Catatan seminar yang baik, ya harusnya hanya catatan apa saja yang terjadi seputar seminarnya. Tapi kali ini, saya mau cerita komplit!
Seminar ini, termasuk rangkaian seminar yang disponsori BPS, dalam rangka menyambut Hari Statistik Nasional. Temanya, ya yang jadi judul artikel ini. Siapa sangka bahwa setelah topik seminar fix, Sestama ternyata keberatan dengan temanya. Nah, lho! Menurut beliau, “Ini apa ya nggak kebalik? Yang di IPB bicara Peran Statistik Untuk Pembangunan, nah yang ini (STIS – Sekolah Kedinasan Milik BPS), kok ngomongin politik?” Begitu kira-kira statement beliau yang disampaikan via humas. Masilh untung beliau hanya protes, nggak minta ganti topik, Karena keberatan ini kedengerannya H-2! (Okay, saya deg-degan luaaaaarrr biasa). Kenapa sih Fa, ini temanya?!? Nggak ada yang lain, apa? Lho, ini hasil pilihan. Pertimbangannya adalah, banyaknya alumni STIS yang pada kesempatan Quick Count yang lalu, di lingkungan rumahnya, mendadak menjadi nara sumber dadakan, utamanya tentang Quick Count dan bagaimana menerjemahkan hasil Quick Count. Iya nggak? Secara, udah dianggap ‘suhu’ masalah Statistik gitu lho. J Jadi, diharapkan lewat seminar ini, nanti-nantinya kita bisa memberikan penjelasan yang cukup baik tentang ‘Mahluk seperti apakah Quick Count itu’, misalnya. Dan lagi, mengutip pernyataan Sosiolog Ignas Kelden di sini, “Seseorang menjadi ilmuwan karena dia diterima dan diakui dalam suatu komunitas dari rekan-rekan yang bekerja dalam bidang ilmu yang sama. Legitimasi seorang ilmuwan tidak diberikan oleh khalayak ramai, tetapi oleh rekan-rekan sejawatnya berdasarkan pencapaian dalam bidang ilmu yang digeluti. Pada titik inilah terletak perbedaan hakiki antara legitimasi politik dan legitimasi ilmiah”, adakah yang lebih tepat, selain dari membahas kegiatan Statistik di hadapan para ‘Ahli’ Statistik? Maka dengan seminar ini, diharapkan dapat menambah wawasan bagi alumni HAISSTIS sebagai statistisi di masyarakat, tentang bagaimana praktek penelitian sosial di dunia politik. Baik itu dari segi metodologinya (akan dibahas oleh Prof. Ir. Asep Syaefuddin, M.Sc – Dosen Departemen Statistika IPB; Rektor dari Universitas Trilogi, Jakarta; dan Wakil Ketua Ikatan Perstatistikan Indonesia - ISI), maupun prakteknya (akan disampaikan oleh Sjaiful Mujani, MA, Phd. – Pendiri Lembaga Survei Indonesia/LSI dan Sjaiful Mujani Research Consulting/SMRC). Melalui diskusi dengan kedua tokoh ini, dengan dimoderatori Dr. Hamonangan Ritonga, M.Sc (Ketua STIS; Dewan Penasihat HAISSTIS; dan Ketua Bidang Organisasi ISI), diharapkan alumni AIS/STIS yang tergabung dalam HAISSTIS tidak terjebak di dalam politisasi statistik. Yap, cukup sudah pengantarnya. Sekarang, kita lanjut cerita ke seminarnya. Acara dimulai tepat jadwal, pukul 13.30. Ah, tentu saja saya sungguh harap-harap cemas. Apa pasal? Pak Asep sampai jam 11.30 masih menjadi pembicara di IPB (meski wajah senyum, hati mah deg-degan, cuy), dan Pak Saiful Mujani, entah kenapa saya sempat memiliki kesan, kok kayanya dia setengah hati datang ke acara ini (lewat email pernah mengatakan bahwa kemungkinan asistennya yang akan datang menggantikan). Paginya saya hubungi, Alhamdulillah beliau berkenan hadir. Baru bisa merasa lega, ketika kedua pembicara, sudah duduk manis di ruang tunggu VIP-nya (Fa, ini kita lagi ngomongin STIS kan? Ada Fa, ruang tunggu VIP? Jadi ya teman-teman, STIS sekarang, jauuuuuuuuuuuuuh beda dengan jaman kita dulu –jaman elu kali, Fa, bukan gw-! Yang sama cuma Nyai, jadi yang masih punya utang sama Nyai, cepetan lunasin!). Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya, Dr. Adi Lumaksono, MA (Ketua HAISSTIS; Deputi Statistik Produksi BPS; dan Ketua ISI), membuka acara dengan menyampaikan sejarah singkat STIS dan HAISSTIS. Beliau juga menyampaikan sederetan lulusan kebanggaan STIS, mulai dari Dr. Sugito Suwito, alumni angkatan I sekaligus alumni pertama yang menjadi Kepala BPS (jaman saya daftar STIS, Kepala BPS-nya masih beliau); Dr. Haryono Suyono, alumni yang menjadi Menkokesra pada tahun 1998-1999 (Kabinet Reformasi Pembangunan); Prof. Dr. Johanes Supranto, terkenal dengan buku Statistik I dan Statistik II nya, selain bukunya Anto Dajan, kemungkinan buku beliau lah yang selalu dijadikan referensi ketika belajar Statistik; dan Prof. Dr. Adler Haymans Manurung, SH, B.St, ahli keuangan yang juga sudah merilis banyak buku ekonomi dan keuangan. Selanjutnya, Pak Adi juga bercerita tentang ‘pasangan emas’ yang dimiliki BPS. Tentunya, kalian yang di STIS-nya sebelum eranya saya, gak asing lagi dengan nama-nama Sukmadi Bolo + Sri Budianti, Pajung Surbakti + Soedarti. Hanya saja, saya baru tahu bahwa mereka merupakan salah satu alumni AIS yang pada tahun 1970-an dapat melanjutkan S2 Statistika langsung ke IPB. (Penting ya, Fa? Eh, satu almamater tauuuuuu). Kemudian, sambutan dari Dr. Suryamin (Kepala BPS). Pak Suryamin mengatakan bahwa tahun ini, untuk pertamakalinya HSN diisi dengan serangkaian seminar. Tentu saja dengan harapan meningkatnya peran serta masyarakat dalam statistik. Penghasil data, pengguna data, pengamat data, semua dilibatkan dalam kegiatan seminar, baik yang diselenggarakan oleh ISI, IPB, maupun HAISSTIS ini. “Di IPB tadi, Bayu Krisnamurti berkata, saat ini statistik dirasakan begitu powerfull, sehingga bisa merubah sesuatu. Ketika sudah dilansir oleh BPS, yang lain seakan nggak ada yang benar. Nah, gimana kalau datanya nggak benar?” lanjut Pak Suryamin mengutip salah satu pembicara di seminar statistika IPB yang berlangsung pagi harinya. (Dalam hati saya berkata, habis kena sindir kah, Pak? :D) Tak lupa, Pak Suryamin menutupnya dengan harapannya terhadap alumni STIS, para statistisi, agar tetap menjaga core values BPS, Professional, Integritas, dan Amanah. Kesempatan memberikan materi pertama adalah Pak Asep. Sebagai mahasiswanya, saya sudah cukup mengenal gaya mengajar beliau. Dan tentu saja, ketika kata kunci yang selalu diucapkan Pak Asep -dimainkan- keluar, saya otomatis teringat ruang kelas di Baranang Siang dan disertasi yang nggak selesai-selesai (eh, kok jadi curcol). Okay, sebelum saya lanjutkan cerita, sebaiknya materinya di download dulu, di sini dan di sini. Kisah dimulai dengan suatu masa ketika si Bapak menimba ilmu di Kanada, saat itu, ketika hendak belajar teori sampling, guru besarnya selalu meluangkan waktu sejenak untuk mengajak merenung bersama. “Renungkanlah! Bahwa kita akan menggunakan statistika untuk mencari kebenaran!” Dan beberapa waktu kemudian, Pak Asep masih nggak ngerti, mengapa ada orang yang menulis tentang “How to lie with Statistics”. Sampai kemudian beliau mendapatkan jawabannya, “Statistics worse than damn lie, bila tidak dipergunakan secara benar”, lanjutnya. Penggunaan statistik dalam politik salah satunya dilakukan oleh Gallup di Amerika. Menurut Pak Asep, datanya si Gallup ini tingkat kejujurannya tinggi. Bedanya, kegiatan semacam Quick Count yang dilakukan Gallup, hasilnya bukan untuk menentukan siapa yang menang, tetapi diberikan kepada partai-partai untuk dianalisis (Okay, ini bedanya sama di Indonesia. Di Indonesia, menang versi Quick Count sudah cukup untuk bikin syukuran, hehehehe). “Quick Count itu mudah, itu kan aplikasi dari teori sampling biasa!” kata Pak Asep. (dan kemudian sederet istilah statistik meluncur tanpa hambatan dari mulutnya Pak Asep, berdasarkan pengamatan saya yang manggut-manggut cuma Bu Sri Budianti aja, secara beliau pakar Sampling) “Sampling, either with replacement or without replacement is an unbiased estimate. Kejujuran dijawab dengan randomness dan representativeness. Kalau gak random, ya ada kemungkinan bias. Karena random itu jaminan unbiased-nya.” Jelas Pak Asep lagi. “Kalau untuk tahu berapanya pakai Quick Count, untuk mendapatkan informasi mengapanya digunakan Exit Poll. Walaupun Exit Poll ini dilakukan oleh pihak yang netral, yang harusnya mengurangi bias interviewer dan bias responden, Exit Poll could be bias!” Tambahnya lagi. “Ada satu kesalahpahaman besar tentang Margin of Error. Terkait dengan 95% confidence interval, itu gak ada hubungannya sama sekali dengan 95% harus percaya.” Pak Asep juga menceritakan tentang salah satu lembaga survey yang menurut beliau langsung ketahuan salahnya ketika menjelaskan MoE dan n yang digunakan. Menurut Pak Asep, sebaiknya Quick Count itu dijadikan alat bantu untuk modernisasi partai, bukan untuk alat kontrol. Jika Quick Count adalah suatu penduga, maka parameternya adalah Real Count dari KPU. Tetapi, berkembangnya konflik berikutnya menjadikan Quick Count sebagai alat kontrol KPU. Intinya, tidak pernah terjadi hasil polling survey meleset dari kebenaran. Bahkan, Burhanudin Murtadi berkata, “Jika Quick Count tidak sama dengan Real Count, maka KPU yang salah!” (wah, ini pasti banyak yang nanya entar, batin saya). Sessi selanjutnya adalah sessi dimana Pak Sjaiful menceritakan pengalamannya di patenelitian politik. Namun, dia membukanya dengan sebuah curhatan yang menjadi penjelasan buat saya, kok telepon saya, email saya, seringnya dicuekin. Hehehehe…. “Sebetulnya saya malas datang ke acara seperti ini, biasanya saya wakilkan pada yang lebih muda! Tapi, kali ini saya memutuskan untuk harus hadir.” Terus terang, saya kembali berpikir tentang ucapan Pak Ignas, kalau bukan di sini, adakah tempat yang lebih tepat untuk memperdebatkan ini? “Ilmu politik di Indonesia agak kurang mengapresiasi statistik, baru sejak 99, ketika kerangka makronya kembali ke demokrasi (reformasi). Di dalam demokrasi ini, ada kebebasan untuk berpendapat.” Menurut Pak Sjaiful, sebelum era reformasi, tidak mungkin bertanya dari rumah ke rumah tentang persepsi/preferensi politik seseorang. Itu adalah hal yang tabu untuk dilakukan. Bidang keahlian Pak Sjaiful adalah behavioural information, revolusi paradigma, perilaku politik berbasiskan psikologi, bidang ilmu yang berkembang sejak 1950. Dalam penggunaan istilah, belum banyak yang menyatakan politik adalah science (political sciences), anggapannya masih ke political studies. Ini adalah awal masuknya statistik ke dunia politik. Pada saat 98, di mana Indonesia jatuh, ada krismon, keadaan sangat terbuka, semua orang bicara, itu adalah dasar sosial makro untuk studi politik kuantitatif. Studi tentang opini publik sangat memerlukan bantuan statistik. Jika statistik dibantu oleh IT, politik dibantu oleh statistik. Bersama Lembaga Survey Indonesia, ada dua kegiatan yang biasa dilakukan. Survey Opini Publik, ini yang paling rumit. Harus mewawancarai tentang opini. Ini merupakan survey yang subject matternya kontroversial, tidak ada yang netral. Masyarakat berkelompok dengan kepentingan masing-masing. Selanjutnya adalah Quick Count, mengikuti prosedur keilmuan, sehingga probabilitas untuk salahnya kecil sekali. “Tetapi saya ada gak setujunya nih, dengan Prof. Asep. Tadi dikatakan bahwa parameternya adalah Real Count KPU. Secara ilmiah, tidak ada jaminan data KPU itu benar!” sanggah Pak Sjaiful terhadap pernyataan Pak Asep. “Kalau hasil survey Quick Count kami kemudian mendekati hasil KPU, kami tidak merasa senang, juga tidak senang. Bagi kami itulah hasilnya. Segala macam perbedaan, harusnya diselesaikan dengan kaidah-kaidah keilmuan, bukan kaidah lainnya. Karenanya, metodologi kami lebih terbuka untuk diteliti.” Kegiatan Quick Count dipopulerkan oleh National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institute (IRI). Istilahnya sendiri sebenarnya adalah Parallel Vote Tabulation. Istilah Quick Count sendiri dipopulerkan Desi Anwar, pada Pilpres 2004. Kegiatan ini terinspirasi dari Pemilu Filipina yang ketika itu memenangkan Marcos. Tidak percaya akan ini, relawan gereja mengumpulkan data di semua tps sebagai data tandingan dari KPU-nya Filipina. Ternyata, hasil relawan gereja ini menunjukkan Aquino lah pemenang pemilu sebenarnya. Ketika kemudian muncul Negara-negara demokrasi baru di Eropa Timur, quick count dilakukan untuk menjaga suara, agar tidak terjadi kebocoran atau manipulasi di jalan. Sebagai penutup diskusi, Pak Hamonangan membahas, jika menurut Pak Asep yang terpenting adalah etika dan kejujuran, Pak Sjaiful menegaskan bahwa survey opini publik mengandung non sampling error. Sessi pertanyaan. Kesempatan pertama diberikan kepada Bapak dari Unisba (Si Bapak teh pede pisan saya kenal namanya, nyebut nama meuni pelan gak kedengeran). Seperti dugaan saya sebelumnya, pertanyaannya, terkait kepercayaan terhadap hasil survey, ketika kita membuat confidence interval 95%, artinya ada sisa 5% yang mungkin salah. Jadi, keyakinan lembaga survey mengenai surveynya, adalah benar menurut survey. Contohnya, meledaknya pesawat Challenger yang dikatakan hanya memiliki peluang 0,0000 sekian persen untuk meledak. Selanjutnya, pertanyaan dari Pak Setia Pramana (yang ini pamali kalo gak kenal, dosbing ini mah). Statistik di lembaga survey itu, tujuannya untuk pengelolaan opini publik, atau penggiringan opini publik? Terkait dengan kenyataan masyarakat Indonesia,adakah upaya untuk memasyarakatkan statistik, agar masyarakat tidak tersesat? Apakah ada kode etik statistisi? Apakah ada disclaimer untuk setiap kegiatan, siapa yang membiayainya, sehingga kita bisa memikirkan biasnya. Pertanyaan Ifa, dari STIS, bagaimana menjelaskan confidence interval 95% itu ke masyarakat agar lebih mudah dimengerti masyarakat. Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Pak Asep menjelaskan CI 95% adalah percobaan berulang-ulang maka penduga akan berada pada interval ini, 5% itu adalah kemungkinan keluar dari populasi. Sekali lagi beliau menegaskan bahwa selang kepercayaan tidak sama dengan percaya. Beliau mengingatkan bahwa bicara statistik adalah bicara tentang kultur akademik. Sayangnya, kultur kita adalah kultur politis. Pemerintah ikut bertanggungjawab akan hal ini, karena rendahnya alokasi anggaran untuk riset. Bahkan jauh tertinggal dari Malaysia yang dana risetnya mencapai 2,5% GDP-nya. Fakta lainnya, dari sekitar 3000 program studi di PTN/PTS di Indonesia, program Statistika hanya ada 28 saja. Tentu saja kultur knowledge base society tidak tercapai, ditambah lagi, para statistisi suka untuk menggunakan istilah-istilah rumit, seakan itu menyelesaikan permasalahan dunia. Sedangkan Pak Sjaiful menambahkan, kaidah yang disepakati adalah kaidah statistik. Tentang KPU yang salah, kita tidak tahu bagaimana KPU bekerja (beyond our control), tetapi kita mulai percaya dengan apa yang di bawah kendali kita. Selanjutnya, challenge. Diadu, dengan metode kita seperti ini benar atau tidak. Mengenai penggiringan opini public, masyarakat sekarang begitu terbuka, untuk digiring maupun tidak. Sebagai professional, saya memiliki ilmu, terserah orang apakah akan mempercayai saya atau tidak. Dan tentang disclaimer, aturan PERSEPI mengharuskan hasil yang dirilis ke public disebutkan sumber dananya. Tapi, inipun tak banyak yang melakukan. Sessi kedua pertanyaan dimulai Pak Yulianto. Pertama, terkait dengan hasil Quick Count terakhir yang berbeda secara signifikan. Ini menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap statistik. Apa sanksi yang diberikan kepada lembaga survey yang out of procedure? Kedua, permohonan klarifikasi pada Pak Sjaiful tentang bagi-bagi uang yang dilakukannya. Selanjutnya pertanyaan dari Pak Windhiarso, politisi kita menggunakan ukuran Statistik sebagai indikator-indikator. Bagaimana pandangan terhadap politisi yang menggunakan ini? Pak Sjaiful menjelaskan bahwa kegiatan yang dimaksud bagi-bagi uang itu adalah pembagian biaya transport pemasangan spanduk ajakan untuk tidak memilih calon tertentu. Dari sisi epistimologi, peneliti haruslah netral. Tetapi dari sisi moral – aksiologi, melihat dari tujuan untuk apa ilmu itu, saya tidak boleh netral. Sebagai warganegara punya hak politik juga, justru menurutnya, ilmuwan yang tidak jelas sikapnya adalah ilmuwan yang tidak bermoral. Tambahan Pak Asep yang juga menutup sessi tanya jawab ini, bahwa causality dalam social sciences tidak serobust dalam ilmu fisika. Seminar berakhir jam 16.15. Kalau masih ada keping yang hilang dari catatan ini, silahkan ditambahkan. Kalau ada yang salah, maafin, mungkin saya salah catat. Kalau mau konfirmasi ke pembicara, kontak person bisa didapatkan dengan menghubungi saya yaa.... kirim email aja dulu, OK? Selamat Hari Statistik Nasional, pemirsa!
3 Comments
Mika
9/23/2014 10:25:08 am
Kok deputi stat produksi pak adi hastono, mbak? Bukannya adi lumaksono?
Reply
alfatihahreno
9/23/2014 11:49:25 am
Saya perbaiki, Tuan. :)
Reply
Leave a Reply. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|