Pulang tadi yang satu matanya merah, yang satu meringkuk di tempat yang tidak biasanya.
Something wrong. Datengin yang satu. "Bu, lagi berantem." Kata yang satu. Gak usah dibilang juga berasa auranya. "Kenapa?" "Iya itu abcdefghij...." *gak gitu deh aslinya, tapi penjelasan panjang detail rinci persis ibunya kalo ngomel!* "Oh, gitu...." Datengin yang satu lagi. "Hei, bobo sama ibu yuk...." Ngikutin. Diem aja. Sambil meluk. Gak ngomong. Gak ngapa-ngapain. "Berantem, ya?" Ngangguk sambil ngumpet. "Kenapa?" Diem aja ngga mau ngomong. "Katanya abcdefghij...." *ini mengulang laporan yang tadi* "Bener?" Dia pun mengangguk. "Itu kan sakit. Kok ngga minta maaf?" Lanjut saya lagi. "Udah. Tapi gak dimaafin!" Katanya mulai terisak. Dan sayapun manggil yang satu lagi. "Kok minta maaf gak dimaafin?" "Mana ada orang minta maaf sambil buang muka? Gak serius itu minta maafnya" Dan sayapun tersenyum dalam hati. Ini masalah prinsip ternyata, gaya bahasa, body language, bukan hanya sekedar kata maaf. Diulang deh minta maafnya. Baikan deh. Dan sekarang, mereka bobonya udah pelukan lagi. Mengapa hanya anak-anak yang bisa seperti itu. ya? Mudah memaafkan, mudah melepas sakit. Sedangkan orang dewasa, sampai besok lusa masih saja menggenggam erat perih?
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|