Ambil suatu waktu di tahun 90an. Terus waktu kamu ke pasar, teriakin deh "Ih kamu miskin, deh!" Niscaya kamu dari pasar bakalan dapat oleh-oleh benjol ditimpuk orang. Ya! Pernah ada satu waktu di Indonesia ini dimana orang malu dikatakan miskin. Walaupun sebenarnya memang miskin.
Dan datanglah tahun 2005. Tahun dimana pemerintah punya ide, memberikan bantuan langsung tunai sebagai kompensasi dari naiknya harga BBM. Pertanyaan besarnya adalah, siapa yang berhak? Memangnya dinas sosial gak punya datanya, bukannya ada beras miskin? Misinya mulia sekali, barangkali ada yang tidak tercover datanya dinas sosial. :) Tapi, bagaimana jika masyarakat tersinggung bila mengetahui survey ini adalah tentang kemiskinan? Namanya pun dibuat cantik sekali, Pendataan Sosial Ekonomi (PSE). Inilah cikal bakal data penerima bantuan (yang harusnya diupdate secara berkala oleh pemerintah daerah setempat). Selain Caleg yang masih rusuh gara-gara DPT, mahasiswa semester akhir yang berurusan dengan TA, dosen dan peneliti, jaman itu, siapa sih yang kenal BPS? Saya aja ngerti kepanjangan BPS itu apa tahun 99. Karena mendaftar di sekolahnya BPS. Jadi, kalau gak tahu, ya saya maafin. :) Dan sudah jadi 'pengetahuan umum' di kalangan petugas sensus bahwa meskipun pekerjaan kami itu dilindungi oleh Undang-Undang, tetap saja bagi masyarakat kami itu adalah sekumpulan orang kurang kerjaan yang hobby-nya nanya-nanyain orang. Begitulah, pada saat PSE 2005 itu, petugas sensus 'dibantingin pintu' itu biasa banget. Tapi, itu berubah hanya dalam waktu hitungan bulan. Ketika orang-orang yang namanya diusulkan oleh RT/RW setempat masuk ke dalam database sebagai -calon penerima BLT-. Lalu, keluarlah daftar penerima bantuan. Bersamaan dengan kartu berwarna biru, senilai Rp 1.200.000,- Cek dan ricek, tidak sampai 1% usulan yang tidak keluar kartunya. Mekanisme penyaluran kartu pun, yang dialihkan dari PT POS ke BPS, diatur ulang. Dilakukan oleh BPS, dan dibentuk tim. Fungsi tim ini sebenarnya untuk verifikasi juga, keberadaan rumah tangga penerima kartu, dan apakah kondisinya sesuai dengan peruntukan kartu. Masalahnya, banyak yang melaporkan si ini seharusnya tidak berhak, dan mengajukan namanya sebagai yang lebih berhak. Verifikasi itu dilakukan sebagai feedback dari aduan masyarakat yang menjadi rajin lapor dan rajin main ke BPS. :) Betulan deh, setiap harinya saya mengentry 50-100 nama usulan penerima kartu, selama kurang lebih dua minggu. (Oh iya, era ini saya tidak ke lapangan, karena sedang hamil gede. Jadi saya standby di kantor menghadapi pendemo. Yang datang ke kantor gak tanggung-tanggung, sampai anggota DPRD pun dalam melakukan hearing lebih milih datang ke kantor, padahal biasanya manggil ke DPRD). Karena yang bisa saya lakukan hanya mengecek database, ya kerjaan saya cuma matching nama-nama di daftar aduan dengan di database. Ternyata, sebagian besar sudah ada di database, hanya saja sebagai bagian dari anggota rumah tangga penerima BLT. Ada satu kelurahan, yang kalau dijumlahkan penerima kartu + jumlah aduan yang masuk, jumlah rumah tangganya dua kali lipat dari catatan hasil registrasi penduduk. Kelurahan ini, lurahnya sampai datang demo ke kantor, memprotes BPS yang menurutnya tidak beres dalam melakukan pendataan. Ketika saya perlihatkan tabel rekap jumlah tadi, diapun bertanya-tanya, rumahtangga siapa sajakah kok bisa sebanyak itu? (Tentunya setelah saya ledek, ah Pak Lurah nih registrasinya bener nggak? Kenal nggak sama warganya sendiri? Kok sampai separuhnya gini gak tercatat di registrasi? :P an eye for an eye, Pak Lurah!) Begitulah. Para lurah yang datang, ketua RT, ketua RW, pada prinsipnya datang ke BPS untuk melimpahkan kesalahan kepada BPS. Padahal sebenarnya, semua usulan nama itu datangnya dari RT/RW setempat. Ada form yang diisi RT dan ditandatangani. Kalau lagi keluar isengnya, saya suka manggil tuh lurah atau RW atau RT buat nunjukin "Ini tandatangan siapa ya?", agar semata dia mau menenangkan warganya. Belum lagi karakteristik warga yang datang. Ada yang sambil mabuk, bikin saya sebal. Ngomong sama orang sadar aja belum jelas bakal mendapatkan titik temu, sama orang mabuk apalagi! Ada anggota DPRD yang ngotot pembantu di rumahnya harus dapat BLT. Ohya, alasan saya mengentry setiap harinya aduan yang masuk juga karena, pendemo itu gak akan pulang kalau namanya belum 'dimasukkan ke komputer'. :D Suasana kantor benar-benar nggak nyaman. Sisa orang di kantor tinggal saya, dan kepala kantor. Karena yang lainnya melakukan tugas distribusi kartu. Ada suatu hari dimana saya mau masuk kantor nggak bisa, pintu terkunci. Orang sudah memenuhi halaman kantor yang tidak terlalu besar. Saya bersabar menunggu. Tetapi mulai jengkel ketika ada yang berkata "BPS pengecut! Hancurkan saja kantornya! Masa di kantor gak ada orang?" Lha saya di situ dianggap apa? Heran! Saya aja gak bisa masuk, masa mereka mau minta masuk. Si Boss, entah di mana. Mungkin kembali di panggil DPRD. Demi alasan keselamatan diri dan kantor, saya menelpon BPS Provinsi. Biasanya, melihat orang berseragam mereka sudah tenang. Ohya, baru ingat. Karena lagi hamil, saya tidak mengenakan seragam. :) Dan urusan demo ini, bukan hanya di kantor. Setiap harinya, bahkan sejak matahari belum terbit, sudah ada orang yang antri di depan rumah. Ini ga enaknya kerja di daerah, meski di rumah saya tidak ada stiker "Penghuninya kerja di BPS", tetangga-tetangga tahu di mana saya bekerja. Ada satu Ibu, yang masih saya ingat sampai sekarang. Dia menghiba-hiba, agar namanya dicatatkan ke dalam daftar penerima BLT. Saya katakan, tidak bisa. Seandainya saya catatkan pun akan ada verifikasi ke rumahnya. Dan dia itu tinggal bersama saudaranya, yang rumahnya, Taj Mahal aja lewat. Dia berkelit, karena tidak punya uanglah makanya menumpang. Dia lupa menghitung, bahwa menumpang adalah sebagian dari nikmat. Ada orang yang gak punya tumpangan terpaksa ngontrak rumah, hitungannya jadi jauh lebih membutuhkan dari dia kan? Kalau mau 'lihat ke bawah'. Dan lagi saya katakan kepadanya, dengan segala emas yang melekat di tubuhnya (antingnya, gelangnya, kalungnya), saya enggan mencatatkan dia ke dalam daftar penerima BLT. Lalu dia berkelit lagi, bahwa itu bukan emas, tapi perhiasan. :) Dan di belahan dunia yang lain, ada yang betul-betul miskin sehingga sudah tidak sanggup lagi memikirkan ingin mengenakan perhiasan apa. :) Hal lainnya yang membuat saya jengah adalah LSM. Ada beberapa orang yang mewakili LSM tertentu, hobby teriak-teriak di depan kantor dan mengusulkan sederetan nama. Setelah diperiksa, nama-nama itu terdaftar sebagai penduduk pun bukan. Tukang becak yang hanya kost sementara keluarganya tinggal di daerah yang berbeda, ikut dimintakan. Saya heran, mau mereka apa? Kalau konsepnya saja tidak dipedulikan? Satu cerita lucu lagi, yang membuat saya berkurang kepercayaan terhadap berita di media (kalau hilangnya sih pas Pilpres 2014 kemarin, hahaha). Fact: Di tengah kerumunan massa, ada seorang kontributor media yang bawa-bawa handycam (iya, cuma itu peralatan dia). Melihat ini, seorang Ibu menitipkan anaknya pada seorang KSK (karyawan BPS juga), untuk kemudian pingsan. Kami semua bengong melihat ia yang jatuh tiba-tiba, mau ditolong, eh sudah berdiri lagi. :) Besoknya di TV: judul beritanya - seorang Ibu pingsan ketika demo BLT di BPS dan tidak diperdulikan. Hahaha, mendidih darah saya rasanya. Besoknya lagi kalau si kontributor datang ke kantor, saya yang pertama ngusir duluan. "Mendingan keluar aja deh, Mas. Masih banyak yang harus saya layani, mual saya lihat muka Mas!" Saya juga bisa lho, memanfaatkan kehamilan untuk mendramatisir suasana, tsaaahh.... Sebagai imbas dari kok kayaknya yang ngadu gak berhenti-berhenti ya? Sungguhkah sebanyak itu yang belum tercover? Dilaksanakanlah pendataan susulan. Pendataan susulan ini kemudian datang lagi kartunya, pada tahap ke-2 ini saya turun lapangan langsung untuk verifikasi. Saat itu, saya sedang jadi ibu menyusui. :) Aaaaahhhh, tambah hancur hati saya. Setelah melihat orang-orang yang sebelumnya sangat ngotot ingin dapat padahal sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Berbagai kejadian saya temui ketika verifikasi ini. Istri yang menyembunyikan suaminya (atau kekasihnya?) agar tetap diketahui menjanda, anak yang beranggapan bahwa orangtuanya menumpang padanya (helllooo, orangtua kok istilahnya numpang?), anak muda gagah perkasa tidak rela sepasang pasutri renta mendapatkan BLT hanya karena menurutnya pasutri itu sudah punya rumah dan dia masih mengontrak (ini juga kadang bikin saya bingung, pasutri itu ada rumahnya sih, tapi mereka sudah gak sanggup kerja, si anak muda?), ramai-ramai menyembunyikan aset (titip kulkas ke tetangga, dan sebagainya). Aaahh, lelah hati saya melihatnya. Nyaris putus harapan dengan bangsa ini, yang karena Rp 100.000,00 per bulan saja siap adu jotos dengan tetangganya, merendahkan derajatnya sendiri. Kegiatan yang satu ini (yang masih terus berlanjut sampai sekarang), sangat membekas di hati saya. Dan entah ide apa yang merasuki pemerintahan sampai BLT ini dilakukan berulang-ulang, namanya saja yang berbeda-beda. Solusi instan mengalihkan demo kenaikan harga BBM ke BPS, menjadi issue tidak terdata. Duh, miris. Tahun 2008, BPS digugat ke pengadilan. Menurut mereka, kriteria kemiskinan yang digunakan tidak tepat. Ya, berdasarkan pengalaman di lapangan, kalau mau ngikutin orang ke orang, ya tidak sama. Putusan pengadilan di tahun 2009 memenangkan BPS, dengan isi putusan dikutip dari Varia Statistik: Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Makmun Masduki, dengan anggota Agoeng Raharjo dan H. Lexsy Mamanto menganggap bahwa BPS tidak dapat disalahkan, karena BPS hanya sebagai pelaksana dalam menyediakan data kemiskinan yang dilakukan melalui survei-survei ke pelosok-pelosok di seluruh Indonesia yang bekerjasama dengan kelurahan, RT, dan RW. Pengadaan survei serupa juga dilakukan di negara lain seperti Meksiko, Brazil, dan Afrika Selatan. Hakim kembali menegaskan BPS benar dalam melaksanakan tugasnya. Data yang dikeluarkan BPS cukup akurat untuk menentukan rumah tangga miskin penerima BLT. BPS kemudian dinyatakan: memenangi perkara. Dari keseluruhan cerita ini keliatan banget ya kalau saya gak suka BLT, hehehe. Iya, bagaimana BLT mampu mengubah sebagian dari kita menjadi peminta-minta. Sedih. Meski demikian, saya tidak bisa menahan haru ketika harus menyampaikan kartu kepada yang berhak. Itu rasanya seperti ingin berteriak: Mission Accomplished. Dan ya memang, sebagian besar kartu-kartu itu berada pada orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Alhamdulillah. Tapi tetap saja, saya berharap kebijakan BLT ini tidak diteruskan, diganti menjadi jaminan sosial untuk semua saja lah. Sekian.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|