Nak,
Tentu ini bukan soal hadiahnya Bukan soal menang dan kalahnya Tetapi soal sebuah batas Tentang sebuah kompetisi Bersyukur jika menang Tegakkan kepala jika kalah Nak, Keberanianmu melewati batas Berani menang Berani kalah Itulah intinya (Melihat duo ganteng yang tertidur pulas kelelahan setelah 'berjuang')
0 Comments
Sahabatku mengajak ke toko barang antik untuk oleh-oleh. Bulan depan dia akan ke Barcelona. Dan demi kaos tim sepakbola kesayanganku yang dijanjikannya, kemana saja aku bersedia mengantarnya.
Tidak suka pelajaran sejarah, pengetahuan yang minim tentang budaya, membuat aku sama sekali tidak mengerti bagaimana memilih dan menilai keantikan suatu barang. Statusku sebagai pengangguran keren, alias sarjana yang belum juga mendapatkan pekerjaan, menjadikan aku sahabat Elga yang tersisa, yang bisa menemaninya. Elga begitu asyik memilih dan bertanya mengenai barang-barang di toko itu. Pemilik toko cukup ramah, mau menemani Elga berkeliling dan menjelaskan sejarah dari barang-barang yang dipajang. Aku? Diam di sudut toko. Dan itu adalah situasi yang sangat membosankan. Baiklah, kuputuskan untuk berkeliling. Hanya akan melihat, tanpa menyentuh. Dengan sifat sembronoku, mungkin saja aku memecahkan salah satu di antara barang-barang itu. Memikirkan tentang itu membuatku bergidig ngeri, membayangkan selembar uang lima puluh ribu di dompet yang berusaha kupertahankan sampai awal minggu depan. Mataku tertuju pada sebuah kendi. Ukurannya cukup besar, dengan lukisan yang terlihat abstrak, tapi keren, bagiku. Aku mendekat. Berjongkok di dekat meja pajangan untuk mengamati lebih dekat. Ternyata bukan abstrak! Itu keempat punakawan, yang dilukis dengan begitu detail dan rapat. Tokoh-tokoh yang aku kenal melalui acara Ria Jenaka di TVRI dulu. Semakin memperhatikan sosok tinggi kurus, dengan bentuk hidung yang khas, aku tiba-tiba teringat sesuatu. Seorang teman, yang kukenal pada masa orientasi di sekolah. Tidak banyak yang kuingat tentang dia. Dua bulan kemudian ayahnya meninggal, dan ibunya memutuskan untuk pindah. Tapi aku tidak akan pernah melupakan ini. --- "Hai, namaku Dya. Kakak itu bilang kita akan sekelompok di kegiatan nanti." Dia tersenyum. Merapihkan tas karung tepungnya, menepuk-nepukkan tangannya ke belakang celana, seakan takut membuat tanganku kotor. "Hai juga! Namaku Kendi." Aku terpana, "Maaf?" "Kendi. K - E - N - D - I." "Oohh.., oke..." Jawabku. Sambil memikirkan alasan paling logis, orangtua macam apakah yang menamai anaknya Kendi. Tempat air dari tanah liat itu. "Seharusnya Kennedy, begitu kata Bapak." "Haa?" "Bapakku buta huruf. Sewaktu mengurus akte kelahiranku, Bapak masih khawatir dengan kondisi Emak dan aku. Dia tergesa-gesa ke kantor catatan sipil. Dan entah apa yang Bapak katakan, petugas itu mencatatnya sebagai Kendi." Astaga. Saat itu aku merasa sangat bersalah sudah menaruh prasangka pada orangtua Kendi. "Saat akan mendaftar ke SD, aku baru melihat akta kelahiranku. Aku bertanya tentang nama yang tertulis di situ. Bapak tak percaya dan memintaku berulang-ulang memastikan nama yang tertera. Kemudian dia memelukku, meminta maaf. Dia bilang, semoga aku jadi anak cerdas, yang tidak akan membuat anaknya malu." Aku hanya bisa tertegun. "Mendengar cerita Bapak, aku berjanji akan menjadi anak yang cerdas dan bisa membanggakan Bapak." Melihatku yang tak bergerak, dia tertawa. "Ayo, kita disuruh berkumpul.Terimakasih untuk tidak tertawa mendengar namaku!" --- Tepukan di bahu membuatku kaget. "Heeiii... Kok aku tidak pernah tahu, kamu punya ketertarikan terhadap barang antik?" Si cantik Elga sudah kembali dengan bungkusan yang aku, tidak ingin tahu, apa isinya. Aku tersenyum simpul. "Kamu tidak akan pernah tahu apa yang ada di pikiran orang..." *** Dibuat untuk menggugurkan salah satu syarat menjadi bagian dari komunitas Monday Flash Fiction. =) |
AboutAda banyak cara untuk menyampaikan rasa. Ini cara Alfa! Archives
August 2017
Categories
All
|