Libur akhir semester tahun 2002 saya magang di sebuah perusahaan riset. Suatu waktu, kebagian kerjaan guide dua mahasiswa asal Jepang, untuk survei lapangan. Pas jadi guide ini, yang nyusahin sebenernya Bahasa Inggris mereka yang aneh. Mungkin karena biasanya yang saya dengar American English ya....
Itu bukan pengalaman survei pertama saya. Jadi, ditolak responden sudah biasa. Tapi, saya tipe pencacah yang pantang menyerah. Hehehe.... sebisa mungkin datanya harus dapat, tinggal mikir pendekatannya gimana. Biasanya berhasil, kecuali yang ini. Kami pergi ke daerah Tegal Alur, sengaja saya pilih supaya saya bisa sekalian cek kerjaan pencacah saya (waktu itu jabatannya supervisor), yang macet gak selesai-selesai. Berbekal tanya sana, tanya sini, sampai juga ke tkp (dulu blm ada google maps). Perjalanan mencari rumah responden pun dimulai. Di rumah pertama, yang menyambut adalah engkong-engkong. Dari logatnya sih, orang Betawi. Taksiran saya usianya 70 tahunan. Saya gak pernah tahu bener ngga taksiran saya itu.... "Ngapain lu bawa orang bule kemari?" Sambil senyum saya jelasin, mereka bukan bule. Meski rambutnya ada yang di cat pirang, mereka orang Asia juga, orang Jepang. Dan, sedang dalam penelitian juga terkait dengan survei yang akan saya tanyakan. "Hah? Jepang?" Si engkong masuk ke dalem rumah lagi, keluar bawa senapan angin "Pegi, lu pegi dah dari rumah gue! Gue gak sudi rumah gue diinjek penjajah!" Untuk alasan keamanan, saya pun pergi dari rumah itu. Memandangi wajah kedua mahasiswa Jepang yang keheranan, saya jelaskan bahwa si Kakek keberatan dengan kehadiran mereka, yang asal Jepang, yang negerinya pernah menjajah Indonesia. Kami bertiga terdiam cukup lama, sampai saya memutuskan untuk meminta maaf. Ke rumah-rumah berikutnya, saya minta mereka menunggu dulu agak jauh, biar saya mintakan izin ke pemilik rumah, kalau tidak keberatan baru saya ajak. Saya cuma tidak ingin, kesan yang mereka bawa pulang, orang Indonesia itu pendendam. Dua belas tahun berlalu. Saya terbiasa percaya orang Indonesia itu santun, pemaaf. Baik budi bahasanya. Sebagaimana cerita dalam buku Pendidikan Moral Pancasila. Ternyata? Hanya gara-gara pilpres saja mudah sekali mengeluarkan kata-kata yang tak pantas, tebar fitnah, tebar caci. Dan lagi, bahkan bersiap untuk tidak mengakui negeri ini punya Presiden. Pemaaf? Santun? Bersatu? Kuat? Ah, kita masih terjajah, kawan. Oleh diri kita sendiri. Semoga segera merdeka....
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|