Anak itu lahir engga kaya beli robot. Ada buku pedomannya. :D
Pada suatu waktu, pada seorang teman, saya bercerita mengenai anak saya. Ceritanya dia baru saja menang OSN Matematika tingkat kecamatan. Cie cie cie.... Tapi waktu mau maju ke tingkat Kota, hanya peringkat lima. Langkahnya terhenti di situ. Dan saya juga cerita, buat saya itu wajar. Karena, persiapan anak saya hanya 2 hari untuk tingkat kecamatan, dan kurang lebih sebulan untuk tingkat Kota. Sedangkan peserta lainnya, ada yang mengikuti kursus pra olimpiade. Wow, baru itu saya tahu ada kursus seperti itu. :D Anak saya ikut KUMON, itu juga baru mulai. :D Dulu saya tidak mengerti mengapa ada yang bilang ikut les KUMON itu bikin anak stress. Di bulan ke enam anak saya ikut les, saya mulai mengerti apa yang mungkin menjadi pemicu stress-nya. Masalahnya ada pada soal-soal yang semakin sulit, yang kalau tidak didampingi orangtua yang mau meluangkan waktu untuk memahami permasalahan Matematika, akan menjadi semakin rumit. :D Sampai saat ini anak saya belum terlihat stress, hanya jadi makin sering nanya. :D Mungkin karena ini ada teman yang menasehati saya agar tidak terlalu memaksa anak untuk belajar, menjejalinya dengan les ini itu. Dia bilang, kalau mau leskan menari, melukis, menyanyi, agar dia bisa mengembangkan emosinya. Meski saya bingung, darimana dia bisa menyimpulkan bahwa saya memaksa anak saya untuk belajar? Saya kemudian memikirkan sarannya, nah, saya pikir itu malah yang akan jadi terlalu memaksakan. Terbayang, apa kata anak saya kalau tiba-tiba saya mendaftarkannya di kelas menari! :D bisa-bisa saya didemo. Teman yang lain menambahkan, buat dia punya anak pinter itu biasa. Lebih luar biasa jika hafalan Qur'an nya sudah banyak. Mmm, iya sih saya tidak menyekolahkan anak di SD Islam. Alasannya ada di sini. Dan hafalan Qur'an anak saya satu juz saja belum, itu juga dia mulainya dari Juz Amma. Hehehe, alasan dia sederhana. Cukup untuk bekal jadi imam saat shalat. Tapi dia terus berusaha menambah hafalannya, bahkan, lengkap dengan artinya. Waktu dia cerita ini saya kaget, karena saya ngga pernah ngajarin, juga ngga pernah minta. Saya tanya apa di sekolahnya ada tuntutan demikian? Dia jawab, tidak. Saya tanya lagi, di sekolah ngajinya ada tuntutan demikian? Dia jawab, tidak. Saya tanya lagi, lalu kenapa semangat sekali menghafalnya? Sampai ke artinya? Jawaban anak saya: pengen tahu saja apa artinya. Khas jawaban anak-anak. Hahaha.... Sebenarnya saya mulai sadar, sedang terjebak di dalam ciri khas percakapan emak-emak, ngga mau kalah kalau soal anak. Bwahahahahahaha.... Walau sambil mikir, "Apa salah gw punya anak yang hobbynya Matematika ya?" Wkwkwkwk.... Kesannya saya emak-emak horor yang karena emaknya kuliah di Statistika trus anaknya dipaksa ngikut. :D Jadi ya kemudian saya memilih diam, dan komentar saya berikutnya menjadi khas komentar orang yang lagi males komentar tapi kalo gak komentar kayanya gak sopan: wow, keren. Ini mungkin adalah suatu era, di mana punya anak cepat belajar atau punya lambat belajar nasibnya sama. Dalam kasus saya, kalau anak saya 'pintar', komentarnya "Emaknya gila, anaknya diajarin ini itu, belum saatnya!". Kalau anak saya 'kurang pintar', komentarnya "Emaknya sekolah mulu, gak sempat ngurusin anak!" Sebuah dunia serba salah! Hehehe.... Sebenarnya, cara saya menghadapi anak-anak saya, rada-rada niruin bagaimana Dad menghadapi saya. Dad selalu menganggap saya bisa diajak bicara. Kalau "jangan" itu disertai alasannya. Yang saya kurangi, pemaksaan dan kekerasannya. Hahaha.... Si Dad mah galak, gak hafal perkalian, bisa dilecut sapu lidi tuh kaki. :( Saya gak mau gitu, gakpapa anak saya baru hafal perkalian di umur 8 tahun, ketika itu dilakukannya atas keinginannya sendiri. Saya hafal perkalian umur 5 sih, karena sayanya memang suka, tapi ada faktor takut juga. Hahahaha.... Jadi ya saya tiru cara Dad bernegosiasi dengan anak-anak, cara dia mengajak saya bermain sambil belajar, dan lain-lain. Tapi kalau untuk kompetisi dan lain-lain, itu atas seizin dia. Apakah kamu mau ikut ini? Kalau mau ayo kita siap-siap. Kalau tidak, it's fine. Kalo dipikir-pikir, jaman saya kecil saya ikut lomba macem-macem. Lomba model, lomba baca puisi, lomba menulis, dan lain-lain, padahal gak semuanya saya suka. Paling sebel ikut lomba model. Bah! Harus melenggak-lenggok di depan orang pasang senyum manis padahal gak pengen senyum sama sekali itu menyebalkan! Adakah positifnya dari itu semua? Ada, saya memiliki percaya diri yang bagus. Hahaha, kadang-kadang malah terkesan songong karena kepedean. Maka dengan mengalami masa kecil yang seperti itu, hardly impossible buat saya memaksa para jagoan mengikuti sesuatu yang di luar kehendaknya. Saya memilih untuk memotivasi dia. "Punya prestasi itu enak, lho! Bisa jadi bekal buat nanti, saat akan berburu beasiswa, mencari pekerjaan, dan lain-lain. Misalkan ada dua orang yang sama-sama pintar, sama-sama cerdas, sama-sama berbakat, biasanya yang dipilih yang ada prestasinya. Karena setidaknya mereka pernah menghadapi ujian untuk bisa dikatakan sebagai pemenang, terbiasa berkompetisi." Begitulah. Saya, sebagaimana orangtua lainnya, tentu saja berharap anak-anak bisa memperoleh kebahagiaan di dunia, dan di akhirat. Pernah hampir menangis ketika dia bilang: ingin masuk pesantren, ingin mendalami agama. Alasannya, "Karena kalau anaknya sholeh, katanya Ibunya bisa masuk surga...." Berkaca-kaca mata saya. Sambil malu sendiri, karena saya menilai diri saya sendiri 'kurang berusaha'. Ingin berkata, raihlah surgamu, Nak. Surga Ibu, biar Ibu yang perjuangkan sendiri. :') Iyaaa.... saya mau anak saya jadi penghafal Quran, pengamal Quran, punya pekerjaan yang berguna bagi orang banyak, berempati tinggi, dan semua sifat dan aktivitas baik lainnya yang dapat diharapkan seorang Ibu pada anaknya. Tapi memintanya melakukan itu semua dalam waktu yang bersamaan, hehehe.... Saya ngambil kaca aja deh, saya bukan seorang supermom. :) Dan saya, memilih untuk mendengarkan nasehat teman saya lainnya, "Apakah hal utama yang kamu inginkan dari anakmu?" Jawaban saya saat itu, "Jujur. Apapun masalahnya, saya berharap dia selalu jujur, baik kepada saya maupun kepada lingkungannya." Dan teman saya menambahkan, "Maka hargailah kejujurannya, sekecil apapun itu! Jangan sekali-kali mengajarkannya untuk berlaku tidak jujur." Ah, sebenarnya, penyakit saya juga sama seperti emak-emak lainnya. Suka mudah tajub sama pencapaian anak-anaknya. Hahahahaha....
1 Comment
11/2/2015 11:39:41 pm
yang penting dukung kemauan anak aja kali yaa :D biarkan kita takjub dengan perkembangannya sendiri hehe
Reply
Leave a Reply. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|