, berusaha mengungkapkan isi hatinya tapi tidak ada yang mengerti. Dia jadi pemarah! Tapi marahnya ga banting-banting barang atau gimana sih, hanya ngoceh ga jelas dan nangis. 1 tahun 8 bulan, kakak masuk playgroup. Di luar dugaan, dia ingin ikut. Padahal, di playgroupnya tidak ada kelas bayi/batita. Kami kebingungan, untung gurunya mau menerima. Mereka bilang, tak apa. Dia hanya akan bermain saja, tidak akan terlalu dilibatkan dalam kegiatan di kelas. Dibiarkan semaunya. Namun, dari yang harusnya seminggu dua kali dan hanya sejam, ini malah dia yang lebih rajin dari si Kakak dalam hal sekolah, dan gak mau pulang sebelum sekolah selesai dan semua pulang.... Dua minggu sekolah, tiba-tiba bicaranya lancar sekali. Dia bercerita apa saja, dan bertanya apa saja. Semua ditanyakan, semua ditunjuk, semua diceritakan. Saya dan ayahnya geleng-geleng kepala. Membayangkan deritanya menahan semua isi kepalanya dan tidak ada satupun yang mengerti. Dan sebuah misteri muncul, bagaimana cara gurunya mengajar hingga dia mau bicara? Kata gurunya, tidak ada cara khusus. Dia hanya mencoba bicara pada teman-temannya, dan akhirnya bisa sendiri. Lesson learned. Teman sebaya besar pengaruhnya dibandingkan orang tua atau guru bagi seorang anak. Semoga kamu gak salah pilih teman ya, Nak! Hari ketika si Ganteng 1 (akhirnya) berjalan
Baru-baru ini baca anjuran bahwa sebaiknya anak-anak ga lagi pakai baby walker. Karena setiap tahap memang harus dilewati, (merangkak, berjalan), proses yang harus terjadi. Saya ga inget apa Ganteng 1 itu pakai baby walker atau tidak, kayanya engga. Anak saya dua-duanya bukan anak yang betah di stroller ataupun baby walker. Anak gendongan semua :') Dulu itu bingung. Sudah setahun lebih Ganteng 1 tidak mau belajar jalan. Bukannya dia ga bisa jalan lho, umur 11 bulan dia tuh dah pernah jalan sendiri sejauh hampir 3 meter. Saya dan ayahnya langsung bengong dan pandang-pandangan. Tapi itu terjadi cuma sekali-kalinya, dan ga pernah dia ulangi! Untuk kecerdasan Ganteng 1 sama sekali tidak mengkhawatirkan. Umur 4 bulan dia sudah bisa main cilukba. I know. Ini akan terdengar tidak mungkin. Karena kami -orangtuanya- juga merasa ini ga mungkin. Sepulang kerja, seperti biasa, nemenin Ganteng 1, gantian ayahnya kan udah jagain dari pagi (FYI, waktu itu PNS kerjanya 7.30-14.00, dan kontrakan kami 5 menit aja dari kantor). Karena saya mau mandi, saya atur posisi Ganteng 1. Diapit guling kanan kiri, siap-siap mau disuruh bobo. Tapi dia ga mai bobo, diajaklah main cilukba. Karena dia suka ketawa-ketawa kalau diajak main. Maksudnya biar capek, terus bobo. Mainnya, pakai selimutnya. Selimut saya tutupkan ke wajahnya, terus buka dan bilang Baaaaa.... ketawanya bisa terkekeh-kekeh.... lalu, pas saya mundur menjauh, tiba-tiba, dia ngulangin itu lagi. Tarik selimut nutupin muka, terus buka sambil ketawa. Haaaaaaaa? Langsung narik ayahnya, "Did you see that?" Dan kita mikir, oke itu cuma kebetulan saja. Abaikan, abaikan, halusinasi. Dan diulang-ulang sama dia :D saya langsung nyari-nyari Kartu Menuju Sehat dan buku panduan Ibu dan Anak nyari itu wajar gak di umur segitu. Jawabannya: belun waktunya, tapi sejak itulah kami tahu bahwa dia cerdas! 😀 Makin besar, kecerdasanannya makin kentara. Tapi, dia itu gak mau jalan! Merangkak, kalau jalan pun harus ditatah. Plus, super hati-hati. Turunan 1 cm aja, dia akan duduk dulu, turunkan kakinya duluan, baru lanjut lagi (merangkaknya, atau jalan sambil ditatahnya). Jadinya ya dia ga pernah jatoh, hati-hati banget anaknya. Tapi kami bingung, bilakah ia hendak berjalan? Apalagi, waktu dia umur 1 tahun itu, di rahim saya sedang ada adiknya. Ganteng 1 memang lebih dulu bicara. 10 bulan dia sudah bicara. Jalannya yang lamaaa ajah. Lepas setahun kami khawatir, semua cara dicoba agar dia mau berjalan. Sampai pakai cara gak masuk akal, hasil nelpon aki, "ketrokeun ku jambe tuurna!" -ketuk dengan buah jambe lututnya- muahahaha, hasilnya, ya dia tetap gak mau jalan. Digendonglah kemana-mana. Usia kehamilan 8 bulan saya pulang ke Jakarta. Ganteng 1 sudah 16 bulan, dan belum bisa jalan. Duh siksaan banget deh ketemu keluarga besar di Jakarta. Rata-rata menanyakan kenapa anak saya belum bisa jalan. Padahal saya juga ga tahu. :'( Dia ointer lho, tapi ga ada yang nanya pinternya, nanyanya cuma kok masih digendong. Huaaaa.... tiap malem bahas strategi apa lagi sama si ayah, supaya dia mau jalan. Dua minggu di Jakarta, Jida nya pindah rumah. Beres pindahan, kita diundang mau syukuran. Datang duluan, rumah masi sepi. Dan ada karpet di gelar di ruang tengah. Saya sama si ayah duduk kaya orang musuhan. Jauh-jauhan, lupa kenapa. Ganteng 1 dipangku ayahnya. Ayahnya bercerita, "Di perut Ibu, ada adik. Sebentar lagi lahir! Kakak masih belum mau jalan juga kah? Nanti gak malu sama adik?" Dia hanya memandang kami. Saya pun mengembangkan tangan, saya pikir dia mau nangis, ditegur ayahnya. Tahu-tahu, ga ada angin, ga ada hujan, dia berdiri, terus jalan ke arah saya. Lagi-lagi kami bengong. Memandang tak percaya. Dan kejadian cilukba itu berulang lagi. Kami meminta dia berjalan bolak-balik, dari ayahnya ke saya, saya ke ayahnya. Dan dia melakukannya dengan sukarela. Saya pun memeluknya haru. "Akhirnya kamu mau jalan juga, Nak!" Malamnya, chit chat lagi dengan ayahnya, "Sepertinya memang dia sengaja menunggu adiknya, dan memang takut malu sama adiknya!" Kata si ayah. Di hari yang sama, kami tahu bahwa si kakak selain cerdas, berhati-hati, juga keras kepala kalau sudah ada maunya. :* :* 😚 |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|