26 September diperingati sebagai Hari Statistik Nasional. Daripada ngeributin penting engganya itu hari diperingati, dan apa manfaatnya, mendingan bahas statistiknya aja yuk. :) Di seminar HAISSTIS kemarin, temanya adalah Statistik dan Politik: Pengelolaan Opini Publik dengan Memanfaatkan Statistik. Salah satu cerita dibelakang tema ini adalah keinginan Dewan Pembina HAISSTIS, Bapak Hamonangan Ritonga, agar kita tidak terjebak dalam politisasi statistik. Kaya apa sih, Fa, politisasi statistik itu? Ini contoh nyata banget, issue paling hangat sebelum 26 September kemarin. Relevan buat dibahas? Hehe, terserah. :) Tapi kita harus sepakat dulu, ini tentang angkanya ya. Jangan diputer ke masalah pro atau kontra. Saya tertarik dengan satu kalimat yang sering banget dipakai buat justifikasi bobroknya kualitas pimpinan hasil pilkada langsung. Kalimat yang dipakai adalah "60% kepala daerah bermasalah secara hukum." Tapi, yang pakai statement ini, kalau saya tanya datanya dari mana, ya ngga bisa nunjukin juga. Jadilah, saya telusuri ke belakang. Bagaimana sejarahnya. :) Alkisah, Februari 2014 Kemendagri merilis suatu fakta, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat hingga Januari 2014 sebanyak 318 orang dari total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut dengan kasus korupsi. Untuk itu harus ada perbaikan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diadakan pada 2015 atau setelah pelaksanaan pemilihan umum legislatif 9 April 2014 serta pemilihan presiden 9 Juli 2014. Berita tentang ini bisa dilihat di sini, persennya datangnya dari bagian kalimat ini: Terkait dengan sanksi bagi partai politik (parpol) yang mengusung seorang kepala daerah, dia menegaskan, hal tersebut sama sekali tidak memiliki hubungan. ”Itu tidak ada urusan sama parpol. Kepala daerahnya kan terpilih dan ia melakukan tindak pidana korupsi, itu menjadi tanggung jawab dia. Kenapa parpol dibawa-bawa? Artinya citra parpol bisa turun di mata masyarakat,” tandasnya. Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, sekitar 70 persen kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi. Saya coba ganti keyword googlingnya, dari 318 kepala daerah bermasalah, menjadi 60% kepala daerah bermasalah. Ini yang saya dapat, lengkapnya akses di sini PPP, ujarnya, sudah lama mengusulkan untuk melakukan peninjauan ulang sistem pilkada langsung. Sedangkan yang menyangkut pembahasan RUU Pilkada, dia menegaskan bahwa pilihan politik PPP telah ditentukan oleh hasil rekomendasi Mukernas II PPP di Medan pada tahun 2012. Setidaknya PPP memberikan 6 catatan soal kelemahan pelaksanaan pilkada langsung. atau yang ini Kendati demikian, Kemendagri siap menerima apa pun hasil yang diputuskan para legislator Senayan. "Nanti RUU ini akan diputuskan di paripurna DPR, dan kita siap apa pun hasilnya," ujar Djohermansyah. Dari semua angka persentase yang disajikan itu, ada beberapa pertanyaan saya. :) Pertama, terkait temuan Denny Indrayana. Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, sekitar 70 persen kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi. Ada angka 291, terhadap berapanya tidak ada, dan seriesnya sejak 2004 sampai Februari 2013. 2004, pilkada langsung belum diberlakukan. Kedua, terkait apa yang diklaim sebagai catatan kelemahan pilkada langsung oleh PPP. Kedua, pelaksanaan pilkada langsung telah mengantarkan 60% kepala daerah bermasalah secara hukum. Dugaan saya ini membagi 314 yang dilansir Kemendagri, dengan 524 juga angka yang dilansir Kemendagri. Hanya saja, mengabaikan kata "SEJAK", dengan kata lain itu adalah periode 2005 hingga akhir Januari 2014. Lebih lengkapnya, pimpinan daerah bermasalah sejak 2005 hingga akhir Januari 2014. Sayangnya, saya gak lihat data Kemendagri-nya. Karena kalau iya, saya pengen nanya, mengingat 2005 belum semua daerah melaksanakan pilkada langsung, itu sudah dipilah yang masih dipilih DPRD atau belum? Tapi, lupakan sajalah, toh Kemendagri tidak merilis persennya. Hanya pembacanya saja yang salah menafsirkan hitung-hitungannya. Ketiga, saya penasaran ada berapa pilkada langsung sih sejak 2005 itu? Tadinya saya mencari di sini, tapi datanya gak lengkap. Terus nemu deh, abstraksi disertasi Gamawan Fauzi. Ada yang upload di sini hehehe.... Pemilihan kepala daerah langsung di Indonesia dimulai sejak bulan juni tahun 2005, sebanyak 528 daerah telah melaksanakan pilkada langsung dan berlangsung sebanyak 1.027 kali. .... Perhatian, itu penulisan Juni bukan saya yang salah ketik ya, memang capture-annya demikian.
Jadi, karena itu disertasi, tentunya berdasarkan fakta. Maka, berdasarkan uraian di atas, seharusnya penghitungan persentasenya adalah: Asumsikan 318 itu sudah dipilah hanya yang pilkada langsung, yang dipilih oleh DPRD sudah dikeluarkan. Persentase pemimpin bermasalah pasca era pilkada langsung = 318 / (1027*2) * 100%. Kenapa kali dua, karena konsepnya Kemendagri sendiri yang bilang, itu meliputi pemimpin atau wakilnya. Dan inipun masih berupa taksiran, harusnya dipilah lagi, 1.027 itu harusnya dikurangi jumlah yang incumbent. (Semoga gak ada yang bermasalah dua kali lah ya.) Nah, apakah ada yang sepakat dengan saya bahwa 60% itu adalah salah satu contoh dari politisasi statistik?
1 Comment
Catatan seminar yang baik, ya harusnya hanya catatan apa saja yang terjadi seputar seminarnya. Tapi kali ini, saya mau cerita komplit!
Seminar ini, termasuk rangkaian seminar yang disponsori BPS, dalam rangka menyambut Hari Statistik Nasional. Temanya, ya yang jadi judul artikel ini. Siapa sangka bahwa setelah topik seminar fix, Sestama ternyata keberatan dengan temanya. Nah, lho! Menurut beliau, “Ini apa ya nggak kebalik? Yang di IPB bicara Peran Statistik Untuk Pembangunan, nah yang ini (STIS – Sekolah Kedinasan Milik BPS), kok ngomongin politik?” Begitu kira-kira statement beliau yang disampaikan via humas. Masilh untung beliau hanya protes, nggak minta ganti topik, Karena keberatan ini kedengerannya H-2! (Okay, saya deg-degan luaaaaarrr biasa). Kenapa sih Fa, ini temanya?!? Nggak ada yang lain, apa? Lho, ini hasil pilihan. Pertimbangannya adalah, banyaknya alumni STIS yang pada kesempatan Quick Count yang lalu, di lingkungan rumahnya, mendadak menjadi nara sumber dadakan, utamanya tentang Quick Count dan bagaimana menerjemahkan hasil Quick Count. Iya nggak? Secara, udah dianggap ‘suhu’ masalah Statistik gitu lho. J Jadi, diharapkan lewat seminar ini, nanti-nantinya kita bisa memberikan penjelasan yang cukup baik tentang ‘Mahluk seperti apakah Quick Count itu’, misalnya. Dan lagi, mengutip pernyataan Sosiolog Ignas Kelden di sini, “Seseorang menjadi ilmuwan karena dia diterima dan diakui dalam suatu komunitas dari rekan-rekan yang bekerja dalam bidang ilmu yang sama. Legitimasi seorang ilmuwan tidak diberikan oleh khalayak ramai, tetapi oleh rekan-rekan sejawatnya berdasarkan pencapaian dalam bidang ilmu yang digeluti. Pada titik inilah terletak perbedaan hakiki antara legitimasi politik dan legitimasi ilmiah”, adakah yang lebih tepat, selain dari membahas kegiatan Statistik di hadapan para ‘Ahli’ Statistik? Maka dengan seminar ini, diharapkan dapat menambah wawasan bagi alumni HAISSTIS sebagai statistisi di masyarakat, tentang bagaimana praktek penelitian sosial di dunia politik. Baik itu dari segi metodologinya (akan dibahas oleh Prof. Ir. Asep Syaefuddin, M.Sc – Dosen Departemen Statistika IPB; Rektor dari Universitas Trilogi, Jakarta; dan Wakil Ketua Ikatan Perstatistikan Indonesia - ISI), maupun prakteknya (akan disampaikan oleh Sjaiful Mujani, MA, Phd. – Pendiri Lembaga Survei Indonesia/LSI dan Sjaiful Mujani Research Consulting/SMRC). Melalui diskusi dengan kedua tokoh ini, dengan dimoderatori Dr. Hamonangan Ritonga, M.Sc (Ketua STIS; Dewan Penasihat HAISSTIS; dan Ketua Bidang Organisasi ISI), diharapkan alumni AIS/STIS yang tergabung dalam HAISSTIS tidak terjebak di dalam politisasi statistik. Yap, cukup sudah pengantarnya. Sekarang, kita lanjut cerita ke seminarnya. Acara dimulai tepat jadwal, pukul 13.30. Ah, tentu saja saya sungguh harap-harap cemas. Apa pasal? Pak Asep sampai jam 11.30 masih menjadi pembicara di IPB (meski wajah senyum, hati mah deg-degan, cuy), dan Pak Saiful Mujani, entah kenapa saya sempat memiliki kesan, kok kayanya dia setengah hati datang ke acara ini (lewat email pernah mengatakan bahwa kemungkinan asistennya yang akan datang menggantikan). Paginya saya hubungi, Alhamdulillah beliau berkenan hadir. Baru bisa merasa lega, ketika kedua pembicara, sudah duduk manis di ruang tunggu VIP-nya (Fa, ini kita lagi ngomongin STIS kan? Ada Fa, ruang tunggu VIP? Jadi ya teman-teman, STIS sekarang, jauuuuuuuuuuuuuh beda dengan jaman kita dulu –jaman elu kali, Fa, bukan gw-! Yang sama cuma Nyai, jadi yang masih punya utang sama Nyai, cepetan lunasin!). Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya, Dr. Adi Lumaksono, MA (Ketua HAISSTIS; Deputi Statistik Produksi BPS; dan Ketua ISI), membuka acara dengan menyampaikan sejarah singkat STIS dan HAISSTIS. Beliau juga menyampaikan sederetan lulusan kebanggaan STIS, mulai dari Dr. Sugito Suwito, alumni angkatan I sekaligus alumni pertama yang menjadi Kepala BPS (jaman saya daftar STIS, Kepala BPS-nya masih beliau); Dr. Haryono Suyono, alumni yang menjadi Menkokesra pada tahun 1998-1999 (Kabinet Reformasi Pembangunan); Prof. Dr. Johanes Supranto, terkenal dengan buku Statistik I dan Statistik II nya, selain bukunya Anto Dajan, kemungkinan buku beliau lah yang selalu dijadikan referensi ketika belajar Statistik; dan Prof. Dr. Adler Haymans Manurung, SH, B.St, ahli keuangan yang juga sudah merilis banyak buku ekonomi dan keuangan. Selanjutnya, Pak Adi juga bercerita tentang ‘pasangan emas’ yang dimiliki BPS. Tentunya, kalian yang di STIS-nya sebelum eranya saya, gak asing lagi dengan nama-nama Sukmadi Bolo + Sri Budianti, Pajung Surbakti + Soedarti. Hanya saja, saya baru tahu bahwa mereka merupakan salah satu alumni AIS yang pada tahun 1970-an dapat melanjutkan S2 Statistika langsung ke IPB. (Penting ya, Fa? Eh, satu almamater tauuuuuu). Kemudian, sambutan dari Dr. Suryamin (Kepala BPS). Pak Suryamin mengatakan bahwa tahun ini, untuk pertamakalinya HSN diisi dengan serangkaian seminar. Tentu saja dengan harapan meningkatnya peran serta masyarakat dalam statistik. Penghasil data, pengguna data, pengamat data, semua dilibatkan dalam kegiatan seminar, baik yang diselenggarakan oleh ISI, IPB, maupun HAISSTIS ini. “Di IPB tadi, Bayu Krisnamurti berkata, saat ini statistik dirasakan begitu powerfull, sehingga bisa merubah sesuatu. Ketika sudah dilansir oleh BPS, yang lain seakan nggak ada yang benar. Nah, gimana kalau datanya nggak benar?” lanjut Pak Suryamin mengutip salah satu pembicara di seminar statistika IPB yang berlangsung pagi harinya. (Dalam hati saya berkata, habis kena sindir kah, Pak? :D) Tak lupa, Pak Suryamin menutupnya dengan harapannya terhadap alumni STIS, para statistisi, agar tetap menjaga core values BPS, Professional, Integritas, dan Amanah. Kesempatan memberikan materi pertama adalah Pak Asep. Sebagai mahasiswanya, saya sudah cukup mengenal gaya mengajar beliau. Dan tentu saja, ketika kata kunci yang selalu diucapkan Pak Asep -dimainkan- keluar, saya otomatis teringat ruang kelas di Baranang Siang dan disertasi yang nggak selesai-selesai (eh, kok jadi curcol). Okay, sebelum saya lanjutkan cerita, sebaiknya materinya di download dulu, di sini dan di sini. Kisah dimulai dengan suatu masa ketika si Bapak menimba ilmu di Kanada, saat itu, ketika hendak belajar teori sampling, guru besarnya selalu meluangkan waktu sejenak untuk mengajak merenung bersama. “Renungkanlah! Bahwa kita akan menggunakan statistika untuk mencari kebenaran!” Dan beberapa waktu kemudian, Pak Asep masih nggak ngerti, mengapa ada orang yang menulis tentang “How to lie with Statistics”. Sampai kemudian beliau mendapatkan jawabannya, “Statistics worse than damn lie, bila tidak dipergunakan secara benar”, lanjutnya. Penggunaan statistik dalam politik salah satunya dilakukan oleh Gallup di Amerika. Menurut Pak Asep, datanya si Gallup ini tingkat kejujurannya tinggi. Bedanya, kegiatan semacam Quick Count yang dilakukan Gallup, hasilnya bukan untuk menentukan siapa yang menang, tetapi diberikan kepada partai-partai untuk dianalisis (Okay, ini bedanya sama di Indonesia. Di Indonesia, menang versi Quick Count sudah cukup untuk bikin syukuran, hehehehe). “Quick Count itu mudah, itu kan aplikasi dari teori sampling biasa!” kata Pak Asep. (dan kemudian sederet istilah statistik meluncur tanpa hambatan dari mulutnya Pak Asep, berdasarkan pengamatan saya yang manggut-manggut cuma Bu Sri Budianti aja, secara beliau pakar Sampling) “Sampling, either with replacement or without replacement is an unbiased estimate. Kejujuran dijawab dengan randomness dan representativeness. Kalau gak random, ya ada kemungkinan bias. Karena random itu jaminan unbiased-nya.” Jelas Pak Asep lagi. “Kalau untuk tahu berapanya pakai Quick Count, untuk mendapatkan informasi mengapanya digunakan Exit Poll. Walaupun Exit Poll ini dilakukan oleh pihak yang netral, yang harusnya mengurangi bias interviewer dan bias responden, Exit Poll could be bias!” Tambahnya lagi. “Ada satu kesalahpahaman besar tentang Margin of Error. Terkait dengan 95% confidence interval, itu gak ada hubungannya sama sekali dengan 95% harus percaya.” Pak Asep juga menceritakan tentang salah satu lembaga survey yang menurut beliau langsung ketahuan salahnya ketika menjelaskan MoE dan n yang digunakan. Menurut Pak Asep, sebaiknya Quick Count itu dijadikan alat bantu untuk modernisasi partai, bukan untuk alat kontrol. Jika Quick Count adalah suatu penduga, maka parameternya adalah Real Count dari KPU. Tetapi, berkembangnya konflik berikutnya menjadikan Quick Count sebagai alat kontrol KPU. Intinya, tidak pernah terjadi hasil polling survey meleset dari kebenaran. Bahkan, Burhanudin Murtadi berkata, “Jika Quick Count tidak sama dengan Real Count, maka KPU yang salah!” (wah, ini pasti banyak yang nanya entar, batin saya). Sessi selanjutnya adalah sessi dimana Pak Sjaiful menceritakan pengalamannya di patenelitian politik. Namun, dia membukanya dengan sebuah curhatan yang menjadi penjelasan buat saya, kok telepon saya, email saya, seringnya dicuekin. Hehehehe…. “Sebetulnya saya malas datang ke acara seperti ini, biasanya saya wakilkan pada yang lebih muda! Tapi, kali ini saya memutuskan untuk harus hadir.” Terus terang, saya kembali berpikir tentang ucapan Pak Ignas, kalau bukan di sini, adakah tempat yang lebih tepat untuk memperdebatkan ini? “Ilmu politik di Indonesia agak kurang mengapresiasi statistik, baru sejak 99, ketika kerangka makronya kembali ke demokrasi (reformasi). Di dalam demokrasi ini, ada kebebasan untuk berpendapat.” Menurut Pak Sjaiful, sebelum era reformasi, tidak mungkin bertanya dari rumah ke rumah tentang persepsi/preferensi politik seseorang. Itu adalah hal yang tabu untuk dilakukan. Bidang keahlian Pak Sjaiful adalah behavioural information, revolusi paradigma, perilaku politik berbasiskan psikologi, bidang ilmu yang berkembang sejak 1950. Dalam penggunaan istilah, belum banyak yang menyatakan politik adalah science (political sciences), anggapannya masih ke political studies. Ini adalah awal masuknya statistik ke dunia politik. Pada saat 98, di mana Indonesia jatuh, ada krismon, keadaan sangat terbuka, semua orang bicara, itu adalah dasar sosial makro untuk studi politik kuantitatif. Studi tentang opini publik sangat memerlukan bantuan statistik. Jika statistik dibantu oleh IT, politik dibantu oleh statistik. Bersama Lembaga Survey Indonesia, ada dua kegiatan yang biasa dilakukan. Survey Opini Publik, ini yang paling rumit. Harus mewawancarai tentang opini. Ini merupakan survey yang subject matternya kontroversial, tidak ada yang netral. Masyarakat berkelompok dengan kepentingan masing-masing. Selanjutnya adalah Quick Count, mengikuti prosedur keilmuan, sehingga probabilitas untuk salahnya kecil sekali. “Tetapi saya ada gak setujunya nih, dengan Prof. Asep. Tadi dikatakan bahwa parameternya adalah Real Count KPU. Secara ilmiah, tidak ada jaminan data KPU itu benar!” sanggah Pak Sjaiful terhadap pernyataan Pak Asep. “Kalau hasil survey Quick Count kami kemudian mendekati hasil KPU, kami tidak merasa senang, juga tidak senang. Bagi kami itulah hasilnya. Segala macam perbedaan, harusnya diselesaikan dengan kaidah-kaidah keilmuan, bukan kaidah lainnya. Karenanya, metodologi kami lebih terbuka untuk diteliti.” Kegiatan Quick Count dipopulerkan oleh National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institute (IRI). Istilahnya sendiri sebenarnya adalah Parallel Vote Tabulation. Istilah Quick Count sendiri dipopulerkan Desi Anwar, pada Pilpres 2004. Kegiatan ini terinspirasi dari Pemilu Filipina yang ketika itu memenangkan Marcos. Tidak percaya akan ini, relawan gereja mengumpulkan data di semua tps sebagai data tandingan dari KPU-nya Filipina. Ternyata, hasil relawan gereja ini menunjukkan Aquino lah pemenang pemilu sebenarnya. Ketika kemudian muncul Negara-negara demokrasi baru di Eropa Timur, quick count dilakukan untuk menjaga suara, agar tidak terjadi kebocoran atau manipulasi di jalan. Sebagai penutup diskusi, Pak Hamonangan membahas, jika menurut Pak Asep yang terpenting adalah etika dan kejujuran, Pak Sjaiful menegaskan bahwa survey opini publik mengandung non sampling error. Sessi pertanyaan. Kesempatan pertama diberikan kepada Bapak dari Unisba (Si Bapak teh pede pisan saya kenal namanya, nyebut nama meuni pelan gak kedengeran). Seperti dugaan saya sebelumnya, pertanyaannya, terkait kepercayaan terhadap hasil survey, ketika kita membuat confidence interval 95%, artinya ada sisa 5% yang mungkin salah. Jadi, keyakinan lembaga survey mengenai surveynya, adalah benar menurut survey. Contohnya, meledaknya pesawat Challenger yang dikatakan hanya memiliki peluang 0,0000 sekian persen untuk meledak. Selanjutnya, pertanyaan dari Pak Setia Pramana (yang ini pamali kalo gak kenal, dosbing ini mah). Statistik di lembaga survey itu, tujuannya untuk pengelolaan opini publik, atau penggiringan opini publik? Terkait dengan kenyataan masyarakat Indonesia,adakah upaya untuk memasyarakatkan statistik, agar masyarakat tidak tersesat? Apakah ada kode etik statistisi? Apakah ada disclaimer untuk setiap kegiatan, siapa yang membiayainya, sehingga kita bisa memikirkan biasnya. Pertanyaan Ifa, dari STIS, bagaimana menjelaskan confidence interval 95% itu ke masyarakat agar lebih mudah dimengerti masyarakat. Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Pak Asep menjelaskan CI 95% adalah percobaan berulang-ulang maka penduga akan berada pada interval ini, 5% itu adalah kemungkinan keluar dari populasi. Sekali lagi beliau menegaskan bahwa selang kepercayaan tidak sama dengan percaya. Beliau mengingatkan bahwa bicara statistik adalah bicara tentang kultur akademik. Sayangnya, kultur kita adalah kultur politis. Pemerintah ikut bertanggungjawab akan hal ini, karena rendahnya alokasi anggaran untuk riset. Bahkan jauh tertinggal dari Malaysia yang dana risetnya mencapai 2,5% GDP-nya. Fakta lainnya, dari sekitar 3000 program studi di PTN/PTS di Indonesia, program Statistika hanya ada 28 saja. Tentu saja kultur knowledge base society tidak tercapai, ditambah lagi, para statistisi suka untuk menggunakan istilah-istilah rumit, seakan itu menyelesaikan permasalahan dunia. Sedangkan Pak Sjaiful menambahkan, kaidah yang disepakati adalah kaidah statistik. Tentang KPU yang salah, kita tidak tahu bagaimana KPU bekerja (beyond our control), tetapi kita mulai percaya dengan apa yang di bawah kendali kita. Selanjutnya, challenge. Diadu, dengan metode kita seperti ini benar atau tidak. Mengenai penggiringan opini public, masyarakat sekarang begitu terbuka, untuk digiring maupun tidak. Sebagai professional, saya memiliki ilmu, terserah orang apakah akan mempercayai saya atau tidak. Dan tentang disclaimer, aturan PERSEPI mengharuskan hasil yang dirilis ke public disebutkan sumber dananya. Tapi, inipun tak banyak yang melakukan. Sessi kedua pertanyaan dimulai Pak Yulianto. Pertama, terkait dengan hasil Quick Count terakhir yang berbeda secara signifikan. Ini menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap statistik. Apa sanksi yang diberikan kepada lembaga survey yang out of procedure? Kedua, permohonan klarifikasi pada Pak Sjaiful tentang bagi-bagi uang yang dilakukannya. Selanjutnya pertanyaan dari Pak Windhiarso, politisi kita menggunakan ukuran Statistik sebagai indikator-indikator. Bagaimana pandangan terhadap politisi yang menggunakan ini? Pak Sjaiful menjelaskan bahwa kegiatan yang dimaksud bagi-bagi uang itu adalah pembagian biaya transport pemasangan spanduk ajakan untuk tidak memilih calon tertentu. Dari sisi epistimologi, peneliti haruslah netral. Tetapi dari sisi moral – aksiologi, melihat dari tujuan untuk apa ilmu itu, saya tidak boleh netral. Sebagai warganegara punya hak politik juga, justru menurutnya, ilmuwan yang tidak jelas sikapnya adalah ilmuwan yang tidak bermoral. Tambahan Pak Asep yang juga menutup sessi tanya jawab ini, bahwa causality dalam social sciences tidak serobust dalam ilmu fisika. Seminar berakhir jam 16.15. Kalau masih ada keping yang hilang dari catatan ini, silahkan ditambahkan. Kalau ada yang salah, maafin, mungkin saya salah catat. Kalau mau konfirmasi ke pembicara, kontak person bisa didapatkan dengan menghubungi saya yaa.... kirim email aja dulu, OK? Selamat Hari Statistik Nasional, pemirsa! Menyambut Hari Statistika Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) menggandeng beberapa organisasi statistik untuk menyelenggarakan seminar statistik. Tema HSN 2014 ini adalah “Dengan Semangat HSN Kita Tumbuhkembangkan Peran Serta Masyarakat Dalam Pembangunan Statistik”.
Pada 19 September 2014, Ikatan Statistika Indonesia (ISI) dan BPS menyelenggarakan seminar dengan tema “Peningkatan Peran Serta Masyarakat Untuk Mendukung dan Mengawal Kebijakan Pemerintahan Dalam Bidang Kedaulatan Pangan, Energi, dan Restorasi Ekonomi Maritim Indonesia”. Tema yang menjadi issue hangat, menyambut kabinet yang akan datang. Seminar dibuka dengan sambutan Kepala Badan Pusat Statistik, Suryamin. “Hari Statistik Nasional bukan hanya milik Badan Pusat Statistik”, ujar beliau. Bukan tanpa sebab, sampai hari ini pun masih ada yang beranggapan bahwa HSN adalah –Hari Ulang Tahun BPS-. Karena ini juga adalah acara ISI, asosiasi profesi bagi statistisi, Suryamin berpesan agar kegiatan statistik seperti Hitung Cepat, menjadi perhatian dari ISI. Selain itu, tantangan bagi ISI apakah dapat memunculkan indikator baru yang bisa digunakan untuk evaluasi kebijakan. Memasuki acara seminar, yaitu diskusi panel yang dimoderatori oleh Leonard Samosir, Adi Lumaksono, Ketua ISI sekaligus Deputi Bidang Statistik Produksi BPS mengawalinya dengan memaparkan kontribusi apa yang sudah dilakukan BPS dalam rangka kedaulatan pangan. Adi menjelaskan bahwa salah satu kegiatan besar BPS yang baru saja berlangsung, Sensus Pertanian 2013, merupakan salah satu upaya penyediaan data terkait produksi pertanian Indonesia. Materi dapat diakses di sini. Selanjutnya, tokoh yang hangat diperbincangkan di dunia pertanian, Masril Koto. Secara singkat dia menjelaskan salah satu yang menghambat majunya pertanian kita adalah karena pelakunya yang terus berkurang. “Tanah tidak berkembang, orang makin berkurang, sehingga upaya kami dalam menyejahterakan petani adalah dengan menambah mata pencahariannya”, ujarnya. Berbagai cara dilakukan, mulai dari beternak ikan di belakang rumah, maupun menjadikan pematang sawah media untuk menanam buncis. Ada banyak cerita menarik yang disampaikan Masril. Diantaranya kekecewaannya terhadap salahsatu Bank Pemerintah yang dianggap menyulitkan petani untuk meminjam karena mensyaratkan adanya jaminan. Inilah yang menjadi pemicunya untuk mendirikan Bank Petani, dengan produk seperti Bank pada umumnya, ada simpanan, ada pinjaman. Masril berupaya agar anak-anak muda mau perduli dengan nasib petani, dengan strategi menjadikan para petani sebagai pemegang saham di Bank Petani, dan merekrut anak-anak petani sebagai pengelola dari Bank Petani. Sampai sekarang, Masril berhasil bekerja sama dengan 580 kelompok tani, dengan kurang lebih 1500 pengelola. Berbagai inovasi dilakukan Masril dengan Bank Petani ini, diantaranya dengan nama produk simpanan yang sesuai dengan kebutuhan petani, misalnya: Tabungan Ibu Hamil, Tabungan Pendidikan, Tabungan Sosial, Tabungan Hari Raya. Dua produk terbarunya adalah Tabungan Niat Naik Haji, dan Tabungan Kepemilikan Ipad Untuk Anak Petani. Terkait produk Tabungan Kepemilikan Ipad Untuk Anak Petani, Masril menyimpan cita-cita, kelak anak petani tidak perlu membawa buku lagi ke sekolah. Cukup Ipad, di mana didalamnya tersimpan buku elektronik. Terhadap pertanyaan, apakah ada sanksi bagi petani yang tidak membayar pinjamannya, Masril menjawab, “Kami hanya menjalankan sanksi sosial, cukup diumumkan di Mesjid, yang tidak membayar pinjaman adalah si A, istrinya bernama si B, anaknya C dan D”. Menurutnya, cara itu cukup efektif untuk membuat petani tertib dalam membayar pinjaman. Bagi Masril, untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi petani, caranya haruslah dengan menghabiskan waktu dengan petani. Meluangkan waktu untuk mengamati kesehariannya, berdiskusi dengan istri petani, anak petani. Perlu kira-kira dua hari untuk mendapatkan gambaran lengkap permasalahan petani. Masril menutup ceritanya dengan menyampaikan harapannya pada pemerintahan yang akan datang, “Biarkanlah kami bekerja. Jangan terlalu didikte dari Jakarta. Tanah yang cocok untuk padi, janganlah dipaksa untuk menanam jagung hybrida!” Tulisan Masril tentang Pemberdayaan Masyarakat dapat diakses di sini. Setelah mendengarkan cerita menarik dari Masril Koto, selanjutnya adalah paparan mengenai kondisi terkini ketahanan energi Indonesia. Disampaikan oleh Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional. Sebuah sindiran tajam dilemparkan Tumiran, “Statistik sangat penting untuk referensi baseline kita, kalau saja data itu benar!”. Dia menambahkan bahwa data BPS seringkali tidak sama dengan data intelijen internasional, jika terkait dengan energi. “Bangsa Indonesia belum cerdas dalam mengelola sumber energi”, lanjut Tumiran. Beliau berkata, tidak ada Negara seperti Indonesia. Bukan merupakan Negara penghasil batubara terbesar, juga bukan Negara penghasil gas terbesar, namun mampu mencatatkan diri sebagai Negara eksportir batubara dan gas No. 1 di dunia. Menurut Tumiran, faktanya sejak 2002 Indonesia sudah melakukan import BBM. Jika ada yang mengatakan Indonesia adalah Negara penghasil minyak yang cukup besar, yang benar adalah Negara dengan potensi penghasil minyak. Potensi, karena masih perlu dilakukan eksplorasi lebih lanjut, apakah betul daerah itu mampu menghasilkan minyak, gas, ataupun batubara. Terakhir, kita mengeluarkan 450 Triliun untuk import BBM. Dari sisi total energy yang diekspor dibandingkan yang diimpor, terjadi surplus energi. Tetapi dari sisi nominalnya, terjadi penyusutan. Bagaimana cara mengerem ini? Menurutnya, dengan konsep Added Value. Perbaikan infrastruktur, dan adanya pemikiran dari kepala daerah untuk memenuhi kebutuhan energy rakyatnya secara mandiri. Selain itu, menurut Tumiran, pengurangan subsidi BBM menjadi hal yang perlu dilakukan. “Kita kurangi 200 triliun, namun yang harus dilakukan dengan alokasi ini adalah perbaikan infrastruktur, membangun kilang minyak baru, meningkatkan kapasitas listrik, dan membangun perumahan bagi pekerja”, lanjutnya. Lebih lengkap dapat diakses di sini. Diskusi dilanjutkan dengan paparan dari Nico Harijanto, ketua PERSEPI. Nico menceritakan bahwa ke depannya, evaluasi kebijakan pemerintah berbasiskan data empirik akan semakin popular untuk dilakukan. Pemerintahan Jokowi-JK menurutnya akan menggunakan data sebagai dasar pengambilan keputusan. Maka penelitian mengenai evaluasi kinerja pemerintahan, feedback program yang akan dijalankan, hingga evaluasi terhadap rencana kerja yang akan dijalankan akan semakin sering dilakukan. Selain penelitian opini publik yang dilakukan dengan metode wawancara, saat ini penelitian opini publik sudah mulai mengarah ke penelitian sosial media, kita berhadapan dengan big data. Semakin banyak lembaga yang melakukan kajian opini publik, karenanya menurut Nico, perlu ada semacam standarisasi dan sertifikasi, supaya jelas basic kompetensi apa yang harus dimiliki oleh peneliti. Paparan Nico bisa diakses di sini. Menutup paparan Nico, Leonard Samosir memberikan pernyataan, terkait dengan keterbukaan informasi, sebagai pemilik informasi, tidak semua informasi perlu untuk disampaikan. Kita harus melihat dulu manfaat dari informasinya. Panelis terakhir adalah Christianto Wibisono, dari Komite Ekonomi Nasional. Christianto mengutip kata-kata Masril Koto tentang ‘perasaannya’ berbicara di antara para Professor. “Seharusnya pembicaraan Professor lah yang harus bisa dimengerti oleh rakyat,” ujarnya. Dia pun mengutip pernyataan Burhanudin Muhtadi, “Rakyat sudah muak dengan pakar!” Menurutnya, hal inilah yang membuat pilihan rakyat jatuh pada Jokowi-JK. Ada permasalahan penting yang perlu mendapatkan perhatian, kata kuncinya adalah Delivery (penyampaian pesan) dan Implementasi (perwujudan program, bukan wacana terus). Kritik banyak disampaikan Christianto Wibisono, baik terhadap pemerintahan sekarang, maupun yang akan datang. Contohnya, pada pemerintahan sekarang Christianto berujar “Apakah pertumbuhan ekonomi 7% itu suatu kemajuan? Yang lain juga tumbuh kok, mencapai 10%!”. Sedangkan untuk pemerintahan yang akan datang “Jumlah kabinet di Indonesia peringkat 3 terbesar di dunia, dengan 62 orang di posisi kabinet (+ wakil menteri). Dengan komposisi seperti ini, GDP perkapita Indonesia hanya peringkat 22 dunia!” Christianto juga menyampaikan mata dunia saat ini tertuju pada 3 pemimpin Negara, Narendra Modi, Xi Jinping, dan Joko Widodo yang dikenal sebagai Triumvirate Asia. Selain itu, Christianto juga menceritakan titik-titik penting kebijakan ekonomi di Indonesia, menurutnya 2 presiden di Indonesia, jatuh karena BBM dan prosedural. Ini tentunya sebagai peringatan bagi pemerintah yang akan datang, untuk berani mengambil tindakan tidak popular jika itu untuk menyelamatkan Negara. Paparan Christianto dapat diakses di sini. Sampai jumpa di Seminar Statistika berikutnya. :) Selamat Hari Statistik Nasional! Hayoooo, di 2014 gini siapa yang masih punya diary? :)
Sepertinya, blog ini bakalan jadi diary resmi saya. Hehehe.... abisan kemarin ada yang nantangin "nulis status wae di facebook moal matak jadi duit, Fa...." bwahahaha. Dia berhasil memotivasi saya untuk lebih banyak menulis. Sayangnya blog ini berbeda dengan diary masa kecil saya. My little red book, bebas mau maki-maki orang yang saya sebel, ceritain yang bagus-bagus tentang orang yang saya suka, dan akhirnya sebel lagi ketika akhirnya patah hati. An ordinary cycle of love and life. Tuh ya buat kamu yang pertama kali patah hati, dengerin nasehat orang dewasa. Nanti juga kamu sembuh, ketemu lagi orang yang lain, nah, mendingan langsung saja diresmikan. :) Percuma tau nunggu lama-lama kalo akhirnya ngga jadi juga. (ih, kenapa cerita lu harus jadi teori, Fa? LOL) But I do miss my diary. Ada tiga versi saya dalam setiap diary. The dark side of me, the white side of me, and me. Terjebak di antara keduanya. :) terjebak di sini maksudnya, saya tau final destination saya jadi orang yang lebih baik lagi setiap harinya, tapi dalam proses menuju kesana saya masih suka konyol, masih suka lebay, masih suka stupid, yang makin menjauhkan saya dari tujuan saya semula. Itu fungsinya si white side of me tadi. To wake me up, bring me to the reality. But I still miss my diary. Tempat di mana saya bisa jadi saya. I miss the old me, gak semuanya sih, sebagian aja. Hehehe. Periode dimana ngga satupun yang dapat melemahkan saya akan apa yang saya percaya. :) Tapi, diary itu salahnya suka diam saja. Bahkan di saat saya menggila sekalipun. Ngga pernah protes. Gak ngingetin kalo itu salah, iyalah Fa, kan itu cuma buku. Makanya, diary nya dipindah kesini aja deh. Catatannya alfa, tentang semuanya. Dulu ceritanya, ada seorang lelaki, yang jatuh cinta kepada saya versi buku dan google. Waktu itu saya tertawa, dan meminta maaf kepadanya. Maaf, itu bukan saya yang tulis. Ada seseorang yang menuliskan untuk saya, itu saya yang dia inginkan! Lelaki yang menuliskan tentang saya, versi dia, yang dia inginkan dari saya. Dan kemudian saya menebus kesalahpahaman itu dengan mengizinkan dia mengenal saya, dari saya, versi saya. :) Lelaki yang menceritakan tentang saya versinya itu adalah Daddy. Sampai kapanpun, di matanya, saya adalah putri kecilnya yang itu *menelan ludah, ada banyak waktu dimana saya mengecewakanmu, Dad* Lelaki yang jatuh cinta pada saya versi risetnya dia itu adalah suami saya sekarang. :) Lelaki yang saya pernah harapkan akan menjauh karena versi nyata saya berbeda sama sekali dengan apa yang dia baca. Yang kepadanya, didepannya, saya berusaha untuk menjadi semenyebalkan mungkin yang saya bisa. Dan dia bertahan. Lucu. Karena akhirnya saya kebingungan, beneran ya ada yang bisa menerima saya yang seperti ini. Itulah saat dimana saya menjawab ajakannya untuk bersama dengan sebuah ide tentang pernikahan. Sebuah moment, yang selalu menarik untuk dikenang. I will try to be my self here. Coz I do miss my diary. A lot. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|