judulnya kaya status relationship
Seorang teman (NHTW) menantang saya, menceritakan satu topik yang biasanya saya hindari. Ah, mengapa juga ia meminta saya menulisnya, dia kan tidak harus mengalami pilihan-pilihan itu... Menarik sekali, karena paginya, tiba-tiba status teman saya yang lain sepertinya menggambarkan keadaan itu. Keadaan yang diminta NHTW agar saya menuliskannya dalam sebuah notes! Menjadi sebuah dokumentasi resmi akan apa yang saya rasakan. (berfikir untuk kabur, lebih sulit menjawabnya dari ujian komperehensif! hehehe...) NHTW meminta saya menceritakan bagaimana rasanya menjadi alfa, ibu dan pns... (aggghhhh... unlike this!) seandainya ketiga subjek tersebut tidak saling beririsan di dalam diri ini, saya sih cuek-cuek aja akan menanggapi ketiganya satu per satu. Sayangnya, tidak mungkin NHTW mau menguji saya dengan masalah sesimple itu. Tepat sekali, ia ingin mengetahui bagaimana rasanya dilema seorang ibu yang bekerja sebagai pns dengan segala problematika birokrasinya, yang kebetulan dia ketahui bahwa saya adalah tukang protes yang keras kepala terutama disaat saya 'merasa' benar. *sigh* Harus mulai dari mana? Menjawab ini saja sudah sulit... Tapi teman, sepertinya tulisan ini juga tidak akan pernah selesai jika saya terus mengeluh. Baiklah. tarik nafas dulu, biar kaya sandiwara radio di RRI Seumur hidup, saya tidak pernah bercita-cita menjadi PNS. Kakek saya dari pihak ibu pns. Nenek saya dari pihak ayah pns. Dan keduanya buat saya adalah pns yang dapat saya banggakan. Kenapa? Karena mereka anti KKN. Kakek saya mantan kepala pegadaian, kalau dia mau, bisa saja dia masukkan anaknya menjadi pegawai pegadaian, tapi dia tidak melakukannya. Nenek saya seorang dokter yang juga merupakan penilik sekolah kejuruan, berkali-kali saya lihat dia menolak menerima parcel, bahkan menolak membuatkan surat keterangan sakit, jika pasiennya tidak benar-benar sakit. (om saya bilang, makanya nenek saya ngga bisa kaya, soalnya terlalu jujur, =P) Jika demikian, seharusnya saya punya role model yang bagus untuk menjadi pns. Namun, saya terlanjur muak dengan image pns. Selain kebanggaan saya pada kakek dan nenek, saya tahu mereka berjuang melawan idealismenya masing-masing, dan itu tidak mudah. Apalagi dengan jabatan yang pernah mereka sandang. Belum lagi, ketika usia sudah mulai menginjak 17 tahun, yang mewajibkan saya memiliki tanggungjawab administratif terhadap negara ini, yaitu memiliki Kartu Tanda Penduduk, membuat saya berurusan dengan birokrasi yang melelahkan. Sungguh, saya tidak pernah bercita-cita jadi pns karenanya. Orang-orang bilang, "Kan enak, Fa. Jadi PNS santai... banyak waktu luangnya..." Well, saya 'ngga tuh. Bahkan teman-teman saya seprofesi juga banyak yang kehabisan waktu. Coba bayangkan, jika semua orang menjadi pns bukan karena ingin berpartisipasi dalam pelayanan publik, tapi karena pendapatan tetap dan banyak waktu luang yang menjadi motivasi, 'ngga heran kalo tiap kali razia mall ada aja yang mengenakan seragam pns. Lha kerjanya untuk cari waktu luang kok... Yup, management waktu saya memang buruk, karena saya gemas melihat orang-orang yang selalu menunda pekerjaan. Sedangkan saya, jika ada pekerjaan saya yang tertunda hari ini, itu berarti saya harus mengatur ulang prioritas pekerjaan esok hari, yang seringkali menempati skala prioritas "harus segera dilaksanakan" karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Akhirnya, jarang sekali saya bisa pulang kantor on time. =( Menjadi alfa. Ini juga bukan sesuatu yang saya cita-citakan. Karakter itu katanya merupakan bentukan, bukan warisan. Entah bagaimana caranya menceritakan bagaimana rasanya menjadi alfa kepada teman-teman semua. Yang pasti, semua orang punya masalah. Saya merasa hidup saya ini tidak mudah, tapi saya tak pernah ingin bertukar kehidupan dengan orang lain. Sampai saat ini saya percaya bahwa apa yang terjadi pada saya adalah kombinasi dari kejadian terbaik yang mungkin terjadi pada saya. (sebenarnya ini juga sedikit terpengaruh oleh film Butterfly Effects, seandainya kita diberikan kuasa untuk mengubah keadaan pun, tidak ada yang bisa menjamin bahwa keadaan itu akan membuat perasaan kita menjadi lebih baik). Mungkin, jika saya tidak pernah melakukan kesalahan, saya tidak akan pernah bisa menghargai kebenaran. Mungkin, jika saya tidak pernah merasa terpuruk dan jatuh, saya tidak akan pernah mengerti apa pentingnya ketegaran. Mungkin, jika saya tak pernah sedih dan menangis, saya tidak pernah mengetahui betapa indahnya bahagia. Tak ada manusia yang sempurna, bukan? To live is to learn. Tidakkah kawan, dan saya juga, menginginkan tuk menjadi manusia yang lebih baik lagi? Namun begitulah, menjadi alfa yang kadang terlalu keras hati menghadirkan suatu konfilk, apalagi biasanya dengan mahluk tuhan dengan atribut manusia. Salah satu atasan saya pernah berkata, "Kamu itu emang cocoknya bekerja sama mesin aja. Jadi cuma ngertinya black or white aja... Kalo ngurusin orang, grey area nya banyak banget. Dan kamu ga bisa memaksa, meminta, atau berharap, semua orang mau mengerti apa yang kamu pikirkan. Walaupun kamu tahu kamu benar." --> ini nih yang bikin hidup jadi ribet, terlalu banyak toleransinya, baik untuk hal-hal yang prinsip sekalipun! Yah, begitulah, terutama untuk orang-orang yang agak sedikit konservatif, saya cenderung dianggap menyebalkan. Hehe... I get used of it! Jadi paling yang bisa saya katakan hanya berkata, "Baru tahu kalo saya nyebelin?" sambil ngeloyor pergi. --> baru sampai dua peran, silahkan bayangkan sendiri bagaimana rasanya menjadi saya 'di dalam' birokrasi. Menjadi ibu. Jika kebanyakan orang berkata bahwa menjadi ibu adalah kodratnya seorang wanita, saya berfikir bahwa menjadi ibu adalah pilihan. (beruntunglah semua yang dalam hidupnya selalu mempunyai pilihan, setidaknya ia tidak pernah menjalani suatu keterpaksaan, life is about making a choice, DB bilang, enjoy the risks... =) ) Cita-cita saya adalah menikah muda. Dengan harapan, waktu anak-anak membutuhkan saya sebagai teman ceritanya, teman curhatnya, perbedaan generasi antara saya dan anak saya tidak terlalu jauh, sehingga saya bisa lebih mudah mengambil posisi dalam usaha memahami mereka. Yup, saya berharap dapat menjadi teman bagi anak-anak saya. Sampai saat ini saya masih sering mempertanyakan, bisakah saya menjadi ibu? (terlepas dari semua komentar orang-orang di sekitar saya yaa...) Rasanya tugas seorang ibu itu beraaaaaatttttt sekali. Jauh lebih berat dari tugas saya sebagai pns. Jangankan untuk mempertanyakan diri bisakah saya menjadi ibu. Kadang saya malah masih sering bertanya, "Am I really a woman?" Hehehe... Jika image 'wanita' yang ada di masyarakat adalah harus bisa memasak, harus bisa mengurus rumahtangga, harus bisa mempercantik diri, wah... aduuuhhh... kayanya saya jauh-jauh dulu deh dari cermin. =) Pada saat lelah berfikir, mungkin dari awal saya salah, cita-cita saya adalah menjadi teman dari anak-anak saya. Padahal, peran saya seharusnya adalah menjadi ibu dari anak-anak saya. (muncul masalah baru, ya udah Fa, sekalian aja, jadi ibu juga menjadi teman, begitu seorang kawan memberi saran...) --> talk is always easy, my dear friend... Namun demikian, keraguan saya selalu sirna saat kedua bajaklaut saya memeluk dan berkata, "Alif sayang ibu... Attar sayang ibu..." yang kemudian, dengan harus menahan haru, berusaha menjelaskan keadaan ibunya yang bekerja ketika salah satu mulai berkata, "Attar suka ada ibu... makanya, ibu jangan pergi-pergi terus..." Be honest, kadang ingin meninggalkan dua peran sebelumnya dan tetap berada di peran ini saja. Bagian yang cukup sulit untuk saya ceritakan. Teman, pengalaman hidup mengajarkan saya bahwa wanita harus bisa mandiri secara finansial. Agar, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tidak kehilangan sumber pencari nafkah. Dan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi. Salah satu sahabat saya pernah bertanya, "Memangnya kamu ngga percaya bahwa rejeki kamu itu ada di suami kamu, Fa?" Buat saya itu adalah dua hal yang berbeda. Saya percaya, bahwa suami saya adalah seseorang yang bertanggungjawab, dan berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi tetap, kembali lagi, pengalaman hidup mengajarkan saya bahwa wanita harus bisa mandiri secara finansial. Cerita ini tidak akan pernah berakhir. Akan banyak argumen. Perbedaan kepentingan. Untuk menyingkatnya, kesimpulan saya adalah, tidak akan pernah mudah, membagi peranan-peranan dalam kehidupan yang harus kita jalani. Tapi bukan berati kita harus menyerah kan? Dalam setiap peranan, pasti ada yang dikorbankan, termasuk juga diri sendiri. Ketika harus memilih, buatlah pilihan yang bertanggungjawab, karena tidak hanya kita yang akan menerima akibat dari pilihan kita. Ketika sudah memilih? Enjoy the risks... thanks to NHTW for challenging me; and DB, i like the part: enjoy the risks kalau ada yg mau didiskusikan, di comment, atau di part two yaaaaa... =) 20 10 2009 12 11
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|