Kenalan sama Dilan itu gara-gara si Ikang, yang out of the blue nanya,
"Uni udah baca novel Dilan, belom?" Waktu saya jawab "Belum...." dia nanya lagi, "Kayanya itu sekolah uni lho.... 22". "Emang ceritanya tentang apa, Kang?" "Tentang anak geng yang pacaran. Kayanya itu (sebut saja dia) Kang Poki deh!" "Oh, ya?" Dah, gitu aja, ga pengen tau, ga penasaran. Cuma pas ada trailer Dilan, dan ngeliat gimana hebohnya orang-orang ga setuju Iqbal jadi Dilan, saya cuma nyengir sambil bilang dalam hati "Mulus pisan panglima tempur teh!" Baru deh beli novelnya, pada saat maen ke Gramedia, terus lagi diskon, terus ga tau mau beli novel apa. Baca di Sabtu siang, ga nyampe sejam tamat, trus langsung Go Mart Dilan 2 dan Milea-nya. Jadilah, seharian saya reunian dalam kenangan. Muahahahahahaha.... barulah pengen tahu siapa itu Pidi Baiq, dan main fact checker-fact checkeran sambil berusaha menduga, TKP dari novel ini :D Ga salah juga si Ikang menduga TKP nya sekolah saya, kecuali settingnya yang diceritakan di tahun 1990, ada beberapa kejadian di novel itu yang memang kami alami. Dan itulah yang membuat saya Sabtu itu merasa kembali ke zaman SMA, sekaligus sedikit kecewa lihat filmnya karena kenangan tentang Bandung dan SMA yang rusak, hahahaha.... Poki si Panglima. Saya baru ngeh kalau di sekolah ada anggota geng motor ya pas kelas 2 SMA. Gara-gara beberapa anak di kelas jadi anggotanya. Mereka ini, emang suka nongkrong, musuhnya wakasek kesiswaan, tapi siapa yang engga sih, kayanya hampir semua siswa yang menolak untuk patuh-patuh amat dengan peraturan sekolah pasti musuhan ama wakasek kesiswaan. Baik itu karena rambut kepanjangan, ketahuan merokok, rok yang kependekan, atau baju yang dibiarkan keleweran. Tapi, yang saya tahu, anak-anak ini pintar-pintar. Hahaha, rasanya ga adil ya dunia, masuk seingetnya, dikejar-kejar guru melulu, tapi matematika dan fisika juara. Gitu deh, jadi saya ga punya alasan untuk membenci mereka, ga tahu ya kalau kamu :D Dari mulut ke mulut, gossipan anak-anak kelas, diceritakan kalau ketua gengnya adalah si Poki, anak kelas sebelah. Suatu hari, setelah istirahat, sekolah heboh. Gerbang depan ditutup, dan pak wakasek kesiswaan nelpon polisi. Sekolah kami diserang. Alasannya apa, saya lupa. Tapi, penyerang sempat berhasil masuk sekolah, bawa-bawa samurai, sebelum berhasil diusir keluar oleh beberapa guru. Siapa yang mereka cari, teman-teman si Poki, tapi pastinya siapa, saya juga ngga ingat. Kejadian setelahnya yang saya ingat. Kami yang tidak diizinkan keluar kelas, dan pelajaran berlanjut seperti biasa, tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Pak wakasek kesiswaan masuk, dengan satu anak di belakangnya, yang tertunduk. Namanya Icar. Percikan darah membuat seragamnya berwarna putih abu-abu kemerahan. Saya sebal sama si bapak, bukannya diobatin dulu malah dijadikan pameran. Intinya si bapak cuma mau bilang "Inilah akibat dari perkelahian, menang jadi abu, kalah jadi arang. Maraneh, tong pipilueun nya!" Sambil ngilu, saya cuma bisa mendoakan, semoga Ical baik-baik saja. Lukanya saja yang agak banyak, tapi luka luar semua. Hari itu, kami semua sudah boleh pulang ke rumah seperti biasa. Ini bedanya dengan tawuran di Jakarta. Mereka ributnya pakai prinsip, jadi yang diserang ya orang yang dicari. Yang gak punya urusan soal itu, ga akan diapa-apain. Sementara tawuran di Jakarta, mendingan pulang sekolah ga suah pakai seragam, supaya ga jadi korban salah sasaran. Kelas 3, saya satu kelas dengan Poki. Ini anak, daftar hadirnya kebakaran. Whew. Tapi ngeselinnya, kalau harus maju untuk ngerjain soal Fisika dia lancar jaya, hahahaha. Persis teman-teman kelas 2 yang satu geng sama dia dahulu. Karena satu kelas, jadi bebas nanya-nanya. Pernah saya klarifikasi mengenai satu hal, yang menjadikan dia legend. Pasca serangan ke sekolah kami tahun sebelumnya, dikisahkan bahwa anak-anak ini melakukan serangan balik. Yang beredar di luar adalah Poki sendirian mengejar beberapa anak dari geng motor yang berbeda. SENDIRIAN. Dia sungguh-sungguh disegani karenanya. "Pok, beneran itu teh? Ai kamu euweuh kasieun?" Tanya saya, karena saya juga ga habis mikir masa itu yang banyakan takut dikejar oleh satu orang. "Duh, Fa. Aslinamah nya, rarasaan teh da teu sorangan! Pan indit teh jeung barudak, pedah urang nu di hareup. Nya tiis weh, sihoreng barudak tinggaleun, urang teu nyaho. Nu di hareup ngebut yang ku urang beuki diudag. Terus pas sadar naha asa sepi, pek teh di tukang euweuh sasaha!" jelasnya. "Terus? Terus kumaha?" tanya saya lagi, makin penasaran. "Nya enggeus weh acting, acting pura-pura tinggaleun, bari tiis tea...." katanya sambil tertawa lebar. Dan saya sungguh-sungguh kasihan sama anak yang dikejar, hahahaha.... ketakutan karena alasan yang tidak jelas. Dari sini saya belajar, reputasi itu bisa karena dibangun, bisa juga karena kebetulan, seperti cerita si Poki, hahahahahaha.... tapi tentunya, dia memang berjiwa pemimpin. Dalam sistem geng-gengan begitu, ga sembarang orang bisa jadi Ketua. Tapi Poki ini seriusan dah melankolis. Poki punya pacar di SMA, murid pindahan. Namanya Kodi. Gatau gimana ceritanya lah mereka putus, dan saya sempat melihat Poki yang sedih dahsyat, matanya merah kaya habis nangis. Bukannya menghibur, saya malah senyum dan bilang "Euleuh.... euleuh.... kamu teh Panglima!" tapi waktu itu Serieus Band belum ngetop, kalo engga dia pasti udah bilang "Panglima juga manusia!" :D Kalau kalian pikir mereka sukanya nongkrong-nongkrong, kebut-kebutan, ga bertanggungjawab gitu sama akademisnya, well.... daftar hadirnya memang merah membara sih, tapi waktunya mau Ebtanas dan UMPTN, mereka sebagian besar ikutan les GO juga. Hahahaha.... bahkan Poki dan gengnya ikutan les Matematika di Pak Eltik. Bahwa kemudian Poki jadi legend, bahkan sampai ke sekolah-sekolah sebelah, atau sampai nyampe ceritanya ke si Ikang yang juga anak geng motor yang sama beberapa tahun kemudian, saya cuma bilang sama Ikang "Tapi dia lulus SMA dan pintar lho, Ikang bisa ga nirunya sama itunya juga? Bukan cuma momotorannya aja!" :D
0 Comments
ada kalanya, gw malas mendengarkan orang curhat.
entah, kadang, itu tuh ga masuk akal, dan bukan buat ditanggapi. hanya ingin didengarkan, dan seakan gw harus setuju. tapi, wkwkwkwk, kalo nyari orang yang bisa diceritain dan selalu setuju, itu bukan gw. inget baik-baik, sebelum mulai curhat. atau elu akan kecewa nantinya.... wkwkwkwk seperti kali tadi + gitu doang gw juga bisa - maksud lu? + ya itu, gitu doang gw juga bisa - sudah pernah coba? + ah ngapain, itu bukan gw banget. gw bisa aja kalo gw mau. tapi gw ga mau. gw suka bingung ngadepin yang kaya gini ini :D biasanya, ini tuh iri tapi yang diatur sedemikian rupa sehingga supaya tak terlihat iri, tapi tetap saja terasa iri. saran gw, cobalah, kalau memang bisa. daripada lu cape ngomentarin mulu :) dan, meski lu merasa lu bisa, hasilnya belum tentu sama. karena sebaik-baiknya elu berusaha, tanpa seijin-Nya, ya itu lewat saja. takkan menemui hasil. setidaknya itu berhasil untuk gw, dalam memaklumi anomali-anomali yang terjadi di dunia ini. "kok bisa sih dia begitu?" jawaban gw, Tuhan yang menginginkannya begitu, bukan karena Ia tak sayang, mungkin ingin memberinya kesempatan, untuk terus memperbaiki diri. jika sudah baik, selesailah tugasnya di dunia, tinggal menunggu mati. Namanya H. Badannya tegap. Usianya saya taksir 7-8 tahun di bawah saya. Tahun yang dia sebut dia masih SMP, saya sudah lulus kuliah.
H merupakan mantan santri di suatu pondok pesantren, yang terkenal ekstrim karena menjadikan merakit dan meledakkan bom, membuat racun, menembak, sebagai kegiatan ekstra kulikulernya. Perbincangan dengannya diawali dengan sebuah pertanyaan "Did you see me in the movie?" pasca menonton jihadselfie. Engga, dia ga ngobrol sama saya, dia lagi ngobrol sama teman bulenya. Yang membuat saya malah jadi nanya "Sorry to interrupt you, so you're in the movie?" Karena lawan bicaranya ganti, dia jawab pakai bahasa Indonesia. "Iya. Yang bertanya apakah bisa kita melakukan pembaiatan via social media." Oh, ingatan saya melayang pada adegan pembaiatan ISIS di sebuah masjid di Jakarta Pusat. "Eh, Mas. Kok bisa sih dapat adegan pembaiatan, wawancara dengan pendukung ISIS di Indonesia langsung ke pesantrennya? Emang dia ga keberatan gitu diwawancarai?" Saya mengajukan pertanyaan ini karena terlalu banyak gosipan 'settingan' bagi para penikmat konspirasi. Dan rada ga masuk akal bagaimana kita 'dengan gampangnya' melihat suatu proses yang harusnya rahasia. Ini dijawab dengan mudah, bahwa ia memang memiliki kedekatan dengan pelaku-pelakunya dan bahwa ia sudah memiliki izin untuk mencantumkan di dalam film #jihadselfie. Sebuah film yang disutradai seorang mahasiswa Phd di Melbourne. Mereka itu di depan kamera sama dengan saya dan Anda, kadang-kadang nyengir juga. Bahkan pemimpin ponpes yang menyatakan dukungan thd ISIS itu, meninggal karena penyakit menahun yang dideritanya, bukan saat berperang. Mereka hanya manusia biasa, dengan jalan pikiran yang berbeda. Kedekatan itu membuat saya bertanya lagi, "Jika pernah begitu dekat, pernah menjadi bagian dari mereka, apa yang membuat mas keluar? Lebih mundur lagi, kok mau-maunya bergabung? Mas boleh jawab boleh engga. It's your call. Tapi saya Ibu dari dua anak lelaki berusia 13 dan 12. I need to know it...." "Jawab ngga yaa...." Masnya mulai nyebelin. Wkwkwkwk. Tp itu namanya privacy. Ya saya harus menghargai. "Saya ini dulu nakal. Pemabuk. Malas ngaji. Hingga suatu saat ada teman yang baik sekali, menghampiri dan mengajak saya -ngaji yok! Ajakan yang gak biasa, tapi membuat saya, yang biasa merasa hina, menjadi merasa dihargai. Ada lho orang yang ngajak saya ngaji.... Tapi di awal-awal, lihat Quran tuh saya malas. Saya bisa baca Quran. Tapi rasanya ngapain harus dibaca? Pengen saya banting tuh Quran. Dan teman saya itu mulai menasehati -kamu ini tidak bisa bersyukur. Kesempatan belajar, banyak. Waktu untuk belajar, banyak. Di bagian dunia yang lain, orang harus membayar dengan nyawanya untuk kesempatan yang kamu miliki. Saya bertanya-tanya, ini teman saya lebay deh. Masa iya begitu. Dan si teman pun mulai menunjukkan gambar-gambar apa yang terjadi di Syria, Iraq, Palestina. Darah saya berdesir. Mereka adalah saudara-saudara kita. Disitulah saya merasa terpanggil. Saya mulai mau rajin mengaji. Saya belajar bela diri, kami dikondisikan untuk melatih diri dan mempersiapkan diri untuk menghadapi perang. Saya merasa dihargai, Mbak. Saya merasa apa yang saya lakukan benar, orangtua saya pun mengikhlaskan saya pergi. Karena mereka kan tahunya saya mengaji. Mereka bersyukur atas perubahan diri saya. Tidak lagi minum, rajin mengaji." Oke. Saya manggut-manggut. Ajakan datang pada saat si mas merasa jadi sampah masyarakat. Ga punya kegiatan positif dan menemukan oase. "Ya Mbak. Saya merasa ada di jalan yang benar. Shalat, mengaji, mempersiapkan diri untuk menjadi pejuang." "Berapa lama Mas mesantren di sana?" "Tujuh tahun." "Sejak SMP itu?" "Engga. Selepas SMA." "Itu emang beneran ya Mas? Tadi saya lihat ada catetan tentang resep bom, bagian-bagian dari senjata, beneran diajarin di sana?" "Ya! Pesantren yang saya ikuti itu unik, Mbak. Beda sama pesantren-pesantren lainnya. Yang membuat beda adalah ustadz nya memiliki pengalaman perang semua. Kalau dia bercerita tentang pengalaman perang, semua terasa nyata. Kami pun jadi bersemangat." "Lalu dengan dikelilingi lingkungan seperti itu, apa yang membuat mas sekarang ada di sini? Menyuarakan tentang anti terorisme? Apa yang membuat Mas kembali?" "Wildan, pelaku bom bunuh diri di Iraq, itu sudah seperti adik bagi saya di pesantren. Saya yang antar dia ke Bandara, Mbak. Waktu dia mau ke Cairo. Sekolah menjadi dai dan ulama. Saya sudah bayangkan dia pulang, mau saya ajak jalan-jalan. Tiada kabar, setahun kemudian, dia menjadi pelaku bom bunuh diri di Iraq. Aku nangis Mbak, berhari-hari menangis...." "Lalu?" "Lalu aku mulai berpikir, ini sudah tidak sesuai lagi dengan ekspektasiku. Dengan apa yang aku yakini. Kita bermimpi begitu besar, ingin mengubah dunia, dengan aksi-aksi kita. Tapi kita kemudian melupakan hal-hal yang kecil. Seperti hubungan antar sesama manusia.... sudah 'too much' buatku...." Diam-diam saya haru. "Orangtua Mas, masih ada?" "Sekarang sudah meninggal. Pada saat saya bergabung, mereka masih ada. Tetapi mereka tahunya saya mengaji. Mbak tadi lihat Yazid kan? Biasanya memang tidak berkabar akan kegiatannya pada orangtuanya. Bahkan dikabarkan bahwa ibunya sakit-sakitan pun dia tidak perduli.... itu juga alasan saya waktu itu, rasa takut melukai hati orangtua saya" Buat saya, ini jadi pengalaman berharga. Dua bukti nyata (satunya Akbar, pemuda dalam cerita), bahwa keluarga yang dirindukan, adalah penguat di saat bimbang. Moms and Me - Cerita horor
Si mami abis mudik. Ketemu ibunya, nenek gw, yang gw udah segede ginipun masi aja inget apa yang gw suka n suka nitip-nitip "bawa buat si Uni nih...." Kemarin, gw dibekelin sereh buat therapy gitu. Mami bilang "kata emak, ini digeprek trus direbus. Air rebusannya dipake mandi! Angetnya enak buat ngilangin pegel-pegel" Malem itu juga langsung gw coba. He em. Emang anget beneran and badan gw juga jadi wangi (entah karena serehnya, entah karena gw yang mendadak rajin mandi, ini agak kurang jelas memang). Biar makin afdhol, gw juga sekalian minum jahe anget (walopun instan), di rumah berasa lagi me time di spa itu mungkin kaya gini (akibat kelamaan ga nyalon udah lupa suasana salon, hiks). Inside, outside, badan gw sudah terpapar rempah-rempah. Salah satu kekayaan nusantara yang membuat negeri kita dulu dijajah. Tapi, deket mami yang lagi motong-motong daun bakalan bikin nasi bakar besok, gw mulai khawatir. "Ini emak gw sengaja apa balurin gw rempah-rempah. Jangan-jangan besok selain ada nasi bakar rasa ayam dan rasa ikan, juga ada rasa alfa.... zzzzzzz...." #hansel&gretel Pernahkah kalian bertanya pada diri sendiri, mengapa saya terlahir begini?
Mengapa nama saya Alfatihah? Mengapa saya Islam? Mengapa tetangga saya Kristen? Semua itu pada awalnya adalah GIVEN. Bukan sesuatu yang bisa saya atur. Nama saya itu GIVEN. Sampai saya dewasa dan punya pilihan untuk ganti nama. Ketika saya memutuskan untuk bertahan dengan nama yang ada, disitulah tentu saja saya sudah dalam posisi menerima dan mengerti, baiklah, ada doa di dalam nama itu. Mulai bisa menerima nama yang panjangnya sabondoroyot itu. Pun demikian dengan keyakinan saya. Pada awanya itu GIVEN. Lahir di keluarga muslim ya otomatis muslim. :) Setelah besar tentu saja saya sudah bisa menentukan mau beragama apa. Kalau kemudian saya memilih untuk tetap Islam, menjadi muslim, ya karena saya mengkaji. Tapi sudah paham bedanya? Kalau di awal itu karena GIVEN, ketika dewasa itu karena pilihan. Dan tentu saja atas izin Allah SWT juga. Kalau ga diizinkan ya entah gimana ceritanya. Saya bersyukur. Waktu kecil ayah saya mengakomodir kekritisan saya. Berusaha menjawab segala keingintahuan saya. Jika Allah mau, dia bisa saja menjadikan semua manusia ini mengikuti sebaran uniform, seragam. Sama agamanya. Sama perilakunya. Sama ciri fisiknya. Dan seterusnya. Tetapi diberikannya nikmat kepada manusia. Itu adalah akal. Kalau tidak digunakan, nanti mubadzir lho :) Dan semoga akal mendekatkan kita kepada takwa. Seorang teman saya pada 17 Agustus lalu, membuat quiz. Siapa yang paling banyak bisa menyebutkan nama-nama pahlawan kita? Berapa banyak yang bisa kalian cari? 10? 20? 50? Bisa seratus? Situs resmi Kementrian Sosial (yang sayangnya sudah tidak diupdate sejak 2009 pada saat tulisan ini dibuat), mencatatkan Jumlah Pahlawan Nasional laki-laki : 135 orang Jumlah Pahlawan Nasional perempuan : 12 orang Sedangkan update di Wikipedia, sampai tahun 2016, mencatatkan Jumlah Pahlawan Nasional laki-laki : 157 orang Jumlah Pahlawan Nasional perempuan : 12 orang Banyak kan? Kalau Anda tidak mengenal seluruhnya, ya tidak perlu merasa khawatir. Saya pun begitu. Ketika Bank Indonesia mengumumkan penerbitan uang NKRI dengan 12 gambar pahlawan, saya tidak mengenal 4 di antaranya. Saya tidak tahu siapa Frans Kaisiepo, siapa Herman Johannes, siapa Idham Chalid, dan siapa I Gusti Ketut Pudja. Tetapi, saya sungguh terhenyak, ketika beberapa orang mempertanyakan memangnya mereka pahlawan apa? Pantaskah mereka ada di uang kertas? Tidakkah dijelaskan adab menerima informasi? Sikap yang baik ketika menerima suatu informasi, yang kita tidak mengetahui kebenarannya, adalah dengan tabayyun. Klarifikasi, cek, periksa! Sekarang dengan banyaknya referensi digital pekerjaan ini menjadi lebih mudah. Kita tidak perlu datang mengunjungi perpustakaan, karena sebagian kecil buku sudah ada versi ebooknya. Ada juga orang-orang yang sudah berbaik hati menuliskan ringkasan-ringkasan dengan menyertakan sumbernya. Untuk dapat mendapatkan sebutan Pahlawan Nasional, ada tahapan yang harus dilewati. Jika luang waktu, bacalah di sini. Kalau tidak sempat, saya ringkaskan. Selesai? Belum. Itu baru persiapan dokumennya. Alurnya seperti ini. Pada saat pembahasan-pembahasan itu, seringkali muncul kontroversi. Jadi tidak semua yang diajukan itu kemudian diangkat menjadi Pahlawan. Beberapa yang pengusulannya kemudian menimbulkan kontroversi diantaranya adalah: Presiden RI ke-2 Soeharto [1] [2] [3] [4] [5], Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid [5] [6], Patih Gadjah Mada [7], atau Mohammad Toha [8]. Sudah di angkat pun, belum tentu semuanya setuju. Seperti Tuanku Imam Bonjol [9] (arsip digitalnya tidak ada di situs majalah tempo), M. Natsir [7], ataupun Ida Anak Agung Gde Agung [9]. Tetapi, meskipun menimbulkan kontroversi, mereka yang sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional tidak pernah dicabut gelarnya. Nah, jadi, siapa saja Pahlawan Nasional yang muncul di Uang NKRI Tahun 2016 itu? Oia, situs kemensos sepertinya sangat-sangat perlu di update. Karena ternyata Soekarno Hatta pada 1986 baru mendapatkan gelar Pahlawan Proklamator, gelar Pahlawan Nasionalnya disematkan pada tahun 2012, melalui Keppres No.84/TK/Tahun 2012, Tanggal 7 November 2012.
Jadi, kalau kamu ngga kenal mereka, daripada bertanya "Memangnya dia pahlawan?" lebih baik teladani, kenapa dia bisa disebut pahlawan. Dia lho setidaknya sudah ada yang mau berlelah-lelah mengenang jasanya, meski jaman dulu saat mereka berjuang mimpi pun tidak tentang arti sebuah gelar, mereka hanya ingin merdeka. Lah kamu? Cheers. Sepasang kekasih, Putra dan Yasmin, berencana menikah di tempat romantis. Putra undang sang kakek, Ray, sebagai saksi. Yasmin undang ibunya, Fazira. Mereka ingin merayakan kebahagiaan di pulau resor. Sayang sikap saling curiga merusak rencana hari bahagia mereka. Fazira menolak menantu dari Indonesia, sementara Ray tak setuju jika sang cucu tidak menikahi perempuan nusantara. Filmnya dibuka dengan adegan perempuan lari-lari, terus naro handphone di tas anak kecil, dan jatuh ditembak sniper. Di sini saya sudah bingung, di tempat seramai itu, ada perempuan ketembak, tapi ga ada reaksi apapun dari orang-orang sekitar. Really? Lah, ada bom yang berpotensi menimbulkan ledakan susulan aja, di Sarinah situ malah jadi tontonan orang-orang. Ga ada yang teriak, ga ada yang kaget, ga ada yang sadar. Okelah.
-bahkan sampai akhir film saya gak tahu perempuan ini siapa- Dan kemudian beralih ke sebuah kelas, di mana seorang dosen menutup kuliahnya, dan temannya datang menghampiri *dan ga ketahuan juga ini si dosen ngajar apaan* Tokoh utama yang diceritakan di film ini: Opa Satria: Pensiunan BIN, sekarang jadi dosen. Ceritanya sih sangat mencintai nusantara, kalau ngomong harus pakai bahasa Indonesia, bajunya selalu batik/tenun, pakai batu akik merah yang gak ketahuan apa namanya. Satria tidak menyetujui rencana pernikahan Putra dan Yasmin, karena Satria ingin Putra menikahi perempuan Nusantara. Putra: Manager hotel, cucunya Opa Satria. Yatim piatu, mau nikah sama Yasmin. Selain manager hotel ternyata Putra juga kerja untuk interpol. Yasmin: Bekerja sebagai event organizer di hotel yang sama dengan Putra. Yatim, ayah dan ibunya sudah bercerai. Ayahnya adalah salah satu pemilik bank dunia (saya bingung kakak, kenapa bank dunia jadi milik perorangan ya? Atau ini bank yang namanya dunia?), setelah ayahnya tiada, pemilik bank dunia itu tinggal berlima. Fariza: Ibunya Yasmin. Tidak menyetujui Yasmin menikah dengan Putra, karena Putra orang Indonesia (hahahaha.... ini sih kisah klasik permusuhan Indonesia - Malaysia) tapi, luluh sama Satria ketika tahu dia adalah dosen (uwow, ternyata jadi dosen itu keren ya?) Jadi, spy-nya itu adalah Opa Satria dan Putra. Tapi, baru belakangan ketahuan kalau Putra ini spy. Bingung sebenarnya mau nyeritain apa, banyak banget bagian di film ini yang maksa. Yang kalau dipikir-pikir, adegan itu dihilangkan pun ga akan ngaruh-ngaruh amat ke filmnya. Contohnya handphone yang ditaruh si wanita di tas si anak. Anak kecil itu tahu-tahu bisa mengoperasikan handphonenya (emang gak dikunci?), terus semudah itu dilacak handphone mana yang digunakan (padahal akurasi GPS HP itu ya gitudeh). Dan terakhir, ya gak dibahas kenapa HP itu dicari-cari, cuma HP biasa yang gak tahu kenapa diributkan. Katanya sih karena video di dalamnya, tapi kan videonya sudah didapatkan. Jangan-jangan kaya pengacaranya Jessica nih. Kalau objek sudah dipindahkan, dianggap hasil editan. Jadi harus lihat langsung sumber aslinya, hihihihi.... Opa Satria itu katanya nusantara banget. Tapi, waktu food gathering makanan favoritnya disajikan oleh orang India, tapi kelihatannya seperti makanan Padang. Dimana ada ceritanya orang India jualan masakan Padang? Terus, ini film kecuali Bakmi Jawa dan bajunya Opa Satria, ga ada gitu promosi tentang Indonesianya sama sekali. Malaysia dipromosikan dengan Penangnya, (Milo-nya, Nescafe-nya, hiks) Indonesia? Gak kesebut, hiks.... padahal, pengambilan gambar dilakukan di dua negara. Pada saat ada moment si Opa Satria pake tas kulit aja, gak ketahuan euy itu buatan Indonesia apa bukaaaannn.... saya gak terima ini. :P Coach, Long Champ, nyata kelihatan. Kenapa sih ga pake tas kulit yang ada tulisan made in Indonesia-nya? Kan kalo bisa jadi trend kaya tasnya Cinta di AADC2 lumayan dampaknya buat pengrajin-pengrajin di Indonesia, hehehe.... Putra ditugaskan menyamar jadi manager hotel untuk melindungi Yasmin. Dari apa? Yasminnya kayanya engga pernah terancam bahaya, malah Opa Satria yang kena ancaman macem-macem. Gak ada tanda-tanda Yasmin dalam bahaya, kecuali pada suatu waktu setelah -orang jahat- menculik Opa Satria. Dan ga jelas juga kenapa Opa Satria diculik, toh dia ga membahayakan organisasi orang jahat itu, cuma gara-gara si Megan aja yang kelewat narsis pengen skenario kejahatannya ditonton mantan dosennya. Yang mana gak kelihatan tuh kalau dia mengagumi mantan dosennya ini. Ga ada gitu pertunjukkan dimana dia berusaha menebak jalan pikirannya Satria/ berusaha tidak bisa ditebak Satria. Jadi ya ditonton gak ditonton Satria pun Megannya akan begitu. And Yasmin, gak ada penjelasan suka olahraga, tiba-tiba di akhir jadi jago tembak. Darimana ceritanyaaaa? Ini bagian dari penokohan yang banyak 'ujug-ujugnya'. Lumayan mengganggu kalau biasa nonton film pake mikir (kaya saya gitu). Jadi, dari segi cerita, Spy in Love kurang punya cerita yang kuat. Konsepnya mudah dipertanyakan, kok gini, kok gitu. Dan mungkin jawabannya cuma "Just enjoy the show...." ga akan memuaskan penanyanya. Kemudian, adegan perang-perangan. Rasanya, mengatur perang-perangan jadi mimpi semua anak lelaki ya? Harus gini, harus gitu, lari ke sini, jaga di situ, dan seterusnya. Di sini? Hufftt.... pergantian dengan stuntman dan stuntwoman-nya masih kerasa kasar. Ketahuan banget kapan digantinya. Adegan penangkapan/penculikannya juga gak berasa kaya dilakukan profesional, malah jadi kaya adegan penculikan dalam film Dono Kasino Indro, yang emang tujuannya buat lucu-lucuan (gampang dibebaskan). Beda banget sama adegan penyanderaan di Haji Backpacker, yang saya sampai pulang ke rumah masih deg deg an, ngebatin "di dunia aja yang bisa membuktikan kamu itu Islam atau engga bukan dari kartu identitasnya, tapi dari kemampuan kamu membaca kitab sucinya, gimana lagi nanti di akhirat?" Di film ini, saya kurang ngerasain -keseriusan- dalam adegan-adegan actionnya. Tiba-tiba kangen ama film yang punya cerita kuat, kaya "Tanah Surga, Katanya". Hiks, kemana Danial yang itu.... Yang kerasa ini masih Danial, ga ada adegan percintaan yang gak perlu (kissing, adegan ranjang). Padahal ya bisa aja diselipin kalau dia mau. Hehehe.... tapi ada ataupun ngga ada, ga mengubah jalan ceritanya. Tapi, semua film Danial itu settingnya bukan cuma di Indonesia ya? La Tahzan, sampai ke Jepang. Haji Backpacker, sembilan negara. Spy in Love, Indonesia dan Malaysia. Next, Melbourne Rewind, Indonesia - Australia. Huffttt.... mungkin sudah saatnya kembali ke Indonesia. Dan menulis sesuatu seperti "Tanah Surga, Katanya" lagi, eksplorasi kisah-kisah yang ada di Indonesia (kenapa elu yang request, Fa?) Entahlah. Karena, percaya aja ini belum jadi yang 'terbaik' dari Danial. Kami sekeluarga (Suami, Saya, dan Anak-anak) SANGAT JARANG menonton film Indonesia. Itu lebih karena si suami sebenarnya, menurut dia Film Indonesia itu tidak layak ditonton di Bioskop, buang-buang uang, katanya. Muahahahaha.... gimana ya, pastinya ada harapan kan nonton di bioskop itu meninggalkan kesan, yang emang beda kalau nonton di bioskop dengan nonton di televisi. Jadi butuh usaha untuk meyakinkan dia, agar mau menonton film Indonesia. Ini adalah salah satu film, dimana saya berhasil membujuk dia untuk menonton. :)
Saya itu bukan ahli sinematografi, juga bukan sastrawan. Jadi, kalau nonton film, ya cuma nonton. Menikmati gambarnya, menikmati suaranya, dan berpikir akan ceritanya. Apakah pesan yang berusaha disampaikan oleh sang sutradara bisa saya terima dengan baik? Beda orang, beda tujuannya toh dalam menikmati film? Film ini bercerita tentang seorang lelaki muda, yang marah kepada Tuhan. Ah, kalau kamu tidak pernah berada dalam situasi itu, tentu film ini ga akan bicara apa-apa sama kamu. Pasti bingung kan, sombong amat marah sama Tuhan, dah punya modal apa buat mati? #nundukdalemdalem Sumber dari kemarahan ini adalah doa yang tidak terbalas. Mada, yang idealis, awalnya berpikir bahwa hidup ini linear. Berbuat baiklah kamu, maka orang akan berbuat baik kepadamu. Berdoalah kamu, maka hal-hal yang terbaik akan terjadi kepadamu. Kenyataannya? Itu ngga begitu. Kamu baik sama orang lain, orang yang kamu baikin belum tentu baik sama kamu. Tapi mungkin balasan dari kebaikan itu akan datang dari orang lain. Kamu berdoa setiap hari, belum tentu esok doamu akan dikabulkan. Tapi Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan keberadaannya dan menjawab doa-doamu. Setidaknya, secara garis besar, ini pesan yang rasanya ingin disampaikan Tuan Sutradara. Hehehehe.... Sebagai medium penyampai pesan berbentuk gambar dan suara, sepertinya pesan dalam film ini -sampai ke hati- Diceritakan, Mada kecewa kepada Tuhan, salah satunya karena pernikahannya yang gagal dengan cinta pertamanya, Sofia. Padahal, semuanya terasa begitu sempurna di awal. Namun, sang cinta pertamanya, meninggalkannya di hari pernikahan mereka. Wow, biasanya perempuan yang termehek-mehek gara-gara batal nikah, ternyata lelaki juga bisa begitu terluka ya? Mungkin karena sebelumnya jarang berinteraksi dengan wanita, dan dikisahkan dalam menjalani hubungan mereka ga pernah ada konflik yang berarti, sebuah hubungan yang -too good to be true- Mada nya jadi ga percaya itu terjadi. Tapi kenapa nyalahin Tuhan ya? Bingung saya. Salahin aja si cewek dan cari pacar baru :P Oke oke oke.... ini tidak sesederhana itu. Meski digambarkan bahwa salah satu pemicunya adalah batal nikah, ada hal lain yang dikisahkan pada film ini. Mada yang membenci ayahnya. Karena apa ya? Ayahnya kayanya baik-baik aja, ngajarin shalat, nemenin wudhu. Mendampingi pas nikah. Apakah saya terlewat sesuatu? Kenapa Mada begitu membenci Ayahnya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Pertanyaan yang ga terjawab. Punya Ayah yang begini kok dibenci. Aneh. Kebencian terhadap Ayah ini berbahaya. Entah kenapa waktu nonton film ini saya ingat si Adik. Satu malam kami duduk berdua, malam di waktu saya sedang berjuang akan sebuah ijin untuk menikah yang berujung kegagalan juga, wkwkwkwk. "Aku ngga percaya Tuhan itu ada!" Katanya. "Aku memutuskan untuk menjadi seseorang yang Atheis!" Ini tentu saja bukan sesuatu yang diharapkan didengar Kakak dari Adiknya. "Ada apa?" Tanya saya lagi. Persis seperti yang diucapkan Mada, "Bertahun-tahun aku berdoa, agar bisa hidup seperti anak normal lainnya (kami produk dari sebuah keluarga yang broken home), tapi apakah Tuhan mendengarkan? Di mana dia? Di mana? Sebaik apapun aku berusaha, yang kutemui kegagalan...." It was a hard moment for me, mengingat saya merasa dia lebih dewasa dari saya dalam banyak hal. Diantaranya kemampuan dia dalam memediasi konflik yang ga perlu antara saya dan Mami, perkara ijin menikah. Hahaha.... pedih hati saya, menghadapi kenyataan bahwa Adik kesayangan ini begitu hampa hatinya. Padahal, tadinya saya pikir hanya saya saja yang merasakan kekosongan dan kehampaan itu.... "Suatu saat, dengan caramu sendiri, kamu akan menemukan bukti keberadaan Tuhan. Dia akan menjawab, mendengarkan, dengan cara-Nya. Ini ga bisa dijelaskan, karena pada setiap orang perjalanannya akan berbeda...." saya cuma bisa ngomong begitu. Lah, si guweh juga bukan orang yang religius pan. Back to the movie, jadi sepanjang film, perasaan saya diacak-acak dalam memahami setiap pesan yang disampaikan. It's a journey to yourself. Mana pas lagi, hahaha, si kakak perempuan, di adik lelaki. Tapi ini saya yang saya lihat ada di sosok Mada. Kalaupun saya memaksa logika saya untuk menerima, kemarahan Mada pada ayahnya itu mungkin seperti kemarahan saya pada Chairil Anwar. Bagaimana saya mengidolakannya, mengagumi karya-karyanya, dan tiba-tiba di usia remaja baca buku biografinya mendapatkan fakta bahwa dia punya banyak pacar, muahahahaha. Saya kecewa dan patah hati, dan gak mau nikah sama penyair! Ekspektasi yang terlalu tinggi pada manusia, lupa bahwa bagaimanapun ia hanya manusia. Seseorang yang begitu hebat di matamu, tapi ternyata tak sempurna. (Tapi lagi-lagi, salah Ayahnya apa ya?) Dan Marbel. Ada aja ya orang kaya gini. Jatuh cinta sama orang yang sebenarnya gak perduli sama dia. Saya sebal lho sama karakter wanita yang begini, lemah bener, kaya gak punya harga diri. Tapi kenyataannya type begini emang dimana-mana ada. Sudah tahu dibohongi, sudah tahu dimanfaatkan, tapi sepertinya rasa sakit menjadi candu buat mereka. Jadi lupa bagaimana rasanya bahagia. Kalau ga sakit hati, hidupnya tak bermakna. Puk puk puk.... Chin up, girl.... sing: wajahmu juga gak jelek-jelek amat, banyak yang mau! Perjalanan Mada. Terlalu banyak kebetulan yang dipaksakan. Gak kerja tapi pulsanya ada terus buat nelpon/ terima telpon. Padahal kan pulsa mahal ya? Apalagi beda negara, roaming kakak. Kardus berisi manusia yang pas diangkat ga jebol, padahal kan kardusnya bolong. Kok orangnya ga ngegelosor. Ranselnya dirampok tapi passportnya ga hilang, -kalau urusan logika yang diabaikan, udah banyak yang bahas tentang ini, googling pakai review Haji Backpacker The Movie bakal ketemu- Tapi mungkin itu yang ingin disampaikan Tuan Sutradara, bahwa Allah punya cara sendiri untuk menentukan eksistensi-Nya, dan itu di luar apa yang bisa dicerna logika manusia (nyengir.... saya tuh kadang menggambarkan diri, bahwa jika saya itu murid nabi Khidir, saya sudah gagal bahkan di jam pertama. Mengingat saya ga sabaran dan selalu bertanya, kok gini sih, kok gitu sih!) Namun, ketidakwajaran ini menguap dengan mata saya yang dimanjakan oleh gambar-gambar yang indah dan luar biasa. Cara lain untuk menunjukkan bukti kehadiran Allah dengan memperlihatkan ciptaan-ciptaan-Nya. Satu jam pertama, mata saya dimanjakan oleh gambar-gambar yang menarik, sampaaaaaaiiii.... Jreng jreng. Balon udara! Langsung nyebut dalam hati, ini apaan, ngerusak moment. :'( Ini apa pesannya? Bahwa di Indonesia animasi masih sesuatu hal yang asing? Bukan profesi yang menarik untuk digeluti jadi ga ada yang bisa bikin lebih baik dari ini? Atau dikerjain di luar negeri juga gakpapa deh urusan animasinya. Rubuh. Beneran deh, moment gambar-gambar yang diambil dengan susah payah runtuh sama balon udara yang kurang dari semenit. Huhuhu, penonton kecewaaaa.... tapi kekecewaan ini ga bikin ninggalin tempat duduk sih, cuma menghela nafas aja. Tapi balon udara itu juga jadi titik balik, kekerasan hati Mada yang perlahan melunak. Berusaha mencari jalan untuk kembali mengenal Allah, yang pada periode sebelumnya digugat keberadaan-Nya. Sampai pada akhirnya, Mada mampu berdamai dengan dirinya sendiri, dengan kemarahannya, menerimanya sebagai sesuatu yang memang harus terjadi pada dirinya. Dan itu, bagian itu, saya merasa disindir. Bagian bahwa yang menentukan keislamanmu adalah seberapa kenal kamu dengan kitab sucimu. Bukan apa yang tertera pada kartu identitasmu. :') Tiba-tiba saya mikirin puisinya Taufik Ismail, Ketika Tangan Dan Kaki Berkata.... padahal ga dijadiin theme song. Ada lagi bagian-bagian lain saya merasa terlalu dipaksakan. Mungkin karena kalau diceritakan jadinya filmnya kepanjangan, sehingga kita dipaksa memahami simbol-simbol yang dihadirkan. Batasan waktu? Batasan budget? Entah kenapa perasaan saya bilang sih ada cerita lain yang hilang dari keseluruhan film ini, yang harusnya ada, tapi ditiadakan. Ada part yang incomplete, tapi ga bisa cerita juga sih, namanya juga perasaan. Wkwkwkwkwk.... Tapi terus terang, film ini buat saya sih lumayan berat mencerna simbol-simbol, dalam rangka memahami pesannya tadi. Bukan yang bisa ditonton sambil haha hihi sama teman sebaya. Dan buat yang ngga pernah merasakan 'pencarian', kayanya film ini bakalan -leads to nothing- tapi bagi yang sedang/selesai melakukan pencarian, ada ruang kosong di dalam hati yang terisi. Buat suami? Dia juga komentarnya sama, itu balon udara apaan sih? Dan juga catatan urutan logika yang berantakan.... Buat si Ganteng 1? Setidaknya dia bisa menyebutkan nama 9 negara lokasi pengambilan gambar. Sambil bertanya sesekali, itu orang mana, kok bahasanya begitu? Itu adat apa, itu orang agamanya apa? Dan lain-lain hal yang tidak bisa dia temui di Indonesia. Ganteng 2? Dia tertidur sejak masih di China. LOL. Buat saya? Pesan berhasil diterima. Good job, Danial Rifki. Hari Pertama Ganteng 2 Bicara
Sejak lahir, Ganteng 2 itu lucu banget. Rajin ketawa, jarang nangis, dan bulat. Dia suka makan, sendok nempel ke mulut langsung Hap. Nyam. Makanya tambah lama tambah bulat badannya. Pengalaman si Kakak yang sulit, pilih-pilih orang, membuat kami, orangtuanya lebih longgar sama Ganteng 2. Kita memberanikan diri mengizinkan banyak orang menggendongnya. Hasilnya, dia pun lebih friendly, dibandingkan si Kakak pas seusianya. Sebagian besar masa bayi Ganteng 2 hanya dilewatkan bersama saya, karena kami ganya berdua di Kendari. Dia terhitung cepat berjalan. Merayap, langsung berdiri dan jalan. Melewati tahapan merangkak. Dan, mumbling. Di awal hanya bisa berkata "Abubububu...." dan kata random lainnya. Ini berlangsung lamaaaaaaaaaaaa sekali. Setahun usianya. Dia hanya bisa megucapkan kata-kata pendek. Belum bisa merangkai kalimat. Oh well.... mungkin belum waktunya. Setengah tahun kemudian, masih sama. Dia jadi suka uring-uringan sendiri, berusaha mengungkapkan isi hatinya tapi tidak ada yang mengerti. Dia jadi pemarah! Tapi marahnya ga banting-banting barang atau gimana sih, hanya ngoceh ga jelas dan nangis. 1 tahun 8 bulan, kakak masuk playgroup. Di luar dugaan, dia ingin ikut. Padahal, di playgroupnya tidak ada kelas bayi/batita. Kami kebingungan, untung gurunya mau menerima. Mereka bilang, tak apa. Dia hanya akan bermain saja, tidak akan terlalu dilibatkan dalam kegiatan di kelas. Dibiarkan semaunya. Namun, dari yang harusnya seminggu dua kali dan hanya sejam, ini malah dia yang lebih rajin dari si Kakak dalam hal sekolah, dan gak mau pulang sebelum sekolah selesai dan semua pulang.... Dua minggu sekolah, tiba-tiba bicaranya lancar sekali. Dia bercerita apa saja, dan bertanya apa saja. Semua ditanyakan, semua ditunjuk, semua diceritakan. Saya dan ayahnya geleng-geleng kepala. Membayangkan deritanya menahan semua isi kepalanya dan tidak ada satupun yang mengerti. Dan sebuah misteri muncul, bagaimana cara gurunya mengajar hingga dia mau bicara? Kata gurunya, tidak ada cara khusus. Dia hanya mencoba bicara pada teman-temannya, dan akhirnya bisa sendiri. Lesson learned. Teman sebaya besar pengaruhnya dibandingkan orang tua atau guru bagi seorang anak. Semoga kamu gak salah pilih teman ya, Nak! |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|