Namanya H. Badannya tegap. Usianya saya taksir 7-8 tahun di bawah saya. Tahun yang dia sebut dia masih SMP, saya sudah lulus kuliah.
H merupakan mantan santri di suatu pondok pesantren, yang terkenal ekstrim karena menjadikan merakit dan meledakkan bom, membuat racun, menembak, sebagai kegiatan ekstra kulikulernya. Perbincangan dengannya diawali dengan sebuah pertanyaan "Did you see me in the movie?" pasca menonton jihadselfie. Engga, dia ga ngobrol sama saya, dia lagi ngobrol sama teman bulenya. Yang membuat saya malah jadi nanya "Sorry to interrupt you, so you're in the movie?" Karena lawan bicaranya ganti, dia jawab pakai bahasa Indonesia. "Iya. Yang bertanya apakah bisa kita melakukan pembaiatan via social media." Oh, ingatan saya melayang pada adegan pembaiatan ISIS di sebuah masjid di Jakarta Pusat. "Eh, Mas. Kok bisa sih dapat adegan pembaiatan, wawancara dengan pendukung ISIS di Indonesia langsung ke pesantrennya? Emang dia ga keberatan gitu diwawancarai?" Saya mengajukan pertanyaan ini karena terlalu banyak gosipan 'settingan' bagi para penikmat konspirasi. Dan rada ga masuk akal bagaimana kita 'dengan gampangnya' melihat suatu proses yang harusnya rahasia. Ini dijawab dengan mudah, bahwa ia memang memiliki kedekatan dengan pelaku-pelakunya dan bahwa ia sudah memiliki izin untuk mencantumkan di dalam film #jihadselfie. Sebuah film yang disutradai seorang mahasiswa Phd di Melbourne. Mereka itu di depan kamera sama dengan saya dan Anda, kadang-kadang nyengir juga. Bahkan pemimpin ponpes yang menyatakan dukungan thd ISIS itu, meninggal karena penyakit menahun yang dideritanya, bukan saat berperang. Mereka hanya manusia biasa, dengan jalan pikiran yang berbeda. Kedekatan itu membuat saya bertanya lagi, "Jika pernah begitu dekat, pernah menjadi bagian dari mereka, apa yang membuat mas keluar? Lebih mundur lagi, kok mau-maunya bergabung? Mas boleh jawab boleh engga. It's your call. Tapi saya Ibu dari dua anak lelaki berusia 13 dan 12. I need to know it...." "Jawab ngga yaa...." Masnya mulai nyebelin. Wkwkwkwk. Tp itu namanya privacy. Ya saya harus menghargai. "Saya ini dulu nakal. Pemabuk. Malas ngaji. Hingga suatu saat ada teman yang baik sekali, menghampiri dan mengajak saya -ngaji yok! Ajakan yang gak biasa, tapi membuat saya, yang biasa merasa hina, menjadi merasa dihargai. Ada lho orang yang ngajak saya ngaji.... Tapi di awal-awal, lihat Quran tuh saya malas. Saya bisa baca Quran. Tapi rasanya ngapain harus dibaca? Pengen saya banting tuh Quran. Dan teman saya itu mulai menasehati -kamu ini tidak bisa bersyukur. Kesempatan belajar, banyak. Waktu untuk belajar, banyak. Di bagian dunia yang lain, orang harus membayar dengan nyawanya untuk kesempatan yang kamu miliki. Saya bertanya-tanya, ini teman saya lebay deh. Masa iya begitu. Dan si teman pun mulai menunjukkan gambar-gambar apa yang terjadi di Syria, Iraq, Palestina. Darah saya berdesir. Mereka adalah saudara-saudara kita. Disitulah saya merasa terpanggil. Saya mulai mau rajin mengaji. Saya belajar bela diri, kami dikondisikan untuk melatih diri dan mempersiapkan diri untuk menghadapi perang. Saya merasa dihargai, Mbak. Saya merasa apa yang saya lakukan benar, orangtua saya pun mengikhlaskan saya pergi. Karena mereka kan tahunya saya mengaji. Mereka bersyukur atas perubahan diri saya. Tidak lagi minum, rajin mengaji." Oke. Saya manggut-manggut. Ajakan datang pada saat si mas merasa jadi sampah masyarakat. Ga punya kegiatan positif dan menemukan oase. "Ya Mbak. Saya merasa ada di jalan yang benar. Shalat, mengaji, mempersiapkan diri untuk menjadi pejuang." "Berapa lama Mas mesantren di sana?" "Tujuh tahun." "Sejak SMP itu?" "Engga. Selepas SMA." "Itu emang beneran ya Mas? Tadi saya lihat ada catetan tentang resep bom, bagian-bagian dari senjata, beneran diajarin di sana?" "Ya! Pesantren yang saya ikuti itu unik, Mbak. Beda sama pesantren-pesantren lainnya. Yang membuat beda adalah ustadz nya memiliki pengalaman perang semua. Kalau dia bercerita tentang pengalaman perang, semua terasa nyata. Kami pun jadi bersemangat." "Lalu dengan dikelilingi lingkungan seperti itu, apa yang membuat mas sekarang ada di sini? Menyuarakan tentang anti terorisme? Apa yang membuat Mas kembali?" "Wildan, pelaku bom bunuh diri di Iraq, itu sudah seperti adik bagi saya di pesantren. Saya yang antar dia ke Bandara, Mbak. Waktu dia mau ke Cairo. Sekolah menjadi dai dan ulama. Saya sudah bayangkan dia pulang, mau saya ajak jalan-jalan. Tiada kabar, setahun kemudian, dia menjadi pelaku bom bunuh diri di Iraq. Aku nangis Mbak, berhari-hari menangis...." "Lalu?" "Lalu aku mulai berpikir, ini sudah tidak sesuai lagi dengan ekspektasiku. Dengan apa yang aku yakini. Kita bermimpi begitu besar, ingin mengubah dunia, dengan aksi-aksi kita. Tapi kita kemudian melupakan hal-hal yang kecil. Seperti hubungan antar sesama manusia.... sudah 'too much' buatku...." Diam-diam saya haru. "Orangtua Mas, masih ada?" "Sekarang sudah meninggal. Pada saat saya bergabung, mereka masih ada. Tetapi mereka tahunya saya mengaji. Mbak tadi lihat Yazid kan? Biasanya memang tidak berkabar akan kegiatannya pada orangtuanya. Bahkan dikabarkan bahwa ibunya sakit-sakitan pun dia tidak perduli.... itu juga alasan saya waktu itu, rasa takut melukai hati orangtua saya" Buat saya, ini jadi pengalaman berharga. Dua bukti nyata (satunya Akbar, pemuda dalam cerita), bahwa keluarga yang dirindukan, adalah penguat di saat bimbang.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|