Kami sekeluarga (Suami, Saya, dan Anak-anak) SANGAT JARANG menonton film Indonesia. Itu lebih karena si suami sebenarnya, menurut dia Film Indonesia itu tidak layak ditonton di Bioskop, buang-buang uang, katanya. Muahahahaha.... gimana ya, pastinya ada harapan kan nonton di bioskop itu meninggalkan kesan, yang emang beda kalau nonton di bioskop dengan nonton di televisi. Jadi butuh usaha untuk meyakinkan dia, agar mau menonton film Indonesia. Ini adalah salah satu film, dimana saya berhasil membujuk dia untuk menonton. :)
Saya itu bukan ahli sinematografi, juga bukan sastrawan. Jadi, kalau nonton film, ya cuma nonton. Menikmati gambarnya, menikmati suaranya, dan berpikir akan ceritanya. Apakah pesan yang berusaha disampaikan oleh sang sutradara bisa saya terima dengan baik? Beda orang, beda tujuannya toh dalam menikmati film? Film ini bercerita tentang seorang lelaki muda, yang marah kepada Tuhan. Ah, kalau kamu tidak pernah berada dalam situasi itu, tentu film ini ga akan bicara apa-apa sama kamu. Pasti bingung kan, sombong amat marah sama Tuhan, dah punya modal apa buat mati? #nundukdalemdalem Sumber dari kemarahan ini adalah doa yang tidak terbalas. Mada, yang idealis, awalnya berpikir bahwa hidup ini linear. Berbuat baiklah kamu, maka orang akan berbuat baik kepadamu. Berdoalah kamu, maka hal-hal yang terbaik akan terjadi kepadamu. Kenyataannya? Itu ngga begitu. Kamu baik sama orang lain, orang yang kamu baikin belum tentu baik sama kamu. Tapi mungkin balasan dari kebaikan itu akan datang dari orang lain. Kamu berdoa setiap hari, belum tentu esok doamu akan dikabulkan. Tapi Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan keberadaannya dan menjawab doa-doamu. Setidaknya, secara garis besar, ini pesan yang rasanya ingin disampaikan Tuan Sutradara. Hehehehe.... Sebagai medium penyampai pesan berbentuk gambar dan suara, sepertinya pesan dalam film ini -sampai ke hati- Diceritakan, Mada kecewa kepada Tuhan, salah satunya karena pernikahannya yang gagal dengan cinta pertamanya, Sofia. Padahal, semuanya terasa begitu sempurna di awal. Namun, sang cinta pertamanya, meninggalkannya di hari pernikahan mereka. Wow, biasanya perempuan yang termehek-mehek gara-gara batal nikah, ternyata lelaki juga bisa begitu terluka ya? Mungkin karena sebelumnya jarang berinteraksi dengan wanita, dan dikisahkan dalam menjalani hubungan mereka ga pernah ada konflik yang berarti, sebuah hubungan yang -too good to be true- Mada nya jadi ga percaya itu terjadi. Tapi kenapa nyalahin Tuhan ya? Bingung saya. Salahin aja si cewek dan cari pacar baru :P Oke oke oke.... ini tidak sesederhana itu. Meski digambarkan bahwa salah satu pemicunya adalah batal nikah, ada hal lain yang dikisahkan pada film ini. Mada yang membenci ayahnya. Karena apa ya? Ayahnya kayanya baik-baik aja, ngajarin shalat, nemenin wudhu. Mendampingi pas nikah. Apakah saya terlewat sesuatu? Kenapa Mada begitu membenci Ayahnya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Pertanyaan yang ga terjawab. Punya Ayah yang begini kok dibenci. Aneh. Kebencian terhadap Ayah ini berbahaya. Entah kenapa waktu nonton film ini saya ingat si Adik. Satu malam kami duduk berdua, malam di waktu saya sedang berjuang akan sebuah ijin untuk menikah yang berujung kegagalan juga, wkwkwkwk. "Aku ngga percaya Tuhan itu ada!" Katanya. "Aku memutuskan untuk menjadi seseorang yang Atheis!" Ini tentu saja bukan sesuatu yang diharapkan didengar Kakak dari Adiknya. "Ada apa?" Tanya saya lagi. Persis seperti yang diucapkan Mada, "Bertahun-tahun aku berdoa, agar bisa hidup seperti anak normal lainnya (kami produk dari sebuah keluarga yang broken home), tapi apakah Tuhan mendengarkan? Di mana dia? Di mana? Sebaik apapun aku berusaha, yang kutemui kegagalan...." It was a hard moment for me, mengingat saya merasa dia lebih dewasa dari saya dalam banyak hal. Diantaranya kemampuan dia dalam memediasi konflik yang ga perlu antara saya dan Mami, perkara ijin menikah. Hahaha.... pedih hati saya, menghadapi kenyataan bahwa Adik kesayangan ini begitu hampa hatinya. Padahal, tadinya saya pikir hanya saya saja yang merasakan kekosongan dan kehampaan itu.... "Suatu saat, dengan caramu sendiri, kamu akan menemukan bukti keberadaan Tuhan. Dia akan menjawab, mendengarkan, dengan cara-Nya. Ini ga bisa dijelaskan, karena pada setiap orang perjalanannya akan berbeda...." saya cuma bisa ngomong begitu. Lah, si guweh juga bukan orang yang religius pan. Back to the movie, jadi sepanjang film, perasaan saya diacak-acak dalam memahami setiap pesan yang disampaikan. It's a journey to yourself. Mana pas lagi, hahaha, si kakak perempuan, di adik lelaki. Tapi ini saya yang saya lihat ada di sosok Mada. Kalaupun saya memaksa logika saya untuk menerima, kemarahan Mada pada ayahnya itu mungkin seperti kemarahan saya pada Chairil Anwar. Bagaimana saya mengidolakannya, mengagumi karya-karyanya, dan tiba-tiba di usia remaja baca buku biografinya mendapatkan fakta bahwa dia punya banyak pacar, muahahahaha. Saya kecewa dan patah hati, dan gak mau nikah sama penyair! Ekspektasi yang terlalu tinggi pada manusia, lupa bahwa bagaimanapun ia hanya manusia. Seseorang yang begitu hebat di matamu, tapi ternyata tak sempurna. (Tapi lagi-lagi, salah Ayahnya apa ya?) Dan Marbel. Ada aja ya orang kaya gini. Jatuh cinta sama orang yang sebenarnya gak perduli sama dia. Saya sebal lho sama karakter wanita yang begini, lemah bener, kaya gak punya harga diri. Tapi kenyataannya type begini emang dimana-mana ada. Sudah tahu dibohongi, sudah tahu dimanfaatkan, tapi sepertinya rasa sakit menjadi candu buat mereka. Jadi lupa bagaimana rasanya bahagia. Kalau ga sakit hati, hidupnya tak bermakna. Puk puk puk.... Chin up, girl.... sing: wajahmu juga gak jelek-jelek amat, banyak yang mau! Perjalanan Mada. Terlalu banyak kebetulan yang dipaksakan. Gak kerja tapi pulsanya ada terus buat nelpon/ terima telpon. Padahal kan pulsa mahal ya? Apalagi beda negara, roaming kakak. Kardus berisi manusia yang pas diangkat ga jebol, padahal kan kardusnya bolong. Kok orangnya ga ngegelosor. Ranselnya dirampok tapi passportnya ga hilang, -kalau urusan logika yang diabaikan, udah banyak yang bahas tentang ini, googling pakai review Haji Backpacker The Movie bakal ketemu- Tapi mungkin itu yang ingin disampaikan Tuan Sutradara, bahwa Allah punya cara sendiri untuk menentukan eksistensi-Nya, dan itu di luar apa yang bisa dicerna logika manusia (nyengir.... saya tuh kadang menggambarkan diri, bahwa jika saya itu murid nabi Khidir, saya sudah gagal bahkan di jam pertama. Mengingat saya ga sabaran dan selalu bertanya, kok gini sih, kok gitu sih!) Namun, ketidakwajaran ini menguap dengan mata saya yang dimanjakan oleh gambar-gambar yang indah dan luar biasa. Cara lain untuk menunjukkan bukti kehadiran Allah dengan memperlihatkan ciptaan-ciptaan-Nya. Satu jam pertama, mata saya dimanjakan oleh gambar-gambar yang menarik, sampaaaaaaiiii.... Jreng jreng. Balon udara! Langsung nyebut dalam hati, ini apaan, ngerusak moment. :'( Ini apa pesannya? Bahwa di Indonesia animasi masih sesuatu hal yang asing? Bukan profesi yang menarik untuk digeluti jadi ga ada yang bisa bikin lebih baik dari ini? Atau dikerjain di luar negeri juga gakpapa deh urusan animasinya. Rubuh. Beneran deh, moment gambar-gambar yang diambil dengan susah payah runtuh sama balon udara yang kurang dari semenit. Huhuhu, penonton kecewaaaa.... tapi kekecewaan ini ga bikin ninggalin tempat duduk sih, cuma menghela nafas aja. Tapi balon udara itu juga jadi titik balik, kekerasan hati Mada yang perlahan melunak. Berusaha mencari jalan untuk kembali mengenal Allah, yang pada periode sebelumnya digugat keberadaan-Nya. Sampai pada akhirnya, Mada mampu berdamai dengan dirinya sendiri, dengan kemarahannya, menerimanya sebagai sesuatu yang memang harus terjadi pada dirinya. Dan itu, bagian itu, saya merasa disindir. Bagian bahwa yang menentukan keislamanmu adalah seberapa kenal kamu dengan kitab sucimu. Bukan apa yang tertera pada kartu identitasmu. :') Tiba-tiba saya mikirin puisinya Taufik Ismail, Ketika Tangan Dan Kaki Berkata.... padahal ga dijadiin theme song. Ada lagi bagian-bagian lain saya merasa terlalu dipaksakan. Mungkin karena kalau diceritakan jadinya filmnya kepanjangan, sehingga kita dipaksa memahami simbol-simbol yang dihadirkan. Batasan waktu? Batasan budget? Entah kenapa perasaan saya bilang sih ada cerita lain yang hilang dari keseluruhan film ini, yang harusnya ada, tapi ditiadakan. Ada part yang incomplete, tapi ga bisa cerita juga sih, namanya juga perasaan. Wkwkwkwkwk.... Tapi terus terang, film ini buat saya sih lumayan berat mencerna simbol-simbol, dalam rangka memahami pesannya tadi. Bukan yang bisa ditonton sambil haha hihi sama teman sebaya. Dan buat yang ngga pernah merasakan 'pencarian', kayanya film ini bakalan -leads to nothing- tapi bagi yang sedang/selesai melakukan pencarian, ada ruang kosong di dalam hati yang terisi. Buat suami? Dia juga komentarnya sama, itu balon udara apaan sih? Dan juga catatan urutan logika yang berantakan.... Buat si Ganteng 1? Setidaknya dia bisa menyebutkan nama 9 negara lokasi pengambilan gambar. Sambil bertanya sesekali, itu orang mana, kok bahasanya begitu? Itu adat apa, itu orang agamanya apa? Dan lain-lain hal yang tidak bisa dia temui di Indonesia. Ganteng 2? Dia tertidur sejak masih di China. LOL. Buat saya? Pesan berhasil diterima. Good job, Danial Rifki.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|