Akhirnya selesai juga.
Betapa saya menanti-nantikan hari ini. Bukan karena semangat ingin memilih. Tapi ingin mengakhiri tingkah konyol anak negeri yang saya lihat belakangan ini. Betapa lemahnya kita sebagai satu negara, untuk hal sepele seperti pertandingan sepakbola, dukungan terhadap calon gubernur, harus saling caci, saling maki, saling benci. Padahal, masih banyak hal penting lainnya yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Konyol! Masih ingat, suporter sepakbola yang aneh luar biasa, menghadapi tuntutan pembunuhan terhadap suporter lawannya, alih-alih menunjukkan penyesalan, malah menyanyikan lagu mars dari tim sepakbola yang didukungnya. Hmm... Sebegitu sajakah harga nyawa... Konyol! Pemimpin yang harusnya jadi panutan, pemberi contoh yang baik, menunjukkan sikap yang sama sekali tidak patut diteladani. Menunjukkan sikap bermusuhan. Bahkan si sulung pun berkata, "Ibu bilang, kita ngga boleh menjelek-jelekkan orang lain... Kita ngga boleh berkata kasar kepada orang lain... Kenapa itu orang-orang bersikap seperti itu?!?" Meninggalkan saya yang tersenyum pahit.. "Mungkin tidak ada yang mengajarkan padanya, Nak, bagaimanakah menghormati orang lain itu..." Sedih... Bahwa teknologi dimanfaatkan dengan tidak bertanggungjawab. Menyebarkan pesan-pesan tanpa asal usul yang jelas, yang berpotensi menyebabkan perselisihan. Muak! Karena seringkali pengirim pesan tidak tahu akan kebenaran beritanya. Hanya terpancing, hanya ikut-ikutan, atau hanya mengikuti apa yang diperintahkan padanya. Masih seperti catatan saya sebelumnya, seperti kuda pedati yang dipakaikan kacamata kuda, perlu dijaga agar bergerak sesuai kemana keinginan kusir mengarahkannya. Dan seminggu ini menjadi semakin parah. Kepanikan di salah satu kubu nampaknya membuat gerakan broadcast melanda dunia perpesanan. Herannya, saya tidak pernah mendapatkan pesan dari kubu satunya. Jadinya, opini saya menjadi kurang berimbang. Namun, saya diberikan kesempatan untuk 'melihat warna' dari teman-teman saya... Tentang pendapat, cara pandang, dan kemampuan mereka memposisikan diri di dalam konflik. Beberapa terpaksa masuk daftar orang yang sepertinya saya akan sulit bekerjasama dengannya. Lepas dari itu, media jelas sekali bersuka cita. Tampak nyata bahwa kemenangan calon kali ini juga hasil campurtangan media. Partai bukan lagi penentu kemenangan. Menghadapi ini, nampak kekhawatiran dari beberapa petinggi partai yang merindukan pemilihan kembali ke DPRD. Ah, untuk yang ini, saya tidak setuju. Pilkada itu mahal, memang. Diserahkan pada DPRD? Cukup sudah jual beli kekuasaannya. Perbaiki saja sistem pilkadanya, jika bisa satu putaran, mengapa harus dua? Sudah selesai. Dan saya pun menarik nafas lega. Mari kita kembali menjalankan kewajiban sebagai warganegara. :-) Kali ini tugasnya adalah, memastikan pemimpinnya bekerja... :-)
1 Comment
Leave a Reply. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|